Jumat, 09 Desember 2011

Harga Sebuah Waktu

Seorang Ayah pulang ke rumah dalam keadaan letih di sambut oleh anak lelakinya yg berusia 7 tahun didepan pintu.
Anak: Ayah, boleh tidak Kevin bertanya? 
Ayah: “Ya…nak tanya apa?” 
Anak: “Berapa pendapatan ayah per jam ?” 
Ayah: “Itu bukan urusan kamu, buat apa kamu sibuk tanya?” si ayah mulai
marah karena merasa lelah.
Anak: “Kevin tidak tahu ayah. Tolonglah beritahu berapa pendapatan ayah satu jam 
bekerja di kantor?” si anak mulai merayu.
Ayah: “Rp 10.000 perjam, memang kenapa?”
Anak: “Oh…” si anak menjawab sambil tunduk ke bawah.
Kemudian memandang wajah ayahnya sambil bertanya, “Ayah….boleh tidak Kevin pinjam Rp 5000 
dari ayah?”. 
Si Ayah mulai menjadi berang dan berkata, ” oh, itu sebabnya kamu tanya berapa pendapatan ayah, untuk apa uang sebanyak 5000 ? 
mau buat beli barang mainan lagi? 
Ayah kerja capek-capek bukan untuk buang uang sembarangan. Sekarang pergi ke kamar dan tidur, sudah lewat jam tidur nih…” 
Anak kecil 7 tahun itu terdiam dan perlahan-lahan melangkah kembali ke kamar tidurnya.
Si ayah duduk di atas sofa dan mulai memikirkan mengapa anaknya yg sekecil itu memerlukan uang sebanyak itu.

Kira-kira dua jam kemudian si ayah kembali tenang dan berpikir, kemungkinan anaknya benar-benar memerlukan uang untuk keperluan di sekolahnya karena anaknya tidak pernah meminta uang sebanyak itu sebelumnya.
Dengan perasaan bersalah si ayah melangkah menuju kamar anaknya dan membuka pintu. Didapati anaknya masih belum tidur.
“Kalau kamu betul-betul perlu uang, nah ambillah Rp 5000 ini”, kata si ayah.
Kevin segera bangun dan tersenyum girang. “Terima kasih banyak ayah”, katanya begitu gembira. Kemudian dia mencari-cari sesuatu di bawah bantalnya dan mengeluarkan selembar lima ribuan yg sudah kusut.

Saat di lihat uang itu oleh ayahnya, si ayah kembali marah. “kenapa kamu minta uang lagi sedangkan kamu sudah ada uang sebanyak itu? 
Dan dari mana kamu dapat uang di bawah bantal itu?” bentak si ayah.
Si anak menunduk tidak berani menatap wajah ayahnya. “uang ini kevin kumpulkan dari uang saku sekolah yang ayah beri tiap hari. kevin minta lagi 5 ribu dari ayah sebab uang yang kevin punya sekarang tidak cukup”, jawab si anak perlahan.
” Tidak cukup? memang mau buat beli apa?”, si ayah bertanya balik.
“Ayah, sekarang kevin sudah punya 10 ribu. Ayah ambil uang ini. Kevin mau beli satu jam waktu dari kerja ayah. kevin ingin, ayah pulang kerja lebih awal besok. kevin kangen mau makan malam bersama ayah. “, jawab si anak tanpa berani memandang wajah ayahnya. Terdiam dan hanya merasakan air bening jatuh dari matanya.

Sobat, sering kita sibuk bekerja dan tidak bisa membagi waktu untuk orang-orang yang kita sayangi.

Kosongkan Cangkir Teh Mu

Di sebuah kerajaan, karena kesibukan sang raja memerintah, permaisurilah yang menemani dan sangat memanjakan sang pangeran. Pangeran tumbuh menjadi pemuda yang sombong, egois, kurang sopan santun, dan malas belajar. Raja sangat sedih memikirkan sikap pangeran muda. Bagaimana nasib negeri ini nantinya?

Setelah berbincang dengan permaisuri, raja pun bertitah: "Anakku, tahta kerajaan akan ayah serahkan kepadamu, tetapi dengan syarat engkau harus tinggal dan belajar selama 1 tahun di atas bukit bersama seorang guru yang telah ayah pilih. Bila engkau gagal, maka tahta kerajaan akan ayah serahkan kepada orang lain."

Pangeran serta merta menyanggupi persyaratan itu. Dalam hati ia berkata, "Apalah artinya penderitaan 1 tahun dibandingkan kelak sebagai raja, aku bisa hidup mewah dan bersenang-senang seumur hidupku!"

Setibanya di kediaman sang guru, tingkah laku pangeran tetap sombong, menyebalkan, dan tidak sopan. Dia merasa sebagai pangeran, semua orang harus menuruti kemauannya. Setiap kali gurunya bertanya, pangeran menjawab semaunya. Setiap kali gurunya menerangkan pelajaran, pangeran tidak mendengarkan-merasa sudah tahu semua.

Tidak terasa haripun berganti minggu. Sang guru berpikir keras tentang cara untuk memberi pelajaran kepada pangeran yang sombong dan sok pintar itu.

Suatu hari, sang guru menyeduh teh dan menuangkan ke cangkir pangeran. Air teh dituang terus dan terus hingga tumpah ke mana-mana sehingga mengenai tangan sang pangeran. Pangeran berteriak marah, "Hai, bodoh sekali! Menuang teh saja tidak becus! Cangkir sudah penuh mengapa masih dituang terus? Air mendidih, lagi!"

Dengan tersenyum sang guru berkata tegas, "Beruntung hanya tangan pengeran yang terkena percikan teh panas. Sebagai seorang pangeran, calon raja dan suri tauladan bagi rakyatnya, tidak sepantasnya berkata tidak sopan seperti itu, lebih-lebih kepada gurunya sehingga sepantasnya mulut pangeranlah yang harus dituang teh panas ini.

Guru sengaja menuang terus cangkir yang telah terisi penuh karena ingin mengajarkan kepada Yang Mulia bahwa cangkir teh diumpamakan sama seperti otak manusia. Bila telah terisi penuh maka tidak mungkin diisi lagi. Karenanya kosongkan dulu cangkirmu, kosongkan pikiranmu, agar bisa diisi hal-hal baru yang positif. Hanya bekal ini yang ingin guru sampaikan. Bila pangeran tidak berkenan, silakan pergi dari sini."

Mendengar perkataan sang gurunya yang tegas, pangeran seketika tertunduk malu. Peristiwa itu menyadarkan pangeran untuk mengubah sikapnya dan menerima pelajaran dari gurunya. Tentu saja perubahan sikap pengeran ini membuat raja sangat bergembira.

Teman-teman yang berbahagia,

Karena status, pendidikan, atau kedudukan, seringkali seseorang merasa lebih tahu, lebih mengerti, dan lebih pintar dari orang lain. Sikap seperti ini membuat pikiran tertutup (atau mental block), sulit menerima hal-hal baru yang diberikan oleh orang lain.

Sikap seperti ini jelas merugikan dirinya sendiri. Jika kita bisa bersikap open mind / membuka pikiran dalam menerima hal-hal baru dan mau menerima kritikan yang diberikan oleh orang lain, maka kita akan dapat memetik banyak keuntungan; seperti bertambahnya wawasan, ide, pengetahuan, pengertian, wisdom, dan lain sebagainya. Pasti semua itu bisa kita manfaatkan untuk mengembangkan dan menciptakan kesuksesan.

Tak Cukup Hanya Dengan Do'a

Ada seseorang yang mendatangi saudaranya sesama muslim untuk mengadukan masalahnya. Sebenarnya ia bingung dan malu menyampaikan maksud kedatangannya, namun karena permasalahannya sudah sangat mendesak ia pun terpaksa mengutarakannya, itu pun dengan sangat hati-hati. “Kontrakan saya sudah mau habis, bagaimana menurut saudara?”, ia kehabisan ide untuk menyampaikan maksudnya lebih jelas.

“Ohh, saya kira sebaiknya saudara mencari kontrakan yang baru. Tempat tinggal yang sekarang nampaknya kurang baik untuk kesehatan seluruh anggota keluarga”, saran saudaranya itu.

Padahal, maksudnya bukan minta saran seperti itu, melainkan ia secara tidak langsung ingin meminta bantuan pinjaman uang untuk memerpanjang kontrakannya satu tahun atau setidaknya enam bulan ke depan. Perasaan tidak enak dan malu membuatnya bingung menyampaikan maksud hati yang sebenarnya.

Ia pun mencobanya kembali, “Usaha dagang saya sedang tidak bagus, bulan kemarin saja saya harus nombok dan terus merugi. Saya sudah kehabisan uang,” kali ini mulai lebih jelas.

Tapi, “Mungkin saudara belum benar-benar khusyuk dalam beribadah, belum serius dalam berdoa. Cobalah lebih banyak lagi menambah amalan-amalan sunnah, berdoalah lebih iba kepada Allah. Insya Allah, Dia akan lebih mendengar doa saudara. Tenang, saya saudaramu, saya juga akan mendoakan agar usahamu lancar dan berhasil,” rupanya masih belum nyambung.

Maksud ia mendatangi saudaranya itu sebenarnya sudah jelas untuk minta bantuan, bukan minta nasihat. Ia berharap saudaranya yang kelebihan harta dan memiliki beberapa bidang usaha itu mau memberinya modal usaha. Bukan doa yang dimintanya, padahal saudaranya itu memiliki sejumlah kontrakan, salah satu bidang usahanya.

Satu sisi, tidak ada yang salah dengan nasihat-nasihatnya. Mungkin betul saudaranya itu kurang dalam ibadahnya, jarang meminta kepada Allah. Tetapi bisa jadi sebaliknya, ada orang yang sudah benar-benar khusyuk dalam beribadah, dan tak melewatkan satu malam pun untuk berdoa dalam tahajjudnya, hanya saja Allah masih ingin menguji kesabarannya.

Faktanya, saat itu ia memerlukan bantuan saudaranya secara nyata. Bukan dalam bantuk doa dan nasihat. Entah itu sedekah atau pinjaman, karena memang itu yang benar-benar diharapkannya. Setelah memberi bantuan, terserah mau sebanyak apapun memberi nasihat, pasti akan didengarkan karena hatinya sudah sedikit tenang.

Orang yang tertimpa musibah dan mendapat kesulitan, sebaiknya tidak ditolong hanya dengan doa. Ringankan bebannya terlebih dulu, kemudian berilah ia nasihat kesabaran dan doakan agar ia bisa segera keluar dari kesulitannya. Sama halnya dengan saudara kita yang sedang sakit, ucapan “semoga lekas sembuh” memang sudah cukup sebagai bentuk perhatian. Namun bagi sebagian lain, kesembuhannya bisa lebih cepat dengan cara dikunjungi dan membawa sedikit buah tangan untuk menghiburnya. Bahkan, ada pula yang harus dibantu biaya perawatannya.

Jika ada saudara kita yang kelaparan, apakah akan merasa kenyang setelah kita doakan?

Pencarian Tuhan Ala Bocah

Cerita seorang teman di Belanda tentang anaknya.
Pencarian Tuhan ala Bocah
Oleh: Agnes Tri Harjaningrum

Allah itu dibikin dari apa Bun?¨ tanya Malik polos.

Jujur, saat itu saya bingung menjawab pertanyaannya. Semalam saya tak bisa tidur. Iseng-iseng, saya membuka kembali catatan harian tentang perkembangan spiritual anak-anak saya. Saya jadi teringat, tiga bulan lalu, Malik, putra saya yang berusia 4,5 tahun, memang sedang gandrung dengan pertanyaan seputar Allah. Karena bingung, saya balik bertanya,¨Menurut Aik, Allah dibikin dari apa?¨
Tanpa ragu, ia seketika menjawab,¨Dari angin Bun.¨

"Wow dari angin?" Saya kaget dengan jawabannya. Tapi saya dan suami meyakini bahwa anak-anak adalah makhluk spiritual. Kami sepakat untuk berusaha memberikan kebebasan berpikir dan membuat mereka tak terkekang dogma. Kami yakin imajinasinya tak perlu dihambat, hanya perlu diarahkan hingga akhirnya ia bisa menemukan sendiri jawabannya. Jadi, jawaban Malik saat itu saya biarkan saja.

Saya hanya balas bertanya,¨Kenapa Allah terbuat dari angin Ik?¨
Karena Angin nggak keliatan Bun, Allah juga nggak keliatan,¨ balas Malik.
Hmm alasannya memang logis, pikir saya. Tapi karena saya sedang repot, diskusi kami saat itu terhenti. Saya katakan padanya untuk bertanya lain hari pada ayahnya.

Sebulan kemudian, lagi-lagi Malik berbicara tentang Allah. Allah itu ada laki-laki, ada perempuan. "Endak lo, Allah itu ndak laki-laki juga ndak perempuan,"Lala, kakaknya menyangkal.
Suara Malik langsung meninggi, tak setuju dengan pendapat kakaknya.  
"Iya! Allah itu ada laki-laki ada perempuan. Aik laki-laki, berarti ada Allah laki-laki. Mbak Lala perempuan, ada Allah perempuan!" Malik ngeyel.

"Menurut Aik begitu ya, Iya kekuasaan Allah ada di laki-laki dan perempuan," Suami saya berusaha untuk tidak menyalahkan Malik. Tapi Malik tetap ingin benar sendiri.
"Ayah! Aik bilang Allah itu ada laki-laki ada perempuan!" Teriaknya galak.
"Hmm..oke..oke" ayahnya pun sementara membiarkan saja pernyataan Malik. Maklum, anak seusia itu memang hanya mengerti hal-hal yang konkret.

Tiga hari sesudahnya Malik mendengar kakaknya menangis sambil berkata,¨Mbak lala sayang sama Allah.¨ Malik lagi-lagi langsung ikut bersuara soal Allah. "Allah ada disini ( sambil menunjuk lantai di sebelah Lala), disini (menunjuk hidungnya sendiri ), dan disini (menunjuk pintu). Allah ada disemua," katanya lucu.
Lalu Malik menghampiri saya,"Allah juga ada disini Bun,¨ katanya sambil menunjuk bola transparan. Tapi di dalem situ Allah bisa bernapas."
Saya tersenyum mendengarnya. Artinya Malik paham bahwa bila manusia yang berada di dalam bola itu pasti tidak bisa bernapas.

"Oh menurut Aik begitu ya?" tanya saya.
"Iya, Allah ada dimana-mana,¨ jawabnya yakin.
"Siapa yang kasih tau Aik?" saya penasaran.
"Juf (bu guru),¨ balas Malik sambil nyengir.
Saya kaget! Sungguh! Saya tinggal di Belanda dan anak saya bersekolah di sekolah negeri. Apa betul di negara sekuler ini masih ada guru yang mau berbicara soal Tuhan dengan muridnya?
""Betul begitu Ik? Juf yang kasih tau? Memang Aik tanya sama Juf?" Mata saya sepertinya hampir melotot karena tak percaya.
"Iya Bun, Echt (betul banget)!" Malik mengangguk kuat.

Wah anak saya betul-betul berani bertanya kepada ibu gurunya soal Allah?! Saya semakin kaget. "Aik gimana tanyanya sama Juf?" Saya sungguh penasaran.

"Juf, Wat is Allah?" jawabnya.
"Oh ya, Aik tanya begitu?" Saya masih tak percaya.
Malik mengangguk. "Terus Juf jawab apa Ik?" 
Dan jawaban Malik membuat saya semakin tak percaya. "Allah is allevorm (semua bentuk). Allah is vierkant (segiempat), Allah is driehoeken(segitiga)." Aik menirukan Jufnya.
"Bunda, Allah juga bisa ngomong Italia, Deutchland(Jerman), Perancis, semua negara-negara Allah bisa ngomong," lanjut Malik lagi.

Akhirnya karena setengah tidak percaya, sepulang sekolah saya meminta konfirmasi kepada juf nya di sekolah,"Apakah Malik pernah bertanya tentang Allah?" tanya saya pada guru Malik.
Bu guru itu pun menjawab,¨ No...he never ask me about that!"
Olala...jadi semua betul-betul imajinasi Malik!
Tapi mengapa ia bisa mengarang cerita seperti itu?
Hati saya tak berhenti tertawa juga menerka-nerka, barangkali inilah bentuk pencarian Tuhan ala bocah, pikir saya.

Dan pencarian Malik masih saja berlanjut. Beberapa hari sesudahnya saya ingatkan suami saya untuk menjawab pertanyaan Malik soal terbuat dari apa Allah. Lala yang pemahamannya sudah lebih baik langsung menjawab,¨Allah terbuat dari semua, betul kan Ayah?" 
Mendengarnya Malik langsung protes,"Mbak Lala fout (salah)!" Mbak Lala itu Allah? (dengan nada suara menyalahkan) Ayah itu Allah? (masih dengan nada yang sama) Aik itu Allah? (nadanya semakin menyalahkan) Bukan!" Jawab Malik sengit.
"Manusia nggak ada yang tahu Allah terbuat dari apa Ik," suami saya langsung menengahi.

"Allah terbuat dari niks (bukan apa-apa)!" Seru Malik galak.
Tapi karena jawaban asal dari mulutnya itu saya pikir betul, saya pun langsung menimpali. "Oh iya Aik betul sekali, Allah terbuat dari niks.¨
Tiba-tiba Lala menambahkan,"Tapi kita bisa tau Allah terbuat dari apa nanti di surga." 
"Iya La betul sekali. Mbak Lala pinter, Aik juga pinter pengen tau tentang Allah. Seperti nabi Ibrahim yang mencari siapa Tuhannya itu lho. Inget kan Aik..."
Lalu suami saya kembali mengulangi cerita nabi Ibrahim. Malik sok cuek, seperti tak mendengarkan ayahnya bercerita. Tapi sambil memainkan legonya rupanya diam-diam dia serius mendengarkan ayahnya bercerita. Setelah cerita selesai, tiba-tiba Malik berbisik pelan,¨ Maksud Aik, Allah terbuat dari niks (bukan apa-apa), karena harus dilihat dulu nanti di surga,"
Hmm lagi-lagi saya tersenyum sambil bergumam dalam hati, syukurlah rupanya Malik mulai bisa menemukan pencarian Tuhannya.

Selesaikah pencarian Malik?
Oh rupanya belum. Hari berikutnya lagi ketika suami saya sedang menggoda Malik dengan berebutan buah melon, Malik bertanya,¨Melon ini buat ayah atau buat Allah?
Suami saya balas bertanya,¨Allah bisa makan ya Ik?" 
Dengan penuh percaya diri Malik menjawab,¨Bisa. Kalo nggak makan nanti Allah mati."
Hehehe lagi-lagi saya geli dan ingin tahu imajinasi Malik. "Allah makannya apa Ik?" tanya saya.
"Makan melon, makan semua!"

Mendengarnya, Lala yang berdiri di sebelah Malik cekikikan sambil berkata sok dewasa,"Aik...Aik...Allah itu terbuat dari niks, jadi Allah makan niks."

Malik tak mau kalah,"Allah terbuat dari niks tapi bisa liat semua, bisa liat melon juga, bisa makan juga."
Lalu analisa Malik berlanjut. "Allah punya gigi? atau ndak?"
Ayahnya menjawab,"Allah terbuat dari niks, berarti nggak punya gigi Ik."

Setelah beberapa saat termenung, Malik berkata, "Allah ndak punya gigi, Allah itu baby atau oma (nenek)?"
Hehehe saya tertawa lagi. "Allah itu bukan baby, bukan oma, bukan semua," balas ayahnya.
" Allah itu Tuhan! Hmm...Aik...Aik..." timpal mbak Lala sok dewasa.
Saya tak berhenti tertawa, tapi saya maklum, anak seusia Malik memang hanya mengerti hal-hal yang kongkret. Tak heran bila pencariannya tentang Tuhan menjadi dialog yang ganjil dan lucu.

Namun, beberapa minggu kemudian tawa saya berubah. Saat itu suami saya tak berhenti menggelitiki Malik, dan Malik marah besar. "Sebesar apa marahnya Aik ke ayah? tanya saya.
" Dari Belanda sampe Afrika. Eh ehm.. maksud Aik Sebesar bumi!" kata Malik.
Tapi Lala membela ayahnya,"Kalo mbak Lala, mbak Lala sayang sama ayah, sayangnya dari matahari sampe pluto."
Lantas Malik pun menyahut,"Aik marah sama ayah dari matahari sampe pluto!"
Tapi yang membuat saya heran, kalimatnya tak berhenti sampai disitu. Dengan semangat ia berkata,"Dan Aik sayang sama Allah dari matahari sampe pluto!"

Ya Allah saya sungguh terharu mendengarnya.
Apakah pencarian Tuhan ala Malik memang berakhir indah?
Dengan cinta yang begitu besar kepada Tuhannya?
Entahlah, saya hanya bisa berdoa semoga semua itu benar dan kekal adanya.
Namun yang pasti, saya semakin yakin bahwa pelajaran tentang Tuhan bagi anak-anak sungguh abstrak dan tak mudah.
Anak-anak adalah mahkluk spiritual, dan saya, orangtuanya sekalipun, tak berhak untuk mematahkan imajinasi mereka tentang Tuhan.
Tugas saya hanya lah membimbing serta mengarahkan.
Dan ternyata dengan caranya sendiri ia menemukan Tuhan versi bocah.
Bahkan dengan cinta yang tak terbayangkan, dari matahari hingga pluto!

Kisah Seorang Pramugari

Seorang pramugari selain mengenakan pakaian cantik seperti yang diketahui banyak orang, tentu saja ada kala nya saya menghadapi saat-saat sulit. Pramugari harus kerja lembur, di dalam pesawat harus mengantar makanan pada ratusan orang, menjual barang duty free, melayani tamu, sibuk sekali sampai tidak bisa tersenyum. Dalam keadaan demikian tetap harus mengingatkan diri bahwa pekerjaanku adalah pelayanan, harus melayani banyak orang. Walaupun bagaimana memberitahu diri kadang-kadang ada saat dimana saya kehabisan tenaga, tak bisa bersabar dan tersenyum.

Sampai pada suatu hari teman baik saya bercerita tentang bagaimana dia melayani seorang kakek tua yang pikun, saya baru bisa mengubah sikap kerja saya. Ini adalah sebuah penerbangan dari Taipei ke New York. Pada saat pesawat terbang take off tak berapa lama, ada seorang kakek yang tidak bisa mengontrol untuk buang air besar. Dan akhirnya memngeluarkannya di tempat. Keluarga yang melihat hanya merasa jijik dan memaksa kakek ini untuk membersihkan diri di toilet sendirian. Orang tua ini tampak ragu sejenak, lalu kemudian seorang diri berjalan menuju toilet yang berada di belakang.

Pada saat kakek itu keluar dari toilet, walau bagaimana pun ia mengingat, ia tetap tidak mampu mengingat tempat duduknya sendiri. Kakek yang berumur 80-an ini menjadi cemas, takut, dan menangis seorang diri di teras toilet. Seorang pramugari datang membantu kakek ini, bau yang teramat sangat memenuhi badan kakek. Ternyata kakek ini tidak mengetahui dengan jelas letak tissue di dalam toilet tersebut sehingga ia membersihkannya dengan menggunakan bajunya. Toilet yang digunakannnya tadi jadi kotor dan berantakan sekali.

Setelah mengantarkan kakek kembali ke tempat duduknya. Para penumpang di sekitarnya mulai mengeluh bau busuk yang berasal dari badannya. Pramugari menanyakan kepada saudaranya apakah mereka masih memiliki baju pengganti yang bisa digunakan oleh kakek ini. Saudaranya mengatakan, semua pakaian ada di bagasi pesawat, jadi kakek ini tidak memiliki baju pengganti. Dan saudaranya berkata, "Sekarangkan penerbangan ini tidak terisi full, saya melihat ada beberapa baris bagian belakang yang masih kosong, bawa saja kakek ini untuk duduk di belakang." Pramugari ini hanya bisa mengikuti keinginan dari saudaranya.dan membawa kakek ini ke barisan belakang.

Kemudian mengunci toilet yang telah digunakan oleh kakek ini agar penumpang lain tidak salah masuk toilet. Akhirnya kakek ini duduk di bangku belakang seorang diri, menundukan kepala dan tak henti-hentinya menghapus air matanya yang terus mengalir.

Siapa sangka satu jam kemudian, kakek ini sudah berganti pakaian, dengan badan yang bersih dan tersenyum riang kembali ke tempat duduknya semula. Di depan mejanya tersaji seporsi makanan baru yang masih hangat. Semua orang saling bertanya siapa gerangan yang membantunya?
Ternyata teman baik saya ini yang mengorbankan waktu makan malamnya. Dia menggunakan tissue dan lap basah pelan-pelan membersihkan badan kakek ini sampai bersih.dan meminjam baju baru dari co-pilot untuk mengganti baju kakek ini. Terlebih lagi, pramugari ini membersihkan toilet yang telah digunakan oleh kakek ini hingga bersih dan menyemprotkan parfumnya sendiri ke dalam toilet tersebut.

Rekan kerjanya mengatakan dia bodoh, harus begitu susah payah membantu orang lain, bukankah sampai akhirnya tidak akan ada orang yang mengenang dan berterimah kasih. Sudah lelah, namun tidak mendatangkan keuntungan apa pun. Dia dengan tenang dan tegas menjawab, "Jam penerbangan masih belasan jam, kalau saya menjadi orang tua tersebut, saya pastilah sangat sedih, siapa yang berharap kalau awal dari perjalanan ini bisa jadi begini.

Lagi pula tigapuluhan orang harus menggunakan satu toilet, kurang satu toilet tentu sangat merepotkan. Saya bukan hanya membantu orang tua itu tapi juga membantu penumpang yang lain."

Setelah mendengar cerita ini saya sangat menyesali sikap saya. Teman baikku pernah menyampaikan kepada saya bahwa pekerjaan yang paling membahagiakan adalah pekerjaan yang mengantarkan orang lain dari satu tempat ke tempat lain dengan selamat. Sejak mendengar pengalaman indah dari teman baik ini, saya baru menyadari bahwa pelayanan sungguh merupakan sebuah berkah yang harus dihargai. Cara terbaik menghargai berkah adalah dengan membagikan berkah ini kepada orang lain. Pengalaman teman baikku ini telah mengubah sikapku dalam bertugas.