Senin, 30 Januari 2012

Pasrah Atas Kehendak ILAHI, Meski Derita Datang Tiada Henti (Kisah Nyata)


Tiga puluh tujuh tahun yang lalu aku menikah dengan lelaki idamanku yang bernama Dani. Di mataku lelaki ini cukup sempurna. Ganteng, juga berasal dari keluarga dan lingkungan islami. Dengan memilihnya sebagai suami, kupikir, ia bisa membimbingku sebagai istri yang sakinah. Meski ia hanya berprofesi sebagai sopir truk, tapi aku cukup bangga bila ia meminangku sebagi istrinya. Pekerjaan apapun yang penting halal dan aku mencintainya.

Dengan pertimbangan inilah, aku menikah dengan Dani sekitar 37 tahun yang lalu. Aku menikah dengan pesta resepsi seperti di kampung-kampung umumnya. Sederhana namun meriah. Undangan pun banyak yang hadir memeriahkan pestaku. Rasanya aku seperti ratu sehari. Semua orang memuji kecantikanku dengan kebaya pengantin yang kukenakan. Begitu pula, dengan Dani. Ketampanannya semakin tampak dengan baju pengantin daerah yang ia kenakan.

Setelah menikah, kami tinggal di rumah Abah dan Emakku. Maklum, suamiku hanya sebagai sopir yang belum mampu membelikanku sebuah rumah. Meski begitu, aku cukup bahagia. Terlebih kedua orang tuaku cukup menerima Dani. Tanpa melihat materi dan profesi menantunya. “Yang penting, menantuku baik terhadap putrimu. Dan, bisa membuat anakku bahagia,’ mungkin begitulah pikir kedua orang tuaku ketika itu.

...kami memang pasangan yang sangat bahagia. Kesulitan ekonomi bukan halangan bagi kami untuk menghirup kebahagiaan. Terlebih saat kami dikaruniai dua orang putri yang lucu dan cantik...

Kenyataannya memang begitu, kami memang pasangan yang sangat bahagia. Kesulitan ekonomi bukan halangan bagi kami untuk menghirup kebahagiaan. Terlebih saat kami dikaruniai dua orang putri yang lucu dan cantik. Ari dan Ami namanya. Untuk membantu kebutuhan keluarga, aku bekerja di bengkel sepatu (rumah produksi, red) yang banyak terdapat di wilayahku.

Minuman Keras Merampas Kebahagiaanku...

Diluar perkiraanku, saat hamil putriku yang ketiga, sikap suamiku berjungkal balik. Sikapnya sungguh berlawanan dengan Dani yang sesungguhnya. Dia kerap bersikap kasar dan bicaranya “ngawur”. Ini semua dikarenakan ia mulai menenggak minuman keras. Aku pun tidak mengerti kenapa ia bisa tergoda oleh minuman yang memabukkan itu. Padahal sebagai istri, aku sudah berusaha bersikap yang terbaik untuk melayaninya. Kelucuan kedua putrimu pun, ternyata tidak mampu menangkal dari godaan minuman menyesatkan ini.

Apalagi, waktu itu, aku tengah hamil anakku yang ketiga. Seharusnya dia memanjakanku seperti saat kehamilanku sebelumnya. Tapi kenyataannya tidak. Justru sebaliknya. Setiap pulang ke rumah, bukannya uang atau oleh-oleh yang dibawanya, melainkan cacian serta omongan-omongan ngelantur dan tidak jelas. Pandangan tampak teler dan badannya biasanya tegap kini menjadi sempoyongan dan tidak stabil.

Sungguh pemandangan yang memalukan! Seharusnya ia malu bersikap begitu! Karena kami masih menumpang pada orang tua. Dasar tidak tahu diri! Kata-kata itulah yang sering kupendam dalam hatiku. Ingin rasanya, aku menghindar dari pertengkaran dengan suamiku. Karena aku merasa malu dengan kedua orang tuaku serta tetanggaku yang letak rumah kami tidaklah berjauhan.

..hingga anakku yang ketiga lahir, sikapnya suamiku tak kunjung berubah. Si pemabuk ini semakin menggila. Penghasilan sebagai sopir tak pernah diserahkannya kepadaku. Uang itu dihabiskannya untuk membeli minuman setan...

Dari waktu ke waktu, hingga anakku yang ketiga, Ani lahir, sikapnya Dani tak kunjung berubah. Si pemabuk ini semakin menggila. Penghasilan sebagai sopir tak pernah diserahkannya kepadaku. Uang itu dihabiskannya untuk membeli minuman setan.

Sikapnya semakin kasar. Pukulan demi pukulan melayang ke tubuhku bila aku tengah mengingatkannya. Tak puas dengan pukulan, terkadang ia gunakan senjata atau barang yang ada di dekatnya. Senjata angin pernah ditodongkan ke arahku. Ini membuatku ketakutan tak terkira. Menggigil seluruh tubuh menahan rasa takut. Karena kutahu, dalam senapan itu memang ada pelurunya.

Kenapa aku begitu ketakutan? Sebelum ia menodongkan senjatanya padaku terlebih dahulu ia menembakkan senapan pinjamannya ini ke arah langit-langit rumah. Cicak-cicak yang berada di atap itu ditembakinya. Tak ada seorang pun yang berani melerainya. Semua larut dalam ketakutan. Jadi walau sebatas ancaman, aku berada dalam ketakutan yang luar biasa. Pernah pula, ia mengancam dengan celurit. Juga senjata-senjata tajam lainnya. Dasar pengecut! Ia hanya berani melawan wanita lemah seperti aku.

Awalnya, aku memang selalu dihantui rasa takut bila berpapasan dengannya. Senantiasa aku mengalah. Apalagi jika ia sedang mabuk. Matanya tidak bisa lagi memandangku sebagai wanita yang pernah dicintainya. Di hadapannya aku hanyalah musuh bebuyutan yang harus dihadangnya. Kelemahanku membuat taringnya semakin muncul untuk membuat keonaran. Hatiku merintih. Iba rasanya melihat ketiga putriku yang seharusnya dimanjakan oleh ayahnya malah akrab dengan suasana tegang.

Aku tidak ingin lagi melihat anakku, Abah serta Emakku larut dalam ketakutan. Aku harus berontak dan bersikap tegas. Dengan memohon kekuatan kepada Allah SWT, agar diberikan kekuatan untuk menceraikannya. Meski hati kecilku masih mencintainya tapi ku tak ingin mengorbankan seisi rumah ini hanya karena rasa cintaku pada Dani. Kuhapus cinta itu. Kubukakan pintu cerai untuknya.

..Sikapnya semakin kasar. Pukulan demi pukulan melayang ketubuhku bila aku tengah mengingatkannya. Tak puas dengan pukulan, terkadang ia gunakan senjata atau barang yang ada di dekatnya. Senjata angin berpeluru pernah ditodongkan ke arahku...

Bagaimana responnya saat kunyatakan permohonan cerai itu? Dia menangis sejadi-jadinya. Dia menyesal perbuatannya dan tidak ingin bercerai denganku. Ternyata macan itu sudah copot taringnya. Dia merayukku agar tidak menceraikannya. Dia tidak mau berpisah denganku dan anak-anak. Semua bujuk rayu tak kuhiraukan. Aku keukeuh terhadap pendirianku. Cerai adalah jalan terbaik. Kami pun akhirnya berpisah.

Enam bulan kemudian, dia merayukku untuk rujuk karena tidak ingin berpisah dengan keluarga. Melihat kesungguhannya untuk kembali kepada keluarga,., aku pun membuka pintu maaf. Kami pun dinikahkan kembali disaksikan keluarga dan kerabat. Sesuai dengan janjinya, pada awalnya dia memang bersikap baik. Seperti Dani yang pertama kukenal. Karena terseret pergaulan yang lama, dia terbawa arus syetan lagi. Dia kembali mabuk-mbukan dan bersikap kasar lagi.

KDRT (kekerasan dalam rumah tangga, red) akrab dengan kami lagi. Aku pun, mengingatkan lagi agar suamiku menghindar dari dunia sesat. Nasehat-nasehat demi nasehat tidak mempan lagi baginya. Aku pun memintanya bercerai lag. Dan, tidak ingin kembali ke dalam pangkuannya.

Banting Tulang Demi Anak...

Di hati kecilku, berat sesungguhnya ditinggal suami. Yang mana aku harus banting tulang mencari nafkah demi ketiga anakku. Tapi bila mengingat tabiatnya yang tak berubah, aku berusaha tegar. Kuserahkan semuanya pada Ilahi. Kuyakin bila aku berusaha, Dia tidak akan menutup mata-Nya. Yang Maha Kuasa tidak akan membiarkan kami kelaparan.

Alhamdulillah, berkat bantuan Emak dan Abah dan juga saudaraku lainnya aku bisa menafkahi anak-anakkuk. Mereka juga mengerti, aku tidak tinggal diam. Aku tetap bekerja sebagai penjahit sandal dan sepatu. Namun, karena upahku teramat minim, aku pun dijinkan oleh Emak dan Abah untuk bekerja ke luar kota. Beberapa kota besar sudah kusinggahi. Anak-anak diurus oleh Emak dan Abah.

..Di hati kecilku, berat sesungguhnya ditinggal suami. Aku harus banting tulang mencari nafkah demi ketiga anakku. Tapi bila mengingat tabiatnya yang tak berubah, aku berusaha tegar. Kuserahkan semuanya pada Ilahi. Kuyakin Yang Maha Kuasa tidak akan membiarkan kami kelaparan...

Sebenarnya, hati ibu mana yang mau meninggalkan buah hati hanya karena uang. Semua itu, kulakukan demi kelangsungan hidup mereka termasuk biaya sekolah. Belasan tahun aku bekerja sebagai pembantu hingga akhirnya kupilih bekerja dilingkungan desaku. Di mana aku bisa pulang ke rumah pada sore atau malam hari saat majikanku pulang bekerja.

Tanpa terasa, anak-anakku beranjak dewasa, kini ketiga putriku telah menikah. Dan, aku telah memiliki 4 orang cucu. Saat mereka menikah, bersyukur bapaknya hadir menjadi walinya anak-anak. Alhamdulillah pula, anak-anaknya masih mau menerima bapaknya pada pesta perkawinan mereka. Hubunganku dengan mantan suami kini baik-baik saja. Kini dia telah menikah lagi. Yang membuatku bahagia, mantanku itu, telah kembali ke jalan yang benar. Dan, bekerja sebagai petugas keamanan pada sebuah perumahan elit.

Meski dia sudah menikah lagi. Ini tidak membuat iri hati, Dan tidak ada keinginan untuk merebut hatinya. Aku tidak ingin merusak rumah tangga suamiku. Aku pun tidak ingin menikah dengan laki-laki lain. Aku merasa trauma dengan kejadian masa laluku. Lagipula, aku sudah merasa tua. Aku merasa bersyukur dan bahagia dengan kehadiran cucuku yang lucu. Meski kini profesiku masih sebagai pembantu, aku masih bisa membagi waktuku untuk mengurus cucu serta Emak dan Abah yang kini berusia senja dan kerap sakit-sakitan.

Api Melahap Seluruh Harta Bendaku...

Meski hidupku senantiasa dalam ketidakcukupan, aku selalu berusaha untuk mensyukurinya karena ini semua sudah merupakan takdir bagiku. Aku menerimanya dengan ikhlas. Namun keikhlasan itu belumlah cukup. Ternyata Allah memberi cobaan lain yang sangat berat kurasakan.

Di keheningan malam, di tengah lelapnya tidur, tiba-tiba kami dikejutkan oleh orang-orang yang tinggal di sekeliling kami. “Kebakaran, kebakaran, Bi Alia, Emak, Abah, semua keluar rumah,” yang sempat kudengar teriakan tetanggaku. Duh, jantung seperti mau copot. Sekujur tubuhku lemas. Benar saja, pandangan kami kabur. Asap dan api sudah mengelilingi kami. Meski lemas, kuajak cucu, anak-anak, dan menantu. Masing-masing kami menerobos api yang bersyukur belum membesar. Sehingga kami bisa menyelamatkan diri.

..aku selalu berusaha untuk mensyukurinya karena ini semua sudah merupakan takdir bagiku. Ternyata Allah memberi cobaan lain yang sangat berat kurasakan. Tengah malam, kebakaran menghabiskan rumah dan seluruh isinya. Hanya baju yang kami kenakan yang luput dari jangkauan api...

“Astagfirullah, ketika sudah ada di luar rumah yang mana masyarakat sudah berkerumun di depan rumah, kami baru ngeuh kalau Abah masih tertinggal di dalam rumah. “Abah, Abah, cepat keluar rumah!” kami semua berteriak histeris. Rupanya Abah tengah terlelap dalam tidurnya. Dia tidak menyadari apa yang sedang terjadi Lalu warga rame-rame menerobos rumah dan membopong Abah. Sambil menangis Abah kami peluk-peluk erat. “Alhamdulillah, kuabsen satu persatu anggota keluargaku, semua lengkap bisa keluar rumah dalam kondisi selamat.”

Tetapi, doaku sambil berteriak histeris “Ya Allah! Selamatkan rumah kami! Cuma inilah rumah kami satu-satunya! Kumohon padamu ya Allah!” Sesekali aku bersujud memohon kebesaran-Nya. Namun, Allah berkehendak lain, api itu semakin membesar dan melebar. Apinya semakin lapar melahap apa saja yang ada didekatnya. Lidahnya menjilat dengan lincahnya. Pupus sudah harapan kami untuk menyelamatkan harta kami satu-satunya. Padahal keluarga, masyarakat sekitar, serta pemadam kebakaran begitu gigihnya memadamkan si jago merah.

Ternyata kami kalah gagahnya dengan api ini. Dia semakin galak. Warga sekitar pun larut dalam ketegangan. Mereka pun, khawatir api ini loncat ke rumah mereka. Karena rumah kami sangatlah berdekatan. Semakin lama aku semakin tidak bisa berbuat apa-apa. Teriakanku hanya cukup dalam hati. Tengah malam, api baru berhasil dipadamkan. Namun, api itu sudah menghabiskan rumah dan seluruh isinya. Tak ada barang yang bisa diselamatkan. Hanya baju yang kami kenakan yang luput dari jangkauan api

Sebagai orang beriman, seharusnya aku bersyukur, keluargaku masih utuh. Secara fisik kami tidak ada yang terluka. Orang-orang di sekitar kami selalu mengingatkan hal itu. Tapi, aku tetap saja merasa tidak rela kehilangan rumah dan benda yang hasil kerja kami.. Hatiku terluka. Ini yang membuatku sakit hingga berminggu-minggu. Depresi berkepanjangan. Hari-hariku dipenuhi dengan lamunan.

Masyarakat dan keluarga tak bosan-bosannya memberi spirit kepada keluarga. Pemerintah setempat memberikan bantuan bahan-bahan bangunan. Warga bergotong-royong membangun rumahku. Sementara kami tinggal di madrasah yang kebetulan posisinya di depan rumah. Bantuan demi bantuan terus berdatangan hingga orang-orang yang tidak kami kenal sekali pun.

Subhanallah! Inilah kebesaran-Mu ya Allah. Mata hatiku mulai terbuka. Begitu banyak orang yang membantuku dengan ikhlasnya. Inilah yang membuatku menyadari kesalahanku. Aku terharu melihat kebaikan mereka. Disinilah, tampak kebersamaan kami.

Rasanya tak sabar aku ingin melihat rumahku berdiri kembali. Dan, setelah jadi, alhamdulillah, rumahku jauh lebih bagus dan kuat dibanding dengan rumahku yang dulu. Rumahku sekarang, disekat-sekat menjadi 3 bagian. Bagian pertama diperuntukkan bagiku, Ani, dan kedua orang tuaku. Yang lainnya, untuk juga kedua anakku yang telah berumah tangga. Si bungsu Ani, waktu itu belum menikah. Sehingga kami bisa berkumpul tetapi privasi menantu dan anakku tetap terjaga. Sedikit banyak merek jadi lebih mandiri “Terima kasih ya Allah atas segala kebesaran-Mu ini,” tak bosan-bosannya aku bersyukur.

Hingga kini, meski usiaku hampir mendekati 50 tahun, aku tetap bekerja sebagai pembantu rumah tangga hingga siang hari. Sisa waktu aku menyempatkan diri untuk mengurus rumah serta kedua orang tua. Mereka sekarang sudah sangat sepuh. Emak usianya sekitar tujuh puluhan tahun. Sementara Abah, delapan puluhan tahun. Meski lelah, aku bersyukur karena diberi kesempatan untuk mengabdi kepada orang tuaku. Subhanallah!

[Seperti yang dituturkan Alia kepada reporter voa-islam.com, Herawati Dachlan]

“Maka mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah dan mereka juga tidak menjadi lesu (patah semangat) serta tidak menyerah (kepada musuh), dan Allah sangat menyukai orang-orang yang sabar” (Ali ‘Imran 146).

“Dan kami telah menguji mereka dengan kebaikan (kenikmatan) dan kejelekan (bencana) agar mereka mau kembali (ke jalan yang benar)” (Al-A’raf 168).

Minggu, 29 Januari 2012

Air Mata....


Begitu dingin sore ini, seharusnya aku dapat menuai senyuman dan tawa maupun canda di tempat ini. Tawa riang, mungilnya suara – suara yang menggemaskan. Hmmm, ternyata tetap saja tak mampu mengusir segala keresahanku. Senyuman mereka mungkin setidaknya dapat menghilangkan kepenatanku. Pertanyaan yang kritis tapi tetap polos,

Ku lihat langit  mendung membingkis keindahan senja yang biasanya ada. Suasana begitu dingin dan sepi. Sementara sorak ramai mengusik sekitarku. Bak lagu Dewa “kosong....” Seketika aku tak dapat bernafas kala mengingat dan merasakan perasaan itu hadir lagi. 
Seperti badai angin yang begitu besar telah menghempas keras dalam dadaku. Sesak. 
Haruskah aku menangis lagi? 
Sementara bilik - bilik kerinduan tak akan cukup tertawarkan oleh itu. 
Ya Tuhan.. tolong aku.

Terkadang begitu ingin aku berlari, pergi sejauh mungkin dari keberadaanku saat ini, meninggalkan apapun yang ada di sini. Dan tak mau aku sisakan apa yang sudah aku lewatkan. Akan tetapi tak bisa, aku tak bisa. Semua terekam jelas pada bayangan dan ingatanku. 
Kenangan. Yah, itulah kenangan. 
Namun bukankah sikap meninggalkan sesuatu hal yang harus kita selesaikan, kita  tuntaskan dan berpura tak peduli atau acuh itu hanya akan dilakukan oleh seorang pengecut / pecundang? . 
Ku rasa aku tidak mau memantaskan diriku dengan sebutan itu. Tidak, insya Allah tidak.


Kehidupan Mempunyai Jalur Sendiri...
Dimana ada hitam dan putih, dimana ada beragam warna yang mengentaskan segala asa dan rasa. Bagaimanapun bentuk dan rupa, kehidupan bersama ujian ada tugas dari-Nya. 
Tidaklah manusia diciptakan untuk juga menjalankan amanah-Nya? 
Semua adalah pemimpin mulai dari dan untuk dirinya maupun bersama. Dan dalam berbagai kehidupan ini ada bermacam pilihan, dimana keputusan dalam pilihan itu membawa resiko dan tanggung jawab. 
Yah, dan di situlah tanggung jawab penuhku sebagai manusia yang diciptakan-Nya, ku harus lebih paham. Aku tahu, aku tak punya kekuasaan apapun dalam kehendakku, karena aku bukan siapa -siapa di sini, bukan dunia yang kejam jika saja selalu kepahitan yang aku telan, Tuhan tidak akan mungkin mendzalimi hamba-hamba-Nya. Berfikir saja jika ada ujian dan cobaan karena Tuhan maukan kita lebih menjadi pribadi yang handal dan kuat , lebih kuat lagi dalam kehidupan. Insya Allah.

Namun memang, semua itu beratlah adanya untuk dijalankan. Keikhlasan, tak dapat kita lakukan dengan sekejap dan instan. Terkadang kesakitan dan luka-luka ini akan terbiarkan dengan berjalannya waktu hingga itu menjadi keikhlasan yang terurai dan menghambar bersama masa-masa yang berlalu dari hadapan kita.


Kadang aku berfikir saat aku benar-benar lelah dan tertekan ku coba berfokus pada keinginanku betapa inginya aku dapat lebih tulus untuk menjalankan semua ini, jika saja tiada tempat untukku melabuhkan kasih sayang dan cinta, bukankah ada Tuhan? 
Ada Allah SWT yang selalu ada untukku, walaupun tak mampu aku mengingkari aku butuh seseorang yang dapat berbagi suka duka denganku dengan ikatan yang halal.  hmm... ya ya ya,

 Kondisi yang menekan sering menjadikan aku bersuara dalam hati “ biarkan saja yang menyakiti bersama hati dan hak mereka, dan inilah ujian kesabaran yang sebenarnya, bukankah ikhlas itu tak akan pernah kita ketahui dimana ujungnya karena itu rahasia Allah dan hamba-Nya  yang telah diridhoi-Nya. 
Sekalipun memberikan yang terbaik, kadang tak kebaikan pula yang ku dapat, dan meskipun aku berusaha untuk menjaga dan mengamalkan kejujuranku dengan pengertian demi pengertian  tapi ternyata masih ada dusta  yang dapat melukaiku tanpa rasa peduli. 
Atau bahkan dapat menghancurkan utuhnya percayaku. Tak kan berhenti saja di situ, masih ada lagi, tetapi  karena kasih sayang-Nya, cinta-Nya mengajarkan aku untuk memaafkan. 
Mungkin itulah kenapa aku merasakan betapa pedulinya aku pada jiwa-jiwa yang selalu saja menyakitiku. Mereka tak akan pernah tau, mungkin untuk sekarang, namun ku yakin sebuah kesabaran dengan sabar yang baik, itu pasti akan terasa.

Bukankah aku pernah mengucap :
apapun yang dari hati, akan tersampai pula pada hati”.

Rasanya memang kadang menyedihkan, karena aku seperti menghibur diriku sendiri, meleram keresahanku dan gelisahku. Padahal itu tak mudah. 
Bagaimana aku dapat berkata itu gampang? 
Jika saja aku selalu belajar dari apa yang telah aku dapatkan hari ini. Sementara semua juga butuh waktu untuk mencernanya, masya Allah walhamdulillah ala kuli hal.

Aku dapat menangis, karena aku manusia, tentu saja tambahannya karena aku ini wanita.
Akan tetapi air mata bukan segalanya di atas pusara yang pedih ini.
Duka tak dapat menutup nestapa dan hampa.
Semua menjadikan aku belajar lebih bijaksana dalam segi sudut pandang pun juga pemahaman. Alhamdulillah....


Tuhan Maha Adil, Maha Mengasihi dan Maha Menyayangi. Dan Dia selalu mempunyai cara untuk menyampaikan kecintaan-Nya kepada hamba-Nya.

Ujian yang besar, mungkin dapat menghancurkan segala impian, tapi bukankah bisa saja apa yang tidak kita sukai itu adalah pesan kasih sayang-Nya, dan apa yang kita sukai dan kita bisa sakit di dalamnya itu pun karena Tuhan juga tak ingin kita menemukan kesalahan yang sama. Selalu ada cinta dari-Nya dalam bentuk apapun yang Ia suguhkan pada kita. Allahu Akbar..., betapa dahsyatnya rasa ini.

Dari sisa kehancuran itu, ku berfikir  bahwa Tuhan akan  menciptakan seseorang  yang “besar” yang tegar, dan yang kuat, dan itulah pilihan-Nya, wallahu Alam. Memang pedih di saat kita butuh seseorang yang mampu menopang kita dalam kerapuhan namun itu tidak ada, atau bahkan mereka tak peduli pada kita, tapi mungkin juga  dari situ aku juga merasa, bahwa aku ini  milik Dia seutuhnya. Tuhan pun selalu merindukan kita yang merintih meminta dan berdoa hanya pada-Nya. Terkadang  tak jarang prasangka curiga mampir dalam hati, tapi setelahnya, ku coba berbalik lagi berkata pada hatiku sendiri, perlahan ku kikis serabut hitam dalam hulu putihku, dan belajar bertahan untuk lebih percaya,

 “ sesungguhnya dalam kesulitan ada kemudahan, sesudah kesulitan adan kemudahan

Subhannallah.., Walhamdulillah.
Tiada yang berkurang sampai hari ini, bagi jiwa-jiwa yang pernah mengahncurkanku, yang sempat menghempaskan aku dalam jurang yang paling.....dalam, sekalipun hantaman keras itu membuat hatiku membiru karena kepalsuan, dan membuat aku terbaring lemah dalam panjangnya kebisuan, Sungguh Maha Besar Allah yang telah memberikan kasih sayang dan pengertian yang tulus padaku. Hingga aku dapat mengatakan
dan karena cinta itu memaafkan..., menerima,  mengsisi, dan juga mengerti

Sekarang mungkin lebih tepatnya adalah untuk bersyukur, bahwa aku.. atau pun kita dapat mencintai, dan tak dapat membenci seseorang yang kita sayangi walau itu sungguh terasa sakit.

Sakit dalam mencintai, mengasihi, dan menyayangi adalah bukti kesungguhan dari hati dan nurani yang mau mengerti dan memahami. 
Mungkin terasa pedih bak luka yang tersiram oleh air garam yang asin, ….......sakit. Perih sekali. 
Akan tetapi itulah kejujuranku, itulah hatiku, itulah nuraniku, jangan pernah salahkan perasaan yang putih ini. Inilah kesiapan, dan kebersediaan untuk rasa itu, mencintai. 
Mencintai membuat kita belajar dewasa dan mengerti. 
Hanya akan ada jiwa dan yang tulus yang dapat mengerti..., ketika pengertian itu tak berpihak padanya, ketika harus sabar dalam keinginannya, saat terpaksa untuk menunggu ketika semua tak dapat dilakukan dengan cepat dan segera,  dan kala dapat melihat kesalahan dan suatu permasalahan dari berbagai sisi dengan beberapa penilaian yang telah ia ambil bersama pertimbangan-pertimbangan yang matang, insya Allah.

Aku selalu berharap pada-Nya, semoga tulus ini tidak akan pernah usang karena bala dan derita yang ada, biarkan selalu mekar dalam kegersangan. Dalam air mata ku bahagia, aku sangat bahagia, karena aku dapat mencintainya, mereka, dan aku dapat mengasihi semua jiwa yang pernah melukai dan mencaci, begitu dan betapa mereka itu adalah berharga. Lebih dari harta dan intan permata.

Ku tutup lembaran ini, dengan lirihnya do'a ku dalam hati, ku seka perlahan air mata yang sedari tadi kupertahankan untuk tetap dalam kelopaknya.


Ya Allah..., Tuhanku, Sungguh tiada daya dan upaya melainkan dari Rahmat-Mu, dan Pertolongan-Mu.
Sayangi mereka ya Tuhan..., ketika kasih sayangku tak dapat tersampaikan dalam kejauhan mereka sat ini berada,
Jaga mereka untukku, ketika penjagaanku tak  mampu melewati batas jarak ruang dan waktu..
dan Cintai mereka, ketika aku nanti tak mampu untuk mencintai lagi di dunia ini.....
Amien.....,

Maafkan Salahku . . Ibu . . .

Kisah ini merupakan kisah nyata dari seorang suami yang sedang diberi cobaan berat yaitu isterinya sakit dan tak kunjung sembuh.



Hukum kekekalan energi dan semua agama menjelaskan bahwa apa pun yang kita lakukan pasti akan dibalas sempurna kepada kita. Apabila kita melakukan energi positif atau kebaikan maka kita akan mendapat balasan berupa kebaikan pula. Begitu pula bila kita melakukan energi negatif atau keburukan maka kita pun akan mendapat balasan berupa keburukan pula. Kali ini izinkan saya menceritakan sebuah pengalaman seseorang yang terjadi pada tahun 2003.


Pada September - Oktober 2003 isteri saya terbaring di salah satu rumah sakit di Jakarta . Sudah tiga pekan para dokter belum mampu mendeteksi penyakit yang diidapnya. Dia sedang hamil 8 bulan. Panasnya sangat tinggi. Bahkan sudah satu pekan isteri saya telah terbujur di ruang ICU. Sekujur tubuhnya ditempeli kabel-kabel yang tersambung ke sebuah layar monitor.

Suatu pagi saya dipanggil oleh dokter yang merawat isteri saya. Dokter berkata:
“Pak Jamil, kami mohon izin untuk mengganti obat ibu”

Saya pun menjawab “Mengapa dokter meminta izin saya?
Bukankan setiap pagi saya membeli berbagai macam obat di apotek dokter tidak meminta izin saya”

Dokter itu menjawab “Karena obat yang ini mahal Pak Jamil.”

“Memang harganya berapa dok?” Tanya saya.

Dokter itu dengan mantap menjawab “Dua belas juta rupiah sekali suntik.”

“Haahh 12 juta rupiah Dok, lantas sehari berapa kali suntik, dok? ”

Dokter itu menjawab, “Sehari tiga kali suntik pak Jamil.”

Setelah menarik napas panjang saya berkata, “Berarti satu hari tiga puluh enam juta, Dok?” Saat itu butiran air bening mengalir di pipi .
Dengan suara bergetar saya berkata, “Dokter tolong usahakan sekali lagi mencari penyakit isteriku, sementara saya akan berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar penyakit isteri saya segera ditemukan .”

“Pak Jamil kami sudah berusaha semampu kami bahkan kami telah meminta bantuan berbagai laboratorium dan penyakit isteri Bapak tidak bisa kami deteksi secara tepat, kami harus sangat hati-hati memberi obat karena isteri Bapak juga sedang hamil 8 bulan, baiklah kami akan coba satu kali lagi tapi kalau tidak ditemukan kami harus mengganti obatnya, pak.” jawab dokter.

Setelah percakapan itu usai, saya pergi menuju mushola kecil dekat ruang ICU. Saya melakukan sembahyang dan saya berdo'a,
“Ya Allah Ya Tuhanku… aku mengerti bahwa Engkau pasti akan menguji semua hamba-Mu, aku pun mengerti bahwa setiap kebaikan yang aku lakukan pasti akan Engkau balas, dan aku pun mengerti bahwa setiap keburukan yang pernah aku lakukan juga akan Engkau balas.
Ya Tuhanku… gerangan keburukan apa yang pernah aku lakukan sehingga Engkau uji aku dengan sakit isteriku yang berkepanjangan, tabunganku telah terkuras, tenaga dan pikiranku begitu lelah. Berikan aku petunjuk
Ya Tuhanku. Engkau Maha Tahu bahkan Engkau mengetahui setiap guratan urat di leher nyamuk. Dan Engkaupun mengetahui hal yang kecil dari itu.
Aku pasrah kepada Mu Ya Tuhanku. Sembuhkanlah isteriku. Bagi-Mu amat mudah menyembuhkan isteriku, semudah Engkau mengatur milyaran planet di jagat raya ini.”

Ketika saya sedang berdo'a itu tiba-tiba terbesit dalam ingatan akan kejadian puluhan tahun yang lalu. Ketika itu, saya hidup dalam keluarga yang miskin.
Sudah tiga bulan saya belum membayar biaya sekolah yang hanya Rp. 25 per bulan. Akhirnya saya memberanikan diri mencuri uang ibu saya yang hanya Rp. 125. 
Saya ambil uang itu, Rp 75 saya gunakan untuk mebayar SPP, sisanya saya gunakan untuk jajan.


Ketika ibu saya tahu bahwa uangnya hilang ia menangis sambil terbata berkata, “Pokoknya yang ngambil uangku kuwalat… yang ngambil uangku kuwalat… ”
Uang itu sebenarnya akan digunakan membayar hutang oleh ibuku. Melihat hal itu saya hanya terdiam dan tak berani mengaku bahwa sayalah yang mengambil uang itu.

Usai berdoa saya merenung , “Jangan-jangan inilah hukum alam dan ketentuan Yang Maha Kuasa bahwa bila saya berbuat keburukan maka saya akan memperoleh keburukan. Dan keburukan yang saya terima adalah penyakit isteri saya ini karena saya pernah menyakiti ibu saya dengan mengambil uang yang ia miliki itu.”

Setelah menarik nafas panjang saya tekan nomor telepon rumah dimana ibu saya ada di rumah menemani tiga buah hati saya. Setelah salam dan menanyakan kondisi anak-anak di rumah, maka saya bertanya kepada ibu saya
“Bu, apakah ibu ingat ketika ibu kehilangan uang sebayak seratus dua puluh lima rupiah beberapa puluh tahun yang lalu?”

“Sampai kapan pun ibu ingat Mil. Kuwalat yang ngambil duit itu Mil, duit itu sangat ibu perlukan untuk membayar hutang, kok ya tega-teganya ada yang ngambil,” jawab ibu saya dari balik telepon.
Mendengar jawaban itu saya menutup mata perlahan, butiran air mata mengalir di pipi.

Sambil terbata saya berkata, “Ibu, maafkan saya… yang ngambil uang itu saya, bu… saya minta maaf sama ibu. Saya minta maaaaf… saat nanti ketemu saya akan sungkem sama ibu, saya jahat telah tega sama ibu.”

Suasana hening sejenak. Tidak berapa lama kemudian dari balik telepon saya dengar ibu saya berkata: “Ya Tuhan, pernyataanku aku cabut, yang ngambil uangku tidak kuwalat, aku maafkan dia . Ternyata yang ngambil adalah anak laki-lakiku. Jamil kamu nggak usah pikirin dan do'akan saja isterimu agar cepat sembuh.”

Setelah memastikan bahwa ibu saya telah memaafkan saya, maka saya akhiri percakapan dengan memohon do'a darinya.

Kurang lebih pukul 12.45 saya dipanggil dokter, setibanya di ruangan sambil mengulurkan tangan kepada saya sang dokter berkata “Selamat pak, penyakit isteri bapak sudah ditemukan, infeksi pankreas. Ibu telah kami obati dan panasnya telah turun, setelah ini kami akan operasi untuk mengeluarkan bayi dari perut ibu.” Bulu kuduk saya merinding mendengarnya, sambil menjabat erat tangan sang dokter saya berkata.
“Terima kasih dokter, semoga Tuhan membalas semua kebaikan dokter. ”

Saya meninggalkan ruangan dokter itu…. dengan berbisik pada diri sendiri “Ibu, I miss you so much. ”

"bacalah" dengan Hati... & "tegakkan!" dengan Rasa...

"Moralitas haruslah berlandaskan akidah,
Akidahlah yang menyusun konsiderans dan menetapkan nilai - nilai moralitas"

( Sayyid Quthb )

karena tidak ada moralitas yang hidup tegak dan sejahtera tanpa adanya akidah yang lurus ( ISLAM ). karena yang baik, belum tentu benar, dan yang benar musti dirujuk dalam KEBENARAN lagi ( Al Qur'an & Sunnah )

Dalam berjalan terbungkam membisu...,
Ada rasa menggelitik di dalam ini, Hati. Mengamati satu persatu tingkah polah dari bagian negeri ini. Nyaris membuat diriku sendiri putus asa. Tapi bukanlah sejati dari muslim jika ia mudah untuk mundur dari sebuah perjalanan dan ujiannya.

Merasakan setiap hembus nafas dari jerit - jerit hati itu, empati yang terus menerus mengasah dan mengajakku turut menyambut keprihatinan.
Apa yang dapat ku  buat hari ini?
Rasanya belum cukup semua pengorbanan ini.  Setiap kemurungan jiwa mereka, kesuraman langkah dan harapan adalah kesedihan yang mungkin kalian tak pernah itu.

Anak – anak jalanan, Jiwa fakir dan miskin. Semua terlantar. Krisis apa sebenarnya yang melanda negeri ini? Bukan, bukan hanya negeri ini, bahkan BUMI ini. Ketipisan dan Kepudaran Akidah meruntuhkan semua moralitas. Hatiku merah padam, berkecamuk dan muak...dibuatnya.
Mana janji anak terlantar dan fakir miskin dipelihara oleh Negara dalam pasal 34 ayat 1 di dalam Undang – Undang Negara 1945 di Indonesia ini?

Ku lihat anak – anak kecil berlarian mengitari lampu merah di Jakarta ini,  wajah lusuh suara yang luruh menandakan keletihan. Sempatkah mereka makan pagi tadi?
Atau hanya sekedar mandi untuk membersihkan pakaian mereka....?
Naifkah aku?
Terserah.. namun kepedulian ini semakin memilukan...

********************************************************************************

Pemandangan terbalik dengan semua orang yang bertendeng dengan jas dan dasi mahal mereka. Kecantikkan dari pesona apa yang mereka kenakan. Kemahalan kendaraan yang mereka guna. Satu anak kecil mengais rupiah demi sesuap nasi dan mungkin membeli buku sekolahnya, ditepiskan tangan menengadah itu dengan kasarnya, muram dan geram raut sang Tuan, sang Nona..., Jiwa kecil tak marah..terdiam menunduk lesu
Terlihat takut hingga tangan kaku, mata yang tak cemerlang kerlingannya....
Allahu Rabbi anta ya Rabbi...,
Siapalah kami ini ya Allah?
Bukan siapa - siapa jika tanpa-MU...
Gerimis sangat pilu dalam hatiku...


Mungkin..
Telaga bening  masih tersisa pada pemilik syurga Jiwa..
Tak banyak dari mereka dan apa yang diperbuatnya, namun kasih sayang senyuman dan keramahan adalah kebahagiaan yang nyata  berusaha berbagi dan menjadi keutamaan untuk saling memberi.

Dalam buku yang baru saja ku beli ini “Life Lessons For Women”
Dikatakan di dalamnya bab I bahwasannya “Mencintai diri sendiri itu adalah hal yang terpenting sebelum kita bertindak pada yang lain”

Namun  penulis tulisan ini memiliki pendapat sendiri...



“Mencintai diri sendiri sebelum bertindak pada yg lain itu memang penting..
tapi caraku mencintai diriku adalah dengan berbagi kasih sayang terhadap sekitarku..
memberi banyak cinta di sekelilingku..

karena hidup yg juga untuk Kehidupan orang lain bagiku..
itulah yang membuat pribadi ini menjadi di luar "kebiasaan" seperti yg lain...
Dan akupun ingin menjadi lebih memahami diriku dengan seperti ini”

Lalu Bagaimana dengan Sahabat Pembaca ?

Pernah terfikirkah?
Ketika kita sering dan menomor satukan diri sendiri?
Apa yang akan terjadi ke depan?
Kita akan menjadi orang yang bermental lemah, manja, dan egois. Karena hanya mencintai diri sendiri itu sama saja dengan membuat perasaan kita nyaman terlebih dahulu, dan pernahkah terlintas dalam fikiran KITA? Karena terkadang sesuatu yang dilakukan dari apa yang tidak kita sukai ( keterpaksaan) itu bisa menjadi wawasan baru, pengalaman yang dapat menambah persepsi kita. Atau bahkan menjadi satu jawaban yang selama ini kita cari. Dan kita tak pernah tahu jika tidak pernah mencobanya..

Kembali pada mencintai diri sendiri...

”Siapa yang hanya memikirkan dirinya sendiri, dia akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil, tapi, siapa yang mau memikirkan orang lain, dia akan hidup sebagai orang besar dan mati sebagai orang besar.”

(Sayyid Quthb)

***************************************************************************************

Dan Kesinambungan Hal ini dengan Akidah dan Moralitas Bangsa ini,

Akidah yang lurus akan melahirkan akhlak yang sejahtera, adakah Akidah yang utuh adalah mereka yang mementingkan diri mereka sendiri?
Adakah mereka yang bertindak curang?
Dan tidak mau tahu ketika rakyatnya menanggung rasa lapar dan ketakutan ?

Demi Allah yang jiwaku berada dalam genggaman-NYA...

Tulisan ini, bukan untuk sebatas Sahabat membaca, tapi penulis mengajak Sahabat untuk berfikir jauh, dewasa, matang dan penuh dengan tanggung jawab yang sesungguhnya...dan yang lebih utama adalah jujur bertanya pada diri KITA sendiri,
apa saja yang sudah kita lakukan untuk orang lain?
Ingatkah ?
Kebesaran Kita saat ini tidak lebih dan kurang juga pengaruh dari sekitar.  Karena tak akan ada sebuah  Mesin yang berjalan tanpa puluhan dan ribuan kabel yang menyatu untuk ia menyala.

Kerusakan Akidah, meruntuhkan semua moralitas...
Keindahan dunia seolah menghapuskan semua tanggung jawab yang sebenar...

tanggung jawab siapa ketika orang tertsesat sementara KITA yang faham bersikap sebaliknya?
ku faham Kasih Sayang Tak berarti tak dapat membeda mana yang Benar dan Salah



Beginilah Cara Malaikat Maut Memberitahu Ajal Kita




Sebagian Para Nabi berkata kepada Malaikat pencabut Nyawa. “Tidakkah Kau memberikan Aba-aba atau peringatan kepada Manusia bahwa kau datang sebagai malaikat pencabut nyawa sehingga mereka akan lebih hati-hati?”

Malaikat itu menjawab. “Demi Allah, aku sudah memberikan aba-aba dan tanda-tandamu yang sangat banyak berupa penyakit, uban, kurang pendengaran, penglihatan mulai tidak jelas (terutama ketika sudah tua). Semua itu adalah peringatan bahwa sebentar lagi aku akan menjemputnya. Apabila setelah datang aba-aba tadi ia tidak segera bertobat dan tidak mempersiapkan bekal yang cukup, maka aku akan serukan kepadanya ketika aku cabut nyawanya: “Bukan kah aku telah memberimu banyak aba-aba dan peringatan bahwa aku sebentar lagi akan datang? Ketahuilah, aku adalah peringatan terakhir, setelah ini tidak akan datang peringatan lainnya “ (HR imam qurthubi)

Beginilah cara kerja Malaikat Maut
Nabi Ibrahim pernah bertanya kepada Malaikat maut yang mempunya dua mata diwajahnya dan dua lagi tengkuknya. “Wahai malaikat pencabut nyawa, apa yang kau lakukan seandainya ada dua orang yang meninggal diwaktu yang sama; yang satu berada di ujung timur yang satu berada diujung barat, serta ditempat lain tersebar penyakit yang mematikan dan dua ekor bintang melata pun akan mati?”

Malaikat pencabut nyawa berkata:” Aku akan panggil ruh-ruh tersebut, dengan izin Allah, sehingga semuanya berada diantara dua jariku, Bumi ini aku bentangkan kemudian aku biarkan seperti sebuah bejana besar dan dapat mengambil yang mana saja sekehendak hatiku “(HR abu Nu’aim)

Ternyata Orang Mati Mendengar Tapi Tidak Bisa Menjawab
Rasullullah SAW memerintahkan agar mayat-mayat orang kafir yang tewas pada perang badar dilemparkan ke sebuah sumur tua. Kemudian beliau mendatanginya dan berdiri di hadapannya. Setelah itu, beliau memanggil nama mereka satu-satu: “Wahai fulan bin fulan, fulan bin fulan, apakah kalian mendapatkan apa yang telah dijanjikan oleh Tuhan kalian untuk kaliab betul-betul ada?
Ketahuilah sesungguhnya aku mendapatkan apa yang dijanjikan Tuhanku itu benar-benar ada dan terbukti.”

Umar lalu bertanya kepada Rasulullah. “Wahai Rasul, mengapa engkau mengajak bicara orang-orang yang sudah menjadi mayat?”

Rasulullah menjawab. "Demi Tuhan yang mengutusku dengan kebenaran, kalian memang tidak mendengar jawaban mereka atas apa yang tadi aku ucapkan, Tapi ketahuilah, mereka mendengarnya, hanya saja tidak dapat menjawab” (HR Bukhari Muslim)

Pembicaraan Kita Sewaktu Dikandungan



Suatu ketika..seorang bayi siap dilahirkan ke dunia,menjelang diturunkan ... Dia bertanya kepada TUHAN :

Bayi : "Para malaikat disini mengatakan, bahwa besok engkau akan mengirimku ke dunia, tetapi.... Bagaimana cara saya hidup di sana, saya begitu kecil dan lemah"

TUHAN : "AKU telah memilih satu malaikat untukmu.. Ia akan menjaga dan mengasihimu"

Bayi : "Tapi di surga apa yang saya lakukan hanyalah bernyanyi dan tertawa. Ini cukup bagi saya untuk bahagia"

TUHAN : "Malaikatmu akan bernyanyi dan tersenyum untukmu setiap hari, dan kamu akan merasakan kehangatan cintanya dan lebih berbahagia"

Bayi : "Dan apa yang dapat saya lakukan saat saya ingin berbicara kepadamu?"

TUHAN : "Malaikatmu akan mengajarkan bagaimana cara kamu berdoa"

Bayi : "Saya mendengar bahwa di bumi banyak orang jahat, siapa yang akan melindungi saya"?

TUHAN : "Malaikatmu akan melindungimu, dengan taruhan jiwanya sekalipun"

Bayi : "Tapi saya akan bersedih karena tidak melihat engkau lagi"

TUHAN : "Malaikatmu akan menceritakan kepadamu tentang AKU, dan akan mengajarkan bagaimana agar kamu bisa kembali kepadaKU, walaupun sesungguhnya AKU selalu berada di sisimu"

Saat itu surga begitu tenangnya... Sehingga suara dari bumi dapat terdengar dan sang anak dengan suara lirih bertanya


Bayi : "TUHAN.......... Jika saya harus pergi sekarang, bisakah Engkau memberitahuku, siapa nama malaikat di rumahku nanti"?

TUHAN : "Kamu dapat memanggil nama malaikatmu itu...... I B U ..."

 -------------------------------------------------------------------------------------------------
Kenanglah ibu yang menyayangimu.. 
Untuk ibu yang selalu meneteskan air mata ketika kau pergi... 
Ingatkah engkau ketika ibumu rela tidur tanpa selimut demi melihatmu tidur nyenyak dengan dua selimut membalut tubuhmu..
Ingatkah engkau.. Ketika jemari ibu mengusap lembut kepalamu?
Dan ingatkan engkau ketika air mata menetes dari mata ibumu ketika ia melihatmu terbaring sakit...

Sesekali jenguklah ibumu yang selalu menantikan kepulanganmu di rumah tempat kau dilahirkan..

Kembalilah... Mohon maaf pada ibumu yang selalu rindu akan senyumanmu..

Jangan biarkan kau kehilangan saat-saat yang akan kau rindukan di masa datang, ketika ibu telah tiada...

Tak ada lagi di depan pintu yang menyambut kita..., tak ada lagi senyuman indah... Tanda bahagia.. 
Yang ada hanyalah kamar kosong tiada penghuninya.. 
Yang ada hanyalah baju yang digantung di lemarinya.. 
Tak ada lagi.. Dan tak akan ada lagi.. Yang akan meneteskan air mata mendo'akanmu disetiap hembusan nafasnya..

Pulang.. Dan kembalilah segera... Peluklah ibu yang selalu menyayangimu..

Ciumlah kaki ibu yang selalu merindukanmu dan berikanlah yang terbaik di akhir hayatnya..

IBU adalah malaikat yang dikirim oleh Tuhan kepada kita , jagalah perasaan seorang ibu karena dia yang dipercaya Tuhan untuk menjaga kita