Selasa, 10 Januari 2012

Keranjang Kehidupan

Alkisah, di sebuah kerajaan kecil ada seorang Pemuda desa yang jujur dan idealis tengah menanjak karirnya. Setelah beberapa tahun mengabdi, dia di promosikan sebagai pejabat pengawas keuangan kerajaan. Tugas sehari-harinya mengawasi aliran pajak yang masuk ke kas kerajaan.

Sebagai pengawas keuangan, pemuda itu dihormati dan disegani. Namu, pekerjaannya itu memberinya beban dan target berat. Dia harus mengatasi kebocoran keuangan dan menindak pejabat korup. Akibatnya, dia sering mendapat ancaman dan tekanan.

Hati Sang Pemuda mulai gundah dan goyah. “Jabatanku sekarang cukup terpandang, tetapi konsekuensinya sangat berat. Bagaimana mempertahankan jabatan tapi tidak menanggung beban seberat ini?” tanyanya dalam hati.

Setelah merenung dan tidak menemukan jawaban, Pemuda itu menemui seorang Kakek bijaksana di kampung halamannya untuk meminta nasihat.

Kakek bijak itu memberi sebuah keranjang besar. “Ayo, panggul keranjang ini dan ikuti Aku” perintahnya.

Meski awalnya ragu, Pemuda itu mengikuti perintah tadi. Kakek bijak mengajak dia menyusuri jalan-jalan pedesaan. Sambil berjalan, Si Pemuda diminta memasukkan batu-batuan yang berserakan di jalan ke dalam keranjang. Setelah cukup jauh berjalan, keranjang itu hampir di penuhi batu-batuan. Si Pemuda pun mulai tersengal-sengal dan jalannya terseok-seok.

“Apa beban di pundakmu semakin berat?” Kakek bijak bertanya.

“Ya,, pasti lah Kek..! Pundak…. pundak Saya mau copot rasanya,” jawab Si Pemuda tersengal-sengal.

Begitu tiba di pohon rindang, Si Kakek meminta Pemuda itu beristirahat dan menaruh keranjangnya.

Keranjang dan batu-batu itu hampir sama seperti kehidupanmu saat ini. 
Saat lahir, Engkau sama seperti keranjang kosong. 
Lalu dalam perjalanan hidupmu, kau pungut apa pun yang engkau temukan atau inginkan, lalu memasukkan ke keranjang kehidupanmu. 
Termasuk keluarga, pekerjaan, tanggung jawab dan idealisme. 
Semua ada ‘harganya’. 
Semakin jauh perjalanan hidupmu, semakin berat keranjang kehidupanmu,” jelas Si Kakek panjang lebar.

“Bagaimana supaya keranjangku bisa lebih ringan, Kek?” tanya Si Pemuda.

Bukannya menjawab, si Kakek malah bertanya, “Maukah kamu meninggalkan semua yang dimiliki saat ini, seperti keluarga, jabatan, idealisme atau mimpi-mimpimu?”

Anak muda itu menggelengkan kepala,  
“Saya masih punya hasrat besar untuk membersihkan kerajaan dari para koruptor,” jawab Si Pemuda.

“Sepanjang kehidupan, masalah, kesulitan, hambatan, dan tantangan selalu ada. 
Tidak ada kehidupan tanpa itu semua. 
Setiap kali kita berhasil melewati suatu masalah, kita tumbuh lebih matang. 
Lalu muncul ujian baru, begitu seterusnya. 
Itulah kehidupan,” jelas Si Kakek bijak.

Pemuda itu manggut-manggut dan mulai mendapat gambaran. Si Kakek melanjutkan, “Semakin besar prestasi kita, semakin besar pula beban di pundak kita. 
Nasihatku, bila semua yang engkau peroleh tidak ingin kau lepaskan, terimalah konsekuensinya. 
Tapi, jangan anggap lagi sebagai beban semata, anggaplah itu sebagai tanggung jawab yang membahagiakan. 
Maka, seberat apa pun beban itu, kamu tidak akan begitu merasakannya lagi.”

Begitu penting tanggung jawab dalam kehidupan. Sebagai ibu rumah tangga, kepala keluarga, anak, pejabat pemerintah, pimpinan perusahaan, pengusaha, pedagang atau karyawan, kita tak bisa lari dari keranjang beban kehidupan. Semua memiliki fungsi dan tanggung jawab sendiri-sendiri.

Orang-orang sukses adalah orang yang bertanggung jawab. Mereka melihat tanggung jawab sebagai ‘tantangan’ yang harus di hadapi. Mereka juga memandang tanggung jawab dan beban di dalamnya sebagai sebuah ‘peluang’ yang sesungguhnya ada di mana-mana, dan menghampiri siapa saja dalam berbagai wujud.

Jangan mudah mengeluh, menyerah atau patah semangat jika mendapat tanggung jawab, tantangan, serta konsekuensi beban yang terkandung di dalamnya.

"Indahnya Amanah-Mu"

"Suatu hari aku ingin mengajarkan kepada Habibi putra semata wayangku yang baru duduk dikelas 3 SD untuk mengatur uang jajannya. Habibi kuberi uang Rp 35.000 perminggu. Biasanya uang tersebut kuberikan setiap hari sebelum berangkat sekolah.

Pada jum'at pagi aku dan Habibi hendak jalan-jalan ke alun-alun untuk menikmati liburan, karena anakku sekolah di SD Islam liburnya hari jum'at dan akhirnya aku juga menyesuaikan libur kerja hari jum'at. Sebelum berangkat, tak lupa aku memberikan uang jajan mingguan Habibi dengan tiga lembar uang Rp 10.000 satu lembar Rp 5000. Dan uang tersebut disimpan rapi dalam saku celananya.
Ditengah keasikanku dan Habibi menikmati keramaian alun2 , tiba-tiba kami dikejutkan dengan kedatangan seorang kakek pengemis yang telah tua renta sambil memelas dan matanya juga buta.
Tak tega melihat sang kakek tua memelas, Habibi dengan sigap langsung mengeluarkan 3 lembar uang 10.000,- dan 1 lembar uang 5.000,- dari saku celana dan diberikan seluruhnya.

Kontan saja kakek pengemis ini terlihat sangat senang seraya mengucapkan rasa syukur dan terima kasih yang tak terkira kepada Habibi dan aku .
Setelah si kakek tua berlalu, kemudian aku bertanya;
“Sayang, kenapa kamu berikan semua uangmu untuk kakek itu? 
Bukankah satu lembar saja sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya hingga nanti malam?”

“Mama...kalau kakek tua itu ikhlas menerima yang sedikit maka aku ikhlas untuk memberikan yang lebih besar!” Jawab Habibi dengan wajah tersenyum..

“Tek!!!” Hatiku langsung tersentak kaget mendengar jawaban tersebut.

“Nah, terus uang jajanmu untuk seminggu ke depan bagaimana?” Tanyaku mencoba menguji.

“Kan aku masih punya mama dan ayah..! 
Tidak seperti kakek tua itu yang mungkin hanya hidup sebatangkara di dunia ini.” Balas anaknya.

“Kenapa kamu begitu yakin kalo mama dan ayah akan mengganti uang jajanmu? 
Mama nggak janji loh?” Kembali aku mengujinya.

“Kalo mama merasa bahwa aku adalah amanah dari Allah yang dititipkan kepada mama dan ayah, maka aku sangat yakin mama dan ayah tak akan membiarkan aku kelaparan seperti kakek tua itu..” Jawab Habibi sambil berlari memainkan bolanya.

Seakan aku tak percaya dengan jawaban dari Habibi hingga aku kehabisan kata-kata. Aku tak menyangka jawaban seperti itu keluar dari seorang bocah kelas 3 SD. Aku seperti sedang berhadapan dengan seorang yang lebih tua dari aku dan aku tak bernilai apa-apa ketika berada dihadapannya.

Lalu ku kejar Habibi dan kupeluk erat sambil ku ciumi...
“Sayang…mama dan ayah janji akan selalu menjaga dan merawatmu hingga Allah tetapkan batas umur ini. Mama sangat sayang padamu..” Sambil kedua mataku berkaca-kaca seolah tak kuat menahan tangis ini...

Sambil memandang dan menciumi pipiku,
“Mama tak perlu berkata seperti itu. Sejak dulu aku sudah tahu bahwa mama dan ayah sangat mencintai dan menyayangiku. Kelak jika aku sudah dewasa aku akan selalu menjaga mama dan ayah, dan aku tidak akan membiarkan mama dan ayah hidup dijalan seperti kakek tua itu…”

Dan air mataku tak terbendung lagi tangis ini mendengar jawaban tulus dari Habibi. Semakin ku dekap erat tubuh Habibi . Seperti kebiasaanku aku tidak suka melihat Habibi menangis...biasanya kusuruh dia menangis sambil tersenyum...kali ini Habibi yang memintaku begitu. Ya Allah...Ya Rabb...semoga aku bisa menjaga amanahmu ini.

Sekelumit kisahku ini semoga mengajarkan kita tentang Keikhlasan.

JANGAN KAU TANGISI ATAS KEPERGIANKU

Karya: Almarhumah Miftahul Mujahidah Al-Banjari

Aku tertegun ketika melihat sosok dengan wajah pucat dan disumpal dengan kapas pada mulut, hidung, dan telinganya. Yang terbujur kaku dihadapanku. Diselimuti dengan kain berlapis.

Dia begitu mirip denganku. Di sekelilingnya orang-orang terisak sambil membacakan surat Yaasin untuknya.

Seorang perempuan yang mirip ibuku menangis tersedu-sedu ketika membuka kain penutup mukanya. Lalu dua perempuan lain yang sebaya dengannya menenangkan dia.

Dan di sekitar rumahnya ada orang-orang yang menyesali kematiannya yang dianggap begitu cepat. Ada orang yang tidak percaya kalau dia telah wafat.
Ada orang yang merasa kasihan pada dia dan keluarga yang ditinggalkannya.
Suasana disitu begitu riuh oleh isak para pelayat. Di teras rumahnya seorang bapak menahan tangis lirih air matanya.
Dia mencoba terlihat tegar meski sebenarnya hatinya begitu lemah untuk menerima kenyataan yang ada.
Disampingnya seorang temannya mencoba menemaninya, dan hal itu agak meringankan kesedihannya.
Dia masih ingat, ketika dulu anaknya yang masih TK memenangkan lomba menggambar tingkat provinsi dan tentang cita-cita anaknya yang ingin menjadi presiden, dia begitu bangga.
Betapa anaknya itu akan tumbuh menjadi sosok yang sangat luar biasa. Tak pernah dia berpikir kalau semua itu akan pupus pada usia anaknya yang masih 18 tahun. Sungguh tragis.

Tiba-tiba, sesuatu yang aneh bergerak dalam kepalaku. Ada sesuatu. Ini seperti rumahku. Hey !! Aku ingat, Aku kenal orang-orang ini. Perempuan yang menangis ketika membuka kain penutup muka itu adalah ibuku, dan bapak itu, itu adalah bapakku. Dan jasad yang terbaring itu, itu jasadku. Aku bingung. Benar-benar bingung. Aku sudah mati?

Tidak! Ini pasti mimpi. Yah, ini pasti mimpi. Lalu tiba-tiba aku merasa panas pada tubuhku. Sangat panas, lalu kemudian perlahan-lahan mulai sejuk.

Seketika itu muncul sesosok laki-laki bercahaya dan berwajah tampan yang mengenakan jubah putih serta sorban yang juga berwarna putih di kepalanya. Dia menghampiri diriku.

“siapa gerangan tuan?” tanyaku kebingungan.

“aku adalah amalmu yang akan menemanimu dalam kuburmu.” jawabnya, lalu ia tersenyum padaku.

Aku masih bingung.Lalu di halaman rumahnya, terdapat sebuah pagar kain yang berbentuk segi empat 3x3 meter, sepertinya itu adalah tempat bekas untuk memandikan jasadku. Tanahnya masih basah. Didalamnya masih terdapat sebuah altar yang beralaskan gedebong pisang. Aroma sabun masih menyengat di dalamnya. Di situlah jasadku dimandikan, di wudhukan sampai bersih dari segala najis dan kotoran. Semakin banyak orang yang berdatangan mengucapkan belasungkawa.

Ada yang hanya melihat saja, ada yang ikut sibuk mempersiapkan kain kafan dan lain-lain. Semua perabot di ruang tamu dikeluarkan. Lalu tak berselang lama, enam orang pria dengan tubuh kekar datang sambil memanggul sebuah keranda mayat. Orang-orang yang menghalangi jalan segera minggir. Lalu keranda itu diletakkan dipinggir jasadku.

Setelah semua selesai membaca surat Yaasin untukku, jasadku dikafani dan diletakkan pada keranda itu, kemudian orang-orang yang kukenal yang adalah tetanggaku, mengangkat keranda itu dan membawanya ke masjid terdekat dengan rumahku untuk dishalati. Di belakang para pengangkat keranda itu ada sepupuku,  hafid, dia memegang payung hitam yang gagangnya disambung dengan tongkat yang biasa digunakan untuk kegiatan Pramuka. Setelah dishalati, seorang kyai yang masih ada hubungan darah dengan bapakku mulai berdo'a dan berpidato meminta keikhlasan dari orang-orang yang kukenal.
“…. barang kali almarhum punya sangkutan mohon diikhlaskan. Bagi yang sangkutannya cukup besar dan tidak ikhlas jika merelakannya silahkan ungkapkan saja sekarang, agar almarhum merasa ringan di alam sana.”

Setelahnya, keranda yang berisi jasadku itu diantar menuju pekuburan terdekat. Di sana sudah disiapkan liang kubur untuk jasadku dengan ukuran sekitar 2x1,5 meter dan kedalaman sekitar 2 meter. Iring-iringan orang yang mengantar kepergianku begitu banyak. Sampai ada yang tidak aku kenal sama sekali.

Dan diantara orang-orang itu ada teman-temanku yang ikut mengantar jasadku.

Dan hampir semua teman-teman perempuanku menangis, diantaranya adalah gadis yang sangat aku cintai. Yah, dialah pujaan hatiku, Fatimah az-Zahra. Namanya mirip dengan putri Rasulullah, dan dia begitu cantik.
Dialah satu-satunya gadis yang ada di dalam hatiku.

Meski aku tidak pernah mengungkapkan cintaku padanya secara terang-terangan, tapi dia tahu aku sangat mencintainya. Dan akupun tahu dia juga mencintaiku. Dan sungguh sangat ironis melihat cinta kami terpisahkan oleh maut. Sampai disana, jasadku dikeluarkan dari keranda, dan di dalam liang kubur itu sudah bersiap-siap orang-orang yang akan menerima jasadku untuk mereka letakkan di tempat peristirahatan terakhirku.

Dan setelah do'a dan adzan dikumandangkan, secara perlahan tanah kuburan itu diletakkan pada jasadku, sampai akirnya tenggelamlah jasadku di tanah itu. Jasadku terkubur disitu. Kemudian pak kyai membacakan doa lagi untukku. Dan orang-orang mulai beranjak pergi meninggalkan kuburku.

Satu per satu mereka pergi.

Mulai dari orang-orang yang tidak aku kenal, para tetangga, teman-temanku, juga Fatimah az-Zahra, keluarga dekatku, dan disitu hanya tersisa ibu dan bapakku.
Ibuku masih terisak-isak, sedangkan bapakku mencoba tegar dan menenangkan ibuku. Ingin rasanya aku memanggil mereka berdua, tapi itu sia-sia.

Akhirnya sepi, tempat itu menjadi sepi. Hanya gundukan tanah yang masih basah yang dimana jasadku bersemayam didalamnya. Kini aku sudah mati. Mungkin untuk beberapa hari aku masih diingat dan masih banyak orang yang berkunjung ke rumahku, tapi itu tidak akan lama. Pasti aku akan dilupakan. Aku tahu itu. Waktulah yang akan menjawabnya. Selamat jalan untuk diriku yang telah wafat. Selamat tinggal untuk kedua orang tuaku, keluarga besarku, teman-temanku, guru-guruku, tetanggaku, dan selamat tinggal Fatimah az-Zahra gadis impianku. Semoga kau temukan pendamping hidup yang setia seperti Ali bin Abi Thalib. Aku mencintaimu, aku mencintai kalian semua. Innalillahi wa inna illahi roji'un………….

Allah SWT telah berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

“Setiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati, dan Kami menguji kalian dengan kejelekan dan kebaikan sebagai satu fitnah (ujian), dan hanya kepada Kami lah kalian akan dikembalikan.” (Al-Anbiya`: 35)


فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ

“Maka apabila telah tiba ajal mereka (waktu yang telah ditentukan), tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula mereka dapat mendahulukannya.” (An-Nahl: 61)


وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan kematian seseorang apabila telah datang ajal/waktunya.” (Al-Munafiqun: 11)


Wahai betapa meruginya seseorang yang berjalan menuju alam keabadian tanpa membawa bekal. Janganlah engkau, wahai jiwa, termasuk yang tak beruntung tersebut. Perhatikanlah peringatan Rabbmu:

وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ

“Dan hendaklah setiap jiwa memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (Al-Hasyr: 18)


Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu menjelaskan ayat di atas dengan menyatakan, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan lihatlah amal shalih apa yang telah kalian tabung untuk diri kalian sebagai bekal di hari kebangkitan dan hari diperhadapkannya kalian kepada Rabb kalian.” (Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 1388)


Janganlah engkau menjadi orang yang menyesal kala kematian telah datang karena tiada berbekal, lalu engkau berharap penangguhan.

وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلاَ أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ

“Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepada kalian sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kalian, lalu ia berkata, ‘Wahai Rabbku, mengapa Engkau tidak menangguhkan kematianku sampai waktu yang dekat hingga aku mendapat kesempatan untuk bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shalih?’.” (Al-Munafiqun: 10)

Karenanya, berbekallah! Persiapkan amal shalih dan jauhi kedurhakaan kepada-Nya!

... KISAH SEBUAH DOA SEDERHANA

Cerita menggelikan ini kudengar ketika duduk dibangku SMA dulu. Cerita yang akhirnya tertulis begitu dalam di relung-relung hati. Cerita yang meskipun naif, namun bermakna sangat dalam.

Kisah nyata dari seseorang yang dalam episode hidupnya sempat ia lewati dalam penjara. Bermula dari hal yang sepele. Lelaki itu kehabisan odol dipenjara.

Malam itu adalah malam terakhir bagi odol diatas sikat giginya. Tidak ada sedikitpun odol yang tersisa untuk esok hari. Dan ini jelas-jelas sangat menyebalkan. Istri yang telat berkunjung, anak-anak yang melupakannya dan diabaikan oleh para sahabat, muncul menjadi kambing hitam yang sangat menjengkelkan.

Sekonyong-konyong lelaki itu merasa sendirian, bahkan lebih dari itu : tidak berharga ! Tertutup bayangan hitam yang kian membesar dan menelan dirinya itu, tiba-tiba saja pikiran nakal dan iseng muncul. Bagaimana jika ia meminta odol pada TUHAN ?

Berdoa untuk sebuah kesembuhan sudah berkali-kali kita dengar mendapatkan jawaban dari-NYA . Meminta dibukakan jalan keluar dari setumpuk permasalahanpun bukan suatu yang asing bagi kita. Begitu pula dengan doa-doa kepada orang tua yang telah berpulang, terdengar sangat gagah untuk diucapkan. Tetapi meminta odol kepada Sang Pencipta jutaan bintang gemintang dan ribuan galaksi, tentunya harus dipikirkan berulang-ulang kali sebelum diutarakan. Sesuatu yang sepele dan mungkin tidak pada tempatnya. Tetapi apa daya, tidak punya odol untuk esok hari –entah sampai berapa hari- menjengkelkan hatinya amat sangat.

Amat tidak penting bagi orang lain, tetapi sangat penting bagi dirinya.

Maka dengan tekad bulat dan hati yang dikuat-kuatkan dari rasa malu, lelaki itu memutuskan untuk mengucapkan doa yang ia sendiri anggap gila itu. Ia berdiri ragu-ragu dipojok ruangan sel penjara, dalam temaram cahaya, sehingga tidak akan ada orang yang mengamati apa yang ia lakukan. Kemudian dengan cepat, bibirnya berbisik : “YA ALLAH YA TUHANKU, Kau mengetahuinya aku sangat membutuhkan benda itu”. Doa selesai.

Wajah lelaki itu tampak memerah. Terlalu malu bibirnya mengucapkan kata amin. Dan peristiwa itu berlalu demikian cepat, hingga lebih mirip dengan seseorang yang berludah ditempat tersembunyi. Tetapi walaupun demikian ia tidak dapat begitu saja melupakan insiden tersebut. Sore hari diucapkan, permintaan itu menggelisahkannya hingga malam menjelang tidur. Akhirnya, lelaki itu –walau dengan bersusah payah- mampu melupakan doa sekaligus odolnya itu.

Tepat tengah malam, ia terjaga oleh sebuah keributan besar dikamar selnya.

“Saya tidak bersalah Pak !!!”, teriak seorang lelaki gemuk dengan buntalan tas besar dipundak, dipaksa petugas masuk kekamarnya,

” Demi TUHAN Pak !!!
Saya tidak salah !!!
Tolong Pak…Saya jangan dimasukin kesini Paaaaaaaaak..!!!”

Sejenak ruangan penjara itu gaduh oleh teriakan ketakutan dari ‘tamu baru’ itu.

“Diam !!”, bentak sang petugas,
”Semua orang yang masuk keruangan penjara selalu meneriakkan hal yang sama !!
Jangan harap kami bisa tertipu !!!!”

“Tapi Pak…Sssa..”

Brrrraaaaang !!!!
Pintu kamar itu pun dikunci dengan kasar. Petugas itu meninggalkan lelaki gemuk dan buntalan besarnya itu yang masih menangis ketakutan.

Karena iba, lelaki penghuni penjara itu pun menghampiri teman barunya. Menghibur sebisanya dan menenangkan hati lelaki gemuk itu. Akhirnya tangisan mereda, dan karena lelah dan rasa kantuk mereka berdua pun kembali tertidur pulas.

Pagi harinya, lelaki penghuni penjara itu terbangun karena kaget. Kali ini karena bunyi tiang besi yang sengaja dibunyikan oleh petugas. Ia terbangun dan menemukan dirinya berada sendirian dalam sel penjara. Lho mana Si Gemuk, pikirnya. Apa tadi malam aku bemimpi ? Ah masa iya, mimpi itu begitu nyata ?? Aku yakin ia disini tadi malam.

“Dia bilang itu buat kamu !!”, kata petugas sambil menunjuk ke buntalan tas dipojok ruangan.
Lelaki itu segera menoleh dan segera menemukan benda yang dimaksudkan oleh petugas. Serta merta ia tahu bahwa dirinya tidak sedang bermimpi.

“Sekarang dia dimana Pak ?”, tanyanya heran.

“Ooh..dia sudah kami bebaskan, dini hari tadi…biasa salah tangkap !”, jawab petugas itu enteng,
”saking senangnya orang itu bilang tas dan segala isinya itu buat kamu”.

Petugas pun ngeloyor pergi.

Lelaki itu masih ternganga beberapa saat, lalu segera berlari kepojok ruangan sekedar ingin memeriksa tas yang ditinggalkan Si Gemuk untuknya.

Tiba-tiba saja lututnya terasa lemas. Tak sanggup ia berdiri. “Ya..TUHAAANNN !!!!”, laki-laki itu mengerang. Ia tersungkur dipojok ruangan, dengan tangan gemetar dan wajah basah oleh air mata. Lelaki itu bersujud disana, dalam kegelapan sambil menangis tersedu-sedu.

Disampingnya tergeletak tas yang tampak terbuka dan beberapa isinya berhamburan keluar. Dan tampaklah lima kotak odol, sebuah sikat gigi baru, dua buah sabun mandi, tiga botol shampo, dan beberapa helai pakaian sehari-hari.



Sahabat, Kisah tersebut sungguh-sunguh kisah nyata. Sungguh-sungguh pernah terjadi. Dan aku mendengarnya langsung dari orang yang mengalami hal itu. Semoga semua ini dapat menjadi tambahan bekal ketika kita meneruskan berjalan menempuh kehidupan kita masing-masing. Jadi suatu ketika, saat kita merasa jalan dihadapan kita seolah terputus. Sementara harapan seakan menguap diganti deru ketakutan, kebimbangan dan putus asa.

Pada saat seperti itu ada baiknya kita mengingat sungguh-sungguh bahkan Odol pun akan dikirimkan dari Surga bagi siapapun yang membutuhkannya. Apalagi jika kita meminta sesuatu yang mulia. Sesuatu yang memuliakan harkat manusia dan DIA yang menciptakan kita.

Seperti kata seorang bijak dalam sebuah buku :

“Seandainya saja engkau mengetahui betapa dirimu dicintai-NYA, hati mu akan berpesta pora setiap saat”. ..

... BAGAIMANA MUNGKIN ..? ...

Bagaimana mungkin Allah mengabulkan permintaan seorang hamba yang merintih menengadah kepada Allah di malam hari, namun ketika siang muncul, dia pun melakukan maksiat.

Bagaimana mungkin do’a seorang gadis ingin mendapatkan seorang laki-laki sholeh terkabulkan, sedang dirinya sendiri belum sholehah.

Bagaimana mungkin do’a seorang hamba yang mendambakan rumah tangga sakinah, sedang dirinya masih diliputi oleh keegoisan sebagai pemimpin rumah tangga..

Bagaimana mungkin seorang ibu mendambakan anak-anak yang sholeh, sementara dirinya disibukkan bekerja di luar rumah sehingga pendidikan anak terabaikan, dan kasih sayang tak dicurahkan.

Bagaimana mungkin keinginan akan bangsa yang bermartabat dapat terwujud, sedangkan diri pribadi belum bisa menjadi contoh teladan

Cinta Allah cinta yang tak bertepi. Jikalau sudah mendapatkan cinta-Nya, dan manisnya bercinta dengan Allah, tak ada lagi keluhan, tak ada lagi tubuh lesu, tak ada tatapan kuyu. Yang ada adalah tatapan optimis menghadapi segala cobaan, dan rintangan dalam hidup ini. Tubuh yang kuat dalam beribadah dan melangkah menggapai cita-cita tertinggi yakni syahid di jalan-Nya.

Tak jarang orang mengaku mencintai Allah, dan sering orang mengatakan mencitai Rasulullah, tapi bagaimana mungkin semua itu diterima Allah tanpa ada bukti yang diberikan, sebagaimana seorang arjuna yang mengembara, menyebarangi lautan yang luas, dan mendaki puncak gunung yang tinggi demi mendapatkan cinta seorang wanita. Bagaimana mungkin menggapai cinta Allah, tapi dalam pikirannya selalu dibayang-bayangi oleh wanita/pria yang dicintai. Tak mungkin dalam satu hati dipenuhi oleh dua cinta. Salah satunya pasti menolak, kecuali cinta yang dilandasi oleh cinta pada-Nya.

Di saat Allah menguji cintanya, dengan memisahkanya dari apa yang membuat dia lalai dalam mengingat Allah, sering orang tak bisa menerimanya. Di saat Allah memisahkan seorang gadis dari calon suaminya, tak jarang gadis itu langsung lemah dan terbaring sakit. Di saat seorang suami yang istrinya dipanggil menghadap Ilahi, sang suami pun tak punya gairah dalam hidup. Di saat harta yang dimiliki hangus terbakar, banyak orang yang hijrah kerumah sakit jiwa, semua ini adalah bentuk ujian dari Allah, karena Allah ingin melihat seberapa dalam cinta hamba-Nya pada-Nya. Allah menginginkan bukti, namun sering orang pun tak berdaya membuktikannya, justru sering berguguran cintanya pada Allah, disaat Allah menarik secuil nikmat yang dicurahkan-Nya.

Itu semua adalah bentuk cinta palsu, dan cinta semu dari seorang makhluk terhadap Khaliknya. Padahal semuanya sudah diatur oleh Allah, rezki, maut, jodoh, dan langkah kita, itu semuanya sudah ada suratannya dari Allah, tinggal bagi kita mengupayakan untuk menjemputnya. Amat merugi manusia yang hanya dilelahkan oleh cinta dunia, mengejar cinta makhluk, memburu harta dengan segala cara, dan enggan menolong orang yang papah. Padahal nasib di akhirat nanti adalah ditentukan oleh dirinya ketika hidup didunia, Bersungguh-sungguh mencintai Allah, ataukah terlena oleh dunia yang fana ini. Jika cinta kepada selain Allah, melebihi cinta pada Allah, maka itu adalah merupakan salah satu penyebab do’a kita tak terijabah....
Di suatu pagi, mentari tampak meredupkan cahayanya, tak seperti biasanya yang selalu tersenyum lebar dan menebarkan aroma cahaya kecerahan pada setiap insan di muka bumi.

Sementara di sebelah sanapun sang hujan mulai menggoda, mulai melambai-lambaikan godaan awan seolah mengejek sang mentari tuk mulai bersenda gurau, "pagi yang menyejukkan .." guraunya.

Sang mentaripun tersenyum simpul mendengar ejekan sang hujan, dengan lirihpun berucap, "wangi aroma cahayaku tak sirna oleh lambaian godaan awanmu....". Sang hujanpun balas mengejek, "bagaimana mungkin engkau tak kan terhalang, sedang aroma cahayamu tak sampai di muka bumi ?".

Sang mentari dengan tegas menjawab, "wangi aroma cahayaku akan selalu terpancar oleh hati-hati hamba yang beriman, walau mendung awan menyelemuti bumi mereka". Mendengar jawaban demikian sang hujanpun berujar, "sungguh engkau telah benar !".

Itulah sepenggal kalimat yang barangkali menjadi sebuah bahan inspirasi, bahwa pada dasarnya sinar cahaya akan selalu benderang menghiasi ruangan - ruangan hati hamba yang beriman. Sang cahaya tak hilang walau diterjang berbagai awan yang melintang, karena sesungguhnya awan itu hanyalah sebuah "sarana penegasan" untuk bisa melihat sang cahaya kembali.

Begitulah, kita hidup di dunia ini, terkadang karena berbagai problema hidup seolah menenggelamkan sumber cahaya abadi yang ada dalam hati ini, padahal justru karena problema hidup itu, "nilai" kita semakin teruji. Bagaimana mungkin kita bisa dibedakan dengan makhluk Allah yang lain, bila kita tidak pernah diuji.

Justru karena ujian, kita "dipaksa" untuk selalu mengasah akal dan fikiran kita. Justru karena ujian, kita selalu dan selalu melihat tanda -tanda kekuasaan Allah. Karena sesungguhnya bagi seorang mu'min "segalanya merupakan kebaikan".

Dalam sebuah haditspun Rasulullah pernah bersabda, " Sungguh unik perkara orang mukmin itu ! Semua perkaranya adalah baik. Jika mendapat kebaikan ia bersyukur, maka itu menjadi sebuah kebaikan baginya. Dan jika ditimpa musibah ia bersabar, maka itu juga menjadi sebuah kebaikan baginya. Dan ini hanya akan terjadi pada orang mukmin."

Terkadang, saat kita mengalami sebuah persoalan ekonomi misalnya, begitu berat gundah gulana melanda fikiran kita, perasaan kita bahkan hati kita terasa kacau balau. Namun sadarkah kita, bahwa seberat apapun masalah yang kita hadapi "pasti" sesuai ukuran yang Allah berikan kepada kita. Ini yang harus senantiasa menjadi sebuah "keyakinan mutlak" dalam diri kita.

Sikap kita terhadap sebuah permasalahan, ternyata lebih penting dibanding masalah itu sendiri. Kita sadar di dunia ini tidak ada satupun manusia yang tidak mempunyai masalah, karena memang karena itulah manusia terlahir ke muka bumi, untuk merampungkan masalah. Melalui sebuah masalah, sungguh-sungguh nilai kita diuji oleh Allah. Akankah karena suatu masalah membawa kita semakin dekat kepada Allah ? atau malah mungkin semakin jauh dari bimbingan Allah ?

Tatkala karena suatu masalah menimpa kita, lalu setahap demi setahap semakin bisa melihat "betapa besar kekuasaan Allah", maka insya Allah balasan dari Allah lebih besar dari masalah itu sendiri. Namun jika kita semakin membawa diri kepada sebuah kemalasan, kejenuhan, hilangnya motivasi diri.... jangan-jangan kita terbawa kepada sebuah "tipu daya" dari nafsu kita sendiri, yang pada akhirnya membawa kepada sebuah kesengsaraan hakiki.

Sikap kita bisa "selamat", tatkala pada titik puncak "keyakinan hakiki" mengatakan bahwa, "tiada daya dan upaya kecuali karena Allah semata", bukan karena fikiran kita, bukan karena strategi kita, bukan karena kelihaian lobby kita, bukan karena skill kita.... dan bla.. bla ...... Tatkala kita "merasa" bisa mengatasi permasalahan namun dalam hati kita, berkata " karena kemampuan fikiran saya" dan melupakan "pemberi" fikiran kita sendiri... maka sesungguhnya lambat laun tanpa sadar... kita terbawa pada arus "kesombongan diri".."Na'udzubillah !!!!.

Maka, seandainya saja, kita sudah bisa melihat "rahasia" sebuah masalah, maka sungguh "penglihatan akan keagungan kekuasaan Allah semakin terbuka". Yang terbuka oleh mata hati ini..... karena hati ini telah bisa melihat, maka pancaran cahayanyapun akan menyinari sang fikiran untuk berfikir lebih jernih... lebih terarah..., juga kan menyinari setiap langkah dan lintasan fikiran kita.... hingga "jalan keluarpun" akan diturunkan oleh "Sang Pemberi Cahaya", Allah Ta'ala...