Terasa dunia akan runtuh ketika kau meminta izin kepadaku untuk
menikah lagi. Membayangkan kau, suamiku tersayang, sedang membagi cinta,
perhatian dan segala kesenangan duniawi lainnya dengan wanita lain,
bukan hanya sekedar mendatangkan pusing dan mual tapi juga penyakit
cemburu serta sakit hati yang mungkin tak akan berkesudahan bagiku.
Jangan protes wahai suamiku, Bahkan istri-istri nabi yang mulia pun,
mereka tak bisa menghindar dari kecemburuan. Semua itu karena cinta yang
teramat sangat untukmu.
Sejenak aku pun buru- buru
mengadakan koreksi kilat tentang apa yang kurang dari diriku, atau
tentang apa yang selama ini menjadi kelemahanku selama ini. Seakan semua
daya upaya akan aku kerahkan ketika menyadari bahwa kenyataan didepan
akan sebentar lagi sampai kepadaku. Dan akhir dari usaha itu adalah cara
yang aku fikir efektif untuk menghadang kenyataan takdir yang akan
diberikan Allah untukku
Akhirnya hari itu pun datang saat
aku harus mengatakan sebuah jawaban untukmu.
Ya Allah, wanita mana yang
ingin cintanya terbagi.
Wanita mana yang kuat melihat suaminya
bermesraan dan bahagia bersama suamiku..
suamiku yang sangat aku cintai.
Ya Allah, bahkan jika kenyataan ini terbalik, dan dia berada pada
posisiku, sanggupkah engkau wahai suamiku?
Imanku
mengatakan aku bisa merelakanmu, namun kecemburuan dan perasaanku
mengunci hatiku untuk tetap mengatakan tidak, tidak dan tidak untukmu.
Pernikahan kita adalah tentang kita, kau dan aku, sama sekali tidak
tentang dia.
Dan lalu bagaimana mungkin kau tega memasukkan dia kedalam
kebahagiaan kita?
Apakah selanjutnya kita akan bahagia, suamiku?
Sekali
lagi, aku tidak bisa lepas dari kodratku sebagai wanita yang identik
dengan kecemburuan yang sangat melekat erat. Namun sekuat tenagaku aku
mencoba tidak emosional. Sulit.. walaupun semua ini sangat sulit.
Namun...
akhirnya kecintaan Allah menyadarkanku. Bukankah menikah adalah ladang
amal bagiku untuk menggapai surga?, walau sekali lagi, Demi Allah sangat
sulit merelakan bagian dari diriku masih harus ku bagi dengan orang
lain.
Namun... sekali lagi, Bahasa iman menggugah
kesadaranku kembali. Sekejab kupalingkan egoku untuk menilai maduku.
Bukankah situasi ini juga menjadi cobaan bukan hanya untuk aku dan
suamiku, tapi terutama adalah baginya. Betapa resiko sosial akan datang
kepadanya, cap jelek sebagai perebut suami orang akan dilekatkan
kepadanya.
Masyaallah, betapa aku juga mungkin tidak akan sanggup jika
menjadi pelakon kisah hidupnya. Bukankah jodoh sudah digariskan Allah
atas semua manusia. Dia pun tak pernah bisa memesan dari mana jodohnya
akan datang. Namun ketika jodohnya adalah suamiku sendiri, lalu apakah
aku harus menyalahkannya, yang berarti pula menyalahkan Allah sang Maha Pengatur?
Dari pada aku memperburuk keadaan ini dengan
prasangka yang menghinakanku sendiri, lebih baik aku menguatkan hati
untuk membantu menguatkan suamiku.
Suamiku.. seseorang yang telah
bertahun-tahun menjadikan aku satu-satunya ratu didalam hati dan
rumahnya, memuliakanku dengan segenap cinta dan kasih sayang, dan orang
yang paling mengerti dan mencintaiku.
Pantaskah jika akhirnya aku
mennyebutnya sebagai pengkhianat atas kasih sayangku?
Pantaskah aku
menyebutnya orang yang tidak tahu terimakasih atas semua pengorbanan dan
kasih sayangnya?
Tidak, sama sekali tidak. Bahkan aku tidak akan rela
gelar itu disebutkan kepada suamiku, bahkan oleh diri aku sendiri.
Sesuatu
akan lebih berharga ketika hal itu telah atau akan meninggalkan kita.
Semoga ketika kau telah bersamanya, akan ada penghargaan lebih atas
kebersamaan kita. Dan aku pastikan kau tidak akan merasa ditinggalkan
olehku, karena aku tahu bebanmu akan terasa lebih berat kedepannya, dan
akan sangat sulit bagimu untuk memilih. Maka aku tak akan membawa engkau
pada posisi memilih.Seperti yang disabdakan rasul yang mulia bahwa
wanita sholihah adalah perhiasan terindah bagi suaminya, dan
subhanallah, aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Sekaranglah
saatnya bagiku untuk membuktikan padamu bahwa aku pantas menjadi perhiasan
terindah yang pernah kau miliki, dan aku benar- benar menyayangimu.
Aku
buka pikiranku dengan keikhlasan. Dan keikhlasan itu akhirnya berbuah
pikiran bahwa engkau bukanlah milik ku yang abadi. Aku khkawatir ketika
cinta itu melekat erat dihatiku, justru kesenangan hidup itu akan
menjadikanku mendua terhadap cinta kepada zat yang maha mencinta. Ah
ternyata keikhlasan itu tidak selamanya menyakitkan. Menyakitkan hanya
bagi mereka yang merelakan diri mereka sakit dan menyia-nyiakan
perolehan pahala yang seharusnya bisa menjadi miliknya. Dan sebagai
pribadi yang ingin lebih pintar, aku tentu tak akan melakukan hal itu.
Ternyata Keikhlasan itu nikmat jika dalam menjalaninya hati condong
kepada cinta hanya kepada Allah.
Ya Allah semoga surga-Mu
akan menjadi seindah- indahnya tempat kembaliku kelak, dan semoga Kau
jadikan aku sangat lebih bahagia bersanding dengan suamiku disana, dalam
kehidupan yang abadi.
Subhanallah, iman menguatkanku,
ikhlas melegakanku, dan Allah memang benar- benar menyejukkan hatiku,
bahkan saat aku berada sendiri disini, dan kau berada disana wahai
suamiku.
Setelah kesejukan itu memenuhi relung hatiku,
untuk selanjutnya aku memohon maaf kepadamu wahai suamiku, bahwa karena
cintaku kepada Allah telah mengalahkan cintaku kepadamu.
Aku
yakin kau bukanlah pribadi yang akan menjadikan Al-Qur'an sebagai tameng
bagi nafsumu sendiri. Kau dengan tekadmu yang ingin memuliakannya
sebagai mana kau memuliakanku sebagai istrimu karena Allah, maka akupun
akan merelakanmu pula karena Allah.
Semoga kelegaan
hatiku dan kemuliaan niatmu bukan hanya sekedar omong kosong, namun akan
menjadi bukti nyata pernyataan cinta kita yang hanya karena Allah. Dan
kini, aku mempersembahkan wanita itu untukmu. Benar- benar sebuah akhir
yang sangat melegakan bagi sebuah kecintaan yang hanya karena Allah Azza
wa Jalla...
(Syahidah)
Untukmu duhai engkau .....