Selasa, 17 Januari 2012

Allah Beri Satu Kekurangan, Tetapi Dia Beri Sejuta Kelebihan

Pikiranku mundur ke beberapa waktu lalu, di mana setiap hari aku menghabiskan waktu bersama mereka. Ya, di sekolah itu aku belajar banyak hal dari murid-murid kecilku. Belajar tentang keajaiban Tuhan Sang Penggenggam Kehidupan…

Setiap pagi kami berdoa bersama di lapangan sekolah, Al-Fatihah selalu membuka kegiatan di sekolah, Alhamdulillah bahagia rasanya anak-anak kecil itu sudah diajari mengenal penciptanya. Murid-muridku tidak semuanya cerdas intelektual, ada yang sangat cerdas, ada yang tergolong lumayan cerdas tetapi ada juga yang sama sekali tidak cerdas. Apapun kondisi mereka, semua itu anugerah-Nya, karena hanya Dia Yang Maha Cerdas.

Suatu hari, aku masuk dan mengajar di kelas percepatan (Acceleration), tentu saja murid-muridku yang ada di kelas itu adalah anak-anak cerdas. Anak-anak yang diberi anugerah oleh Allah dalam kecerdasan intelektualnya. Terbukti dengan sikap kritis dan pengetahuan mereka yang sangat luas dan haus akan ilmu, ya mereka mewakili sifat Allah Ar-Rasyid, Yang Maha Cerdas. Tetapi cerdas saja tidak cukup, tidak semua dari mereka mampu memiliki sense of belonging terhadap temannya. Atmosfer persaingan dalam belajar begitu kental terasa karena memang mereka memiliki beragam bakat dan yang pastinya IQ tinggi. Cita-cita mereka pun beragam dan jauh dari bayanganku tentang anak-anak kecil.

Di hari lain, aku mengajar di kelas inklusi. Kelas yang berisi murid yang jumlahnya jauh lebih sedikit dari kelas lainnya. Kali ini aku benar-benar belajar tentang keagungan-Nya. Anak-anak ini sungguh luar biasa! Bukan karena kecerdasan mereka namun karena sisi lain dari kelembutan mereka. Tampak luar, mereka adalah anak-anak yang sama sekali tidak cerdas bahkan mereka tergolong anak-anak berkebutuhan khusus. Ada yang slow learner (sulit dalam belajar), hyperaktif, bahkan ada yang autis. Mereka semua berkumpul dalam satu kelas, belajar bersama. Semua guru yang mengajar di kelas ini dituntut untuk lebih bersabar dan sedikit mengelus dada karena ”keajaiban” anak-anak ini. Tidak cukup sekali dua kali memberi instruksi kepada mereka bahkan seringkali apa yang guru sampaikan tidak mereka dengar.

Satu yang saya ingat dari ”anak-anak spesial” ini, ketika itu aku hilang kesabaran karena kenakalan mereka tetapi aku tahan amarahku, yang kutahu memarahi mereka bukan penyelesaian dari suatu masalah. Ketika itu ada seorang murid yang memukul-mukul kepalaku, bisa dibayangkan betapa kompleksnya kenakalan mereka.
Lalu, murid lainnya mengadu dan berkata, ”Kak, kepalanya dipukul-pukul, gak sopan deh. Marahin aja kak!”
Tapi aku hanya tersenyum dan berkata, ”Tak apa, sudah ada malaikat di pundak kanan dan pundak kiri yang sibuk mencatat amal baik dan amal buruk kita. Kakak gak marah kok, biar saja, dia sudah paham tentang itu.”
Mungkin bagi muridku yang mencoba membelaku, dia tampak jengkel dan kecewa karena aku tidak marah pada murid yang nakal. Atau mungkin aku terlihat wise/bijak, tapi sungguh sejak aku berkata seperti itu, murid spesialku itu tidak lagi nakal padaku. Dia malah menjadi manja kepadaku. Entah apa yang membuatnya begitu, yang kutahu apa yang diungkapkan dari hati akan kembali ke hati.

Siapa sangka juga, anak-anak itu bukanlah anak yang bodoh, tidak cerdas, dan tidak berguna. Allah sengaja menitipkan mereka untuk dibimbing dan dicintai sepenuh hati. Salah satu dari mereka rupanya adalah seorang atlet tenis yang mewakili kota Jawa Tengah.
Subhanallah... Allah Al-Adl’ selalu memberikan keadilan pada setiap kita. Bukanlah value dari IQ yang mereka miliki tapi value lain yang mungkin anak cerdas tidak memilikinya.

Ada juga seorang muridku yang menangis karena merasa bodoh tetapi dia bilang, ”Aku emang bodoh kak, tapi aku percaya ada Allah yang selalu bimbing aku.”
Betapa terharunya aku mendengar penuturan murid kecilku.

Seorang murid lain dengan ikhlas tidak pernah ikut bermain bola ketika jam olah raga, karena ia teringat pesan guru BK di sekolah. ”Aku gak boleh ikutan main bola karena Bu Guru pesan supaya aku menjaga dia. Dia kan gak bisa ikutan main bola.”
Kepolosan seorang anak SD yang dengan ikhlas berkawan dengan temannya yang autis. Setiap hari dia duduk bersebelahan, menemani bermain dan bahkan dengan sabar memberi perhatian pada kawannya yang autis.
Yang lain berkata, ”Kasihan dia, aku bersyukur gak jadi seperti dia. Walau bodoh tapi Allah sayang aku... Orang tuanya sabar banget kak...”
Terbayang betapa saat ini aku merindukan mereka dengan segala keunikannya.
Memang benar Allah itu Maha Adil, dan Dia selalu memiliki maksud dari setiap ciptaan-Nya.
Tidak ada sesuatu pun yang kebetulan,
Dia hanya meminta kita untuk terus mensyukuri apa yang Dia berikan.
Mungkin kalau anak-anak itu boleh memilih, mereka pastilah ingin menjadi anak-anak yang cerdas dan membanggakan orang tuanya tetapi mereka tidak bisa memilih.
Pilihan mereka hanyalah berusaha seoptimal mungkin dengan anugerah yang diberikan oleh-Nya.

Ketika Allah memberi kekurangan kepada kita, tengoklah sisi lain dari kita, di sana akan terdapat berjuta kelebihan yang Dia beri agar kita selalu bersujud dan bersyukur kepada-Nya.

Belajar dari Bulan, Bumi, dan Matahari

Malam sudah sampai di tengah-tengah, suara jalanan pun telah lengang. Dan seperti biasanya kantuk ini pun tak kunjung datang. Suasana kontrakan pun kian sepi, hanya meninggalkan suara televisi yang ditinggal tidur penghuninya.

Ingat kata seorang teman, obat mujarab ketika sulit tidur adalah membaca buku. Buku yang saya maksudkan agar mendatangkan lelap lebih mudah, ternyata malah berkebalikan. Biasanya belum sampai dua halaman, mata ini pasti sudah rapat-rapat menutup begitu pula dengan bukunya. Lembar demi lembar saya telusuri samudera aksara bermakna, tak lelah mata membaca, fikiran mencerna dan seringnya hati cenut-cenut.

Kantuk yang tak kunjung datang menyebabkan ku berpikir untuk berbuat sesuatu di tengah malam yang hening ini. Mencari teman untuk ngobrol pun tak ada. Akhirnya ku ayunkan langkah kaki ini menuju lantai dua rumah kontrakan. Untungnya malam itu cerah, tidak ada awan mendung yang menyelimuti. Ku melihat bintang dan bulan tersenyum melihat kedatanganku malam itu. Seketika itu teringat kisah nabi Yusuf yang pernah bermimpi melihat bintang, matahari dan bulan yang semua bersujud kepadanya.

“(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.” (QS. Yusuf : 4)

Langit malam itu ku pandangi dengan seksama, lalu ku bertanya pada diri ini apa yang mereka lakukan di malam hari ketika para penghuni bumi sedang tertidur pulas?
Dan pertanyaan lain muncul, bagaimana cara mereka menyapa ketika bulan, bumi, dan matahari berpapasan?
Teringat ilmu Fisika Dasar yang sudah didapat, bahwa bulan, bumi, dan matahari adalah kesatuan tim yang bekerjasama dan bekerjakeras demi satu tujuan. Ibarat sebuah perjalanan, bekerja keras tentu adalah sebuah gerak langkah menuju satu tujuan. Jika kita diam tanpa sebuah gerakan apapun, tentu kita tidak akan pernah sampai pada sebuah tujuan.
Bukankah alam semesta pun bergerak?
Bayangkan seandainya bumi berhenti bergerak, matahari enggan berputar, planet dan bintang-bintang berdiam diri, tentu kita tahu apa yang akan terjadi dengan kehidupan manusia dan alam semesta raya. Atau mungkin salah satu dari mereka mogok bekerja dan saling iri satu sama lain, tentu kita tahu apa yang akan terjadi dengan kehidupan manusia dan alam semesta raya.

Bayangkan matahari dan bumi dengan jarak sekitar 148 juta kilometer.
Bagaimana menyatukan hati keduanya? Begitu pula bumi dengan bulan dan bulan dengan matahari.
Bagaimana menyatukan hati keduanya?
Tetapi mereka cukup setia satu sama lain, bulan setia kepada bumi dengan mengitarinya. Bumi pun kompak dengan bulan mengitari matahari secara bersama-sama. Mereka tidak saling bermalas-malasan dalam mengemban amanah dari sang Khallik. Mereka bergerak dengan tugas mereka masig-masing.

Alangkah indahnya ketika kita berada dalam satu tim mencontoh dari kerjasama dan kerja keras bulan, bumi, dan matahari yang selalu bergerak, tidak ada yang saling cemburu serta saling setia satu sama lain.
Ah, malam ini ku terlalu lama membayangkan sesuatu. Ternyata kesulitanku akibat tidak datangnya ngantuk malam itu ada sesuatau yang bisa ku ambil pelajaran.
Belajar dari bulan yang memberikan kelembutan yang merupakan sifat dari sang Khalik Al Lathiif Yang Maha Lembut.
Belajar dari Matahari yang selalu bersinar yang juga merupakan sifat dari sang Khalik An Nuur Yang Maha Bercahaya. Juga belajar kerjasama, kerjakeras, dan kesetiaan dari bulan, bumi, dan matahari.

Berjuang dalam Kelumpuhan



Sahabat-sahabat sekalian, yang duduk di kursi roda namanya adalah Fauzan Ulil Abshar, lahir tahun 1994, biasa dipanggil Ozan. Umurnya sekarang kurang lebih 13 tahun.
Yang berdiri di sebelah namanya adalah Zulfa Ulil Azmi, dia adik Fauzan yang baru berusia 4 tahun. Mereka berdua tinggal di Bekasi.

Fauzan Ulil Abshar mengalami kelumpuhan saat usianya menginjak sepuluh tahun, tepatnya tahun 2004. Berarti Fauzan menjalani kehidupan selama 10 tahun dalam kondisi seperti layaknya anak-anak normal yang suka berlari-lari, bercanda dengan temannya sambil tertawa, berjalan kaki ke manapun dia ingin, bersepeda, berenang atau melakukan berbagai aktivitas lainnya dengan semangat dan keceriaan.

Terbayang bukan bagaimana kesedihan yang dirasakan Fauzan?
Sedang asyiknya menikmati masa-masa pertumbuhan tiba-tiba Fauzan harus mengalami kelumpuhan yang menyebabkan kakinya tidak mampu lagi digerakkan dan digunakan untuk beraktivitas seperti layaknya anak-anak yang lain. Membuat dia menjadi berbeda dengan teman-teman sebayanya. Tiga tahun sudah Fauzan menjalani hidupnya sehari-hari di atas kursi roda. Semua aktivitas yang dulu pernah dia lakukan tinggallah kenangan, dan semua aktivitas orang lain yang tidak mengalami kelumpuhan sepertinya menjadi sebuah impian.

Mungkin seandainya kenikmatan di saat kakinya masih bisa dipergunakan belumlah sempat dirasakan tentu rasanya tidaklah terlalu berat menjadi seperti sekarang ini. Secara kejiwaan Fauzan adalah anak yang sama seperti layaknya kita di saat seumuran dengannya, bagaimana kita di saat berumur 13 tahun?
Kita sedang asyik beraktifitas dengan teman-teman sebaya kesana-kemari mengexplore dunia kecil kita dan sibuk mencari tahu setiap hal dan beraktivitas dengan energi yang besar, dengan bebasnya melangkahkan kaki ini kemanapun kita inginkan. Sedangkan Fauzan?
Mungkin dia harus berpikir dua kali untuk berbuat hal yang sama dengan kita.

Pada saat dipotret Fauzan sedang menangis karena tiba-tiba kakinya terasa begitu sakit. Adiknya menatap dengan iba, sementara ibunya memegangi kaki Fauzan sambil sesekali menyeka air mata yang menetes. Fauzan bilang mudah-mudahan teman-teman yang melihat keadaannya bisa lebih bersyukur dan yang bersedih bisa hilang kesedihannya. Semoga Allah membalas setiap kesabaran Fauzan.

Foto diambil sesaat setelah Fauzan mengisi acara sebagai tamu pada Training ESQ Remaja di Bekasi beberapa tahun yang lalu, setelah mendapat izin dari Fauzan dan ibunya untuk dimuat agar bisa menjadi pelajaran dan penyemangat bagi banyak orang. Sayang saya lupa meminta nomor telepon yang bisa dihubungi, tetapi mudah-mudahan cerita ini bermanfaat untuk kita semua.

Meskipun kakinya tak lagi berfungsi tetapi Fauzan masih bisa berbagi hal yang baik dengan ceritanya. Kita yang masih memiliki tangan, kaki, lidah, mata serta pendengaran yang berfungsi dengan baik mudah-mudahan tidak sibuk dengan kesedihan dan keluhan tetapi sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan yang  baik dan bermanfaat untuk diri sendiri maupun orang lain.

Buku harian yang ditangisi orang-orang



“Saat kau lahir, kau menangis dan orang-orang di sekitarmu tersenyum. Jalani hidupmu dengan baik karena Allah Swt, maka saat kau mati, orang-orang di sekitarmu menangis dan kau tersenyum.”

Masih teringat “status” dari seorang teman saya di Facebook. Pertama kali saya membacanya, saya langsung tersentak dan pertanyaan di benak melayang-layang.
Mulai dari pertama kali saya dilahirkan sampai detik ini, apakah saya sudah menjalani hidup saya dengan baik karena Allah Swt
Apakah kehadiran saya bermanfaat bagi lingkungan?
Atau apakah orang-orang yang saya kenal tidak pernah merasa dirugikan oleh kelakuan saya?
Masih banyak pertanyaan lain yang menyelinap di otak.

Mari kita tarik mundur perjalanan hidup kita. Saat kita membuat perjanjian oleh Allah Swt dan diturunkan ke bumi melalui Ibu kita dengan mempertaruhkan nyawanya, tangisan keluar dari mulut kecil menyadari kebesaran-Nya. Nama Allah kembali diperdengarkan oleh seorang Ayah yang mengumandangkan Adzan di telinga kita. Sebuah awal baru kehidupan seorang hamba yang diselingi dengan senyuman orang-orang yang mencintai.

Bagi kita yang beruntung, menjalani dan menulis sejarah ditemani orang tua yang secara ikhlas dan tak kenal lelah membantu kita berdiri sampai kita bisa membuat “buku harian” kita sendiri.
Ketika “buku harian” tadi sudah seutuhnya kita yang menulis, maka kita juga yang memutuskan akan menuangkan karya terbaik atau karya yang buruk.
Tentunya tidak sepenuhnya kita bisa menulis karya yang terbaik dari halaman pertama sampai halaman terakhir, karena kita hidup di muka bumi bersama orang lain dan lingkungan sosial yang tidak jarang menggoda kita untuk mencoba hal-hal yang negatif.

Di saat inilah niat kita dipertanyakan. Seluruh tindak tanduk, tingkah laku, perbuatan, perkataan, dan buah pemikiran kita, apakah sudah kita niatkan karena Allah Swt?
Coba kita bayangkan kalau hanya Allah Swt yang ada di hati, hari-hari yang kita lewati akan penuh tangisan dan senyuman yang indah.
Masalah-masalah yang ada, bisa selesai dengan banyak hikmah dibaliknya.
Hubungan kita dengan keluarga, orang lain dan lingkungan sekitar, menjadi hubungan yang dilandasi cinta karena Allah Swt.
Memang manusia tempatnya salah dan khilaf. Setiap waktu kita diuji dan dicoba, diombang-ambingkan oleh setan yang membisik di qalbu.
Itulah mengapa manusia diberi pilihan, jalan yang baik atau jalan yang buruk.
Cerita kehidupan yang indah atau cerita yang penuh kesengsaraan, hanya kita yang mampu mencetaknya di “buku harian” kita.

Mari kita menutup “buku harian” dengan membuat orang-orang menangis, dan kita tersenyum bahagia di pembaringan terakhir. Amin.

Menahan dan Melepaskan Karena Allah

Dee... kau tahu sendiri, ada beberapa kelemahanku dalam berkomunikasi, bukan karena aku tidak bisa mengatakan langsung apa yang kupikirkan, justru terkadang aku takut bila aku bersikap terlalu over, mereka malah tersakiti, jadi aku lebih leluasa menuliskan apa yang ingin kusampaikan dalam bentuk cerita, karena sebuah cerita ada intisari kehidupan dari masa lalu, bila tentang masa depan dia akan menjadi sebuah harapan, sehingga siapapun yang mendengar atau membacanya tidak merasa di hakimi atau digurui, tapi mereka akan berfikir secara jernih untuk mengambil langkah mana yang terbaik dalam menyelesaikan masalahnya...
Ada empat cerita berkaitan dengan dua masalah yang dihadapi temenku tsb, yakni:

Kisah Pertama
Ada Sebuah hutan di pedalaman Amerika, bila seorang pemburu ingin memburu seekor monyet dengan mudah mereka hanya membutuhkan sebuah botol yang di dalamya di taruh sebuah roti isi, kemudian di letakkan dekat kawanan monyet pada malam hari, keesokan harinya pasti ada monyet yang terperangkap karena salah satu tangannya terjebak di botol dalam keadaan memegang roti yang ada di dalam botol. padahal bila sang monyet mau melepaskan roti tsb dia bisa saja tidak terjebak dan kembali bebas, namun karena monyet-monyet di kawasan tersebut lebih memilih menahan roti isi daripada melepaskan akhirnya para pemburu dengan mudah mendapatkan mereka tanpa susah lagi berburu.

Kisah Kedua
Suatu ketika seorang guru bijak mengumpulkan semua muridnya, beliau bertanya adakah di antara muridnya yang pada saat itu sedang membenci orang, bila yang ya maka murid tsb di minta angkat tangan, ternyata semua muridnya angkat tangan. maka sang guru membuat sebuah permainan yang di sepakati bersama yakni bila muridnya membenci orang  dia harus membawa tomat, 1 tomat untuk satu orang yang di benci, besar kecil tomat tergantung kebencian pada orang tersebut, semakin besar kebencian semakin besar tomat yang di bawa. dan tomat tersebut harus di bawa kemanapun murid tsb pergi selama masih ada kebencian masih ada. bila dia bisa memaafkan mereka boleh menanam tomat di tanah dan murid-muridnya di minta membuat laporan dua minggu kemudian.
Ternyata para murid yang membawa tomat ada yang keberatan terlebih yang membawa tomat yang besar dan banyak. karena tomat tersebut tak hanya membebani tapi juga semakin hari semakin bertambah busuk, ada juga murid yang telah belajar memaafkan dan menanam tomat tsb. dua minggu kemudian murid-murid yang masih membenci datang dengan sejuta keluhan, pinggang sakit belum lagi merasakan bau busuk dari si tomat sedangkan murid yang belajar memaafkan mereka malah tersenyum mereka malah datang dengan sebuah tunas tomat yang mereka tanam.

Kisah Ketiga
Dua pengembara, mereka berdua mengadakan perjalanan yang sangat panjang. suatu ketika kedua orang tersebut mendapati di salah satu sepatu mereka ada sebuah kerikil, seorang pengembara berhenti sejenak dan mencopot sepatunya mengambil dan mengeluarkan kerikil yang ada di sepatunya, sedang pengembara satu lagi menganggap remeh, dia merasa hanya sebuah kerikil kecil..
Namun apa yang terjadi pengembara yang mengambil dan mengeluarkan kerikil tersebut lebih cepat sampai ketujuannya sedang yang menahan kerikil, akhirnya dia merasakan kecapaian karena kerikil tsb sehingga sepanjang perjalanan dia kesakitan.

Dee ...
Sesungguhnya dalam hidup ini Allah telah memberikan sebuah pilihan agar kita bisa menentukan langkah apa yang terbaik agar kita semua bisa mencapai derajat kebaikan di sisi-NYA, namun terkadang kita sebagai manusia seringkali tertipu ada yang karena ketamakan seperti kisah sang monyet menyebabkan dia terbelenggu dan binasa karena tidak mau melepaskan apa yang seharusnya bukan miliknya.
Ada yang membawa beban yang memang bisa di lepaskan seperti kisah guru dan tomat, bebannya itu atas kemauannya sendiri, busuknya dia juga yang merasakan, namun bila bersikap lapang untuk menanam tomat tsb akan tumbuh tunas baru yang akan membuat harapan baru.

Sedangkan kisah ketiga kita bisa bercermin bahwa jangan merasa sok kuat bisa menahan sesuatu yang menurut kita sepele (kecil), tapi kita tahu bahwa itu ada sebuah ganjalan dalam mencapai tujuan kita. bila lebih cerdas kita bisa mengembilnya kemudian menaruhkan sebuah persimpangan yang akan menjadi petunjuk bagi orang lain.

Dee.. sesungguhnya tiap cinta yang Allah sebarkan di muka bumi ini ibarat cahaya yang menyinari dimanapun dia berada, namun cahaya tsb akan berubah kegelapan bila tidak di posisikan pada tempat yang salah.
Apa yang kita miliki di dunia sesungguhnya milik Allah semata, kita tak berhak menangisi, kecewa bahkan membenci ketika Allah mengambil kembali milik-Nya karena sesungguhnya Allah lebih tahu tentang rencana indah di balik kehidupan yang DIa Ciptakan.dan berhati-hati terhadap penyakit Ghurur (tertipu/kekaguman terhadap diri sendiri yang terlalu besar dan berlebihan) dan penyakit Wahan yakni cinta dunia dan takut akan kematian.

Kita bersaudara karena Allah. semoga ikatan ini saling mengingatkan dengan baik, dengan niat baik, dengan cara yang baik pula sehingga merasakan limpahan kasih sayang dan penjagaan Allah di setiap desahan nafas kita...