Minggu, 26 Juni 2011

Cinta Sejati Dalam Islam

Makna ‘Cinta Sejati’ terus dicari dan digali. Manusia dari zaman ke zaman seakan tidak pernah bosan membicarakannya. Sebenarnya? apa itu ‘Cinta Sejati’ dan bagaimana pandangan Islam terhadapnya?
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga terlimpahkan kepada nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Masyarakat di belahan bumi manapun saat ini sedang diusik oleh mitos ‘Cinta Sejati‘, dan dibuai oleh impian ‘Cinta Suci’. Karenanya, rame-rame, mereka mempersiapkan diri untuk merayakan hari cinta “Valentine’s Day”.
Pada kesempatan ini, saya tidak ingin mengajak saudara menelusuri sejarah dan kronologi adanya peringatan ini. Dan tidak juga ingin membicarakan hukum mengikuti perayaan hari ini. Karena saya yakin, anda telah banyak mendengar dan membaca tentang itu semua. Hanya saja, saya ingin mengajak saudara untuk sedikit menyelami: apa itu cinta? Adakah cinta sejati dan cinta suci? Dan cinta model apa yang selama ini menghiasi hati anda?
Seorang peneliti dari Researchers at National Autonomous University of Mexico mengungkapkan hasil risetnya yang begitu mengejutkan. Menurutnya: Sebuah hubungan cinta pasti akan menemui titik jenuh, bukan hanya karena faktor bosan semata, tapi karena kandungan zat kimia di otak yang mengaktifkan rasa cinta itu telah habis. Rasa tergila-gila dan cinta pada seseorang tidak akan bertahan lebih dari 4 tahun. Jika telah berumur 4 tahun, cinta sirna, dan yang tersisa hanya dorongan seks, bukan cinta yang murni lagi.
Menurutnya, rasa tergila-gila muncul pada awal jatuh cinta disebabkan oleh aktivasi dan pengeluaran komponen kimia spesifik di otak, berupa hormon dopamin, endorfin, feromon, oxytocin, neuropinephrine yang membuat seseorang merasa bahagia, berbunga-bunga dan berseri-seri. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, dan terpaan badai tanggung jawab dan dinamika kehidupan efek hormon-hormon itu berkurang lalu menghilang. (sumber: www.detik.com Rabu, 09/12/2009 17:45 WIB).
Wah, gimana tuh nasib cinta yang selama ini anda dambakan dari pasangan anda? Dan bagaimana nasib cinta anda kepada pasangan anda? Jangan-jangan sudah lenyap dan terkubur jauh-jauh hari.
Anda ingin sengsara karena tidak lagi merasakan indahnya cinta pasangan anda dan tidak lagi menikmati lembutnya buaian cinta kepadanya? Ataukah anda ingin tetap merasakan betapa indahnya cinta pasangan anda dan juga betapa bahagianya mencintai pasangan anda?
Saudaraku, bila anda mencintai pasangan anda karena kecantikan atau ketampanannya, maka saat ini saya yakin anggapan bahwa ia adalah orang tercantik dan tertampan, telah luntur.
Bila dahulu rasa cinta anda kepadanya tumbuh karena ia adalah orang yang kaya, maka saya yakin saat ini, kekayaannya tidak lagi spektakuler di mata anda.
Bila rasa cinta anda bersemi karena ia adalah orang yang berkedudukan tinggi dan terpandang di masyarakat, maka saat ini kedudukan itu tidak lagi berkilau secerah yang dahulu menyilaukan pandangan anda.
Saudaraku! bila anda terlanjur terbelenggu cinta kepada seseorang, padahal ia bukan suami atau istri anda, ada baiknya bila anda menguji kadar cinta anda. Kenalilah sejauh mana kesucian dan ketulusan cinta anda kepadanya. Coba anda duduk sejenak, membayangkan kekasih anda dalam keadaan ompong peyot, pakaiannya compang-camping sedang duduk di rumah gubuk yang reot. Akankah rasa cinta anda masih menggemuruh sedahsyat yang anda rasakan saat ini?
Para ulama’ sejarah mengisahkan, pada suatu hari Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhu bepergian ke Syam untuk berniaga. Di tengah jalan, ia melihat seorang wanita berbadan semampai, cantik nan rupawan bernama Laila bintu Al Judi. Tanpa diduga dan dikira, panah asmara Laila melesat dan menghujam hati Abdurrahman bin Abi Bakarradhiallahu ‘anhu. Maka sejak hari itu, Abdurrahman radhiallahu ‘anhu mabok kepayang karenanya, tak kuasa menahan badai asmara kepada Laila bintu Al Judi. Sehingga Abdurrahman radhiallahu ‘anhu sering kali merangkaikan bair-bait syair, untuk mengungkapkan jeritan hatinya. Berikut di antara bait-bait syair yang pernah ia rangkai:
Aku senantiasa teringat Laila yang berada di seberang negeri Samawah
Duhai, apa urusan Laila bintu Al Judi dengan diriku?
Hatiku senantiasa diselimuti oleh bayang-bayang sang wanita 
Paras wajahnya slalu membayangi mataku dan menghuni batinku.
Duhai, kapankah aku dapat berjumpa dengannya,
Semoga bersama kafilah haji, ia datang dan akupun bertemu.
Karena begitu sering ia menyebut nama Laila, sampai-sampai Khalifah Umar bin Al Khattabradhiallahu ‘anhu merasa iba kepadanya. Sehingga tatkala beliau mengutus pasukan perang untuk menundukkan negeri Syam, ia berpesan kepada panglima perangnya: bila Laila bintu Al Judi termasuk salah satu tawanan perangmu (sehingga menjadi budak), maka berikanlah kepada Abdurrahman radhiallahu ‘anhu. Dan subhanallah, taqdir Allah setelah kaum muslimin berhasil menguasai negeri Syam, didapatkan Laila termasuk salah satu tawanan perang. Maka impian Abdurrahmanpun segera terwujud. Mematuhi pesan Khalifah Umar radhiallahu ‘anhu, maka Laila yang telah menjadi tawanan perangpun segera diberikan kepada Abdurrahman radhiallahu ‘anhu.
Anda bisa bayangkan, betapa girangnya Abdurrahman, pucuk cinta ulam tiba, impiannya benar-benar kesampaian. Begitu cintanya Abdurrahman radhiallahu ‘anhu kepada Laila, sampai-sampai ia melupakan istri-istrinya yang lain. Merasa tidak mendapatkan perlakuan yang sewajarnya, maka istri-istrinya yang lainpun mengadukan perilaku Abdurrahman kepada ‘Aisyah istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan saudari kandungnya.
Menyikapi teguran saudarinya, Abdurrahman berkata: “Tidakkah engkau saksikan betapa indah giginya, yang bagaikan biji delima?”
Akan tetapi tidak begitu lama Laila mengobati asmara Abdurrahman, ia ditimpa penyakit yang menyebabkan bibirnya “memble” (jatuh, sehingga giginya selalu nampak). Sejak itulah, cinta Abdurrahman luntur dan bahkan sirna. Bila dahulu ia sampai melupakan istri-istrinya yang lain, maka sekarang iapun bersikap ekstrim. Abdurrahman tidak lagi sudi memandang Laila dan selalu bersikap kasar kepadanya. Tak kuasa menerima perlakuan ini, Lailapun mengadukan sikap suaminya ini kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Mendapat pengaduan Laila ini, maka ‘Aisyahpun segera menegur saudaranya dengan berkata:
يا عبد الرحمن لقد أحببت ليلى وأفرطت، وأبغضتها فأفرطت، فإما أن تنصفها، وإما أن تجهزها إلى أهلها، فجهزها إلى أهلها.
“Wahai Abdurrahman, dahulu engkau mencintai Laila dan berlebihan dalam mencintainya. Sekarang engkau membencinya dan berlebihan dalam membencinya. Sekarang, hendaknya engkau pilih: Engkau berlaku adil kepadanya atau engkau mengembalikannya kepada keluarganya. Karena didesak oleh saudarinya demikian, maka akhirnya Abdurrahmanpun memulangkan Laila kepada keluarganya. (Tarikh Damaskus oleh Ibnu ‘Asakir 35/34 & Tahzibul Kamal oleh Al Mizzi 16/559)
Bagaimana saudaraku! Anda ingin merasakan betapa pahitnya nasib yang dialami oleh Laila bintu Al Judi? Ataukah anda mengimpikan nasib serupa dengan yang dialami oleh Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhu?(1)
Tidak heran bila nenek moyang anda telah mewanti-wanti anda agar senantiasa waspada dari kenyataan ini. Mereka mengungkapkan fakta ini dalam ungkapan yang cukup unik:Rumput tetangga terlihat lebih hijau dibanding rumput sendiri.
Anda penasaran ingin tahu, mengapa kenyataan ini bisa terjadi?
Temukan rahasianya pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ. رواه الترمذي وغيره
“Wanita itu adalah aurat (harus ditutupi), bila ia ia keluar dari rumahnya, maka setan akan mengesankannya begitu cantik (di mata lelaki yang bukan mahramnya).” (Riwayat At Tirmizy dan lainnya)
Orang-orang Arab mengungkapkan fenomena ini dengan berkata:
كُلُّ مَمْنُوعٍ مَرْغُوبٌ
Setiap yang terlarang itu menarik (memikat).
Dahulu, tatkala hubungan antara anda dengannya terlarang dalam agama, maka setan berusaha sekuat tenaga untuk mengaburkan pandangan dan akal sehat anda, sehingga anda hanyut oleh badai asmara. Karena anda hanyut dalam badai asmara haram, maka mata anda menjadi buta dan telinga anda menjadi tuli, sehingga andapun bersemboyan:Cinta itu buta. Dalam pepatah arab dinyatakan:
حُبُّكَ الشَّيْءَ يُعْمِي وَيُصِمُّ
Cintamu kepada sesuatu, menjadikanmu buta dan tuli.
Akan tetapi setelah hubungan antara anda berdua telah halal, maka spontan setan menyibak tabirnya, dan berbalik arah. Setan tidak lagi membentangkan tabir di mata anda, setan malah berusaha membendung badai asmara yang telah menggelora dalam jiwa anda. Saat itulah, anda mulai menemukan jati diri pasangan anda seperti apa adanya. Saat itu anda mulai menyadari bahwa hubungan dengan pasangan anda tidak hanya sebatas urusan paras wajah, kedudukan sosial, harta benda. Anda mulai menyadari bahwa hubungan suami-istri ternyata lebih luas dari sekedar paras wajah atau kedudukan dan harta kekayaan. Terlebih lagi, setan telah berbalik arah, dan berusaha sekuat tenaga untuk memisahkan antara anda berdua dengan perceraian:
فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ. البقرة 102
“Maka mereka mempelajari dari Harut dan Marut (nama dua setan) itu apa yang dengannya mereka dapat menceraikan (memisahkan) antara seorang (suami) dari istrinya.” (Qs. Al Baqarah: 102)
Mungkin anda bertanya, lalu bagaimana saya harus bersikap?
Bersikaplah sewajarnya dan senantiasa gunakan nalar sehat dan hati nurani anda. Dengan demikian, tabir asmara tidak menjadikan pandangan anda kabur dan anda tidak mudah hanyut oleh bualan dusta dan janji-janji palsu.
Mungkin anda kembali bertanya: Bila demikian adanya, siapakah yang sebenarnya layak untuk mendapatkan cinta suci saya? Kepada siapakah saya harus menambatkan tali cinta saya?
Simaklah jawabannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا ، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ. متفق عليه
“Biasanya, seorang wanita itu dinikahi karena empat alasan: karena harta kekayaannya, kedudukannya, kecantikannya dan karena agamanya. Hendaknya engkau menikahi wanita yang taat beragama, niscaya engkau akan bahagia dan beruntung.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dan pada hadits lain beliau bersabda:
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِى الأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ. رواه الترمذي وغيره.
“Bila ada seorang yang agama dan akhlaqnya telah engkau sukai, datang kepadamu melamar, maka terimalah lamarannya. Bila tidak, niscaya akan terjadi kekacauan dan kerusakan besar di muka bumi.” (Riwayat At Tirmizy dan lainnya)
Cinta yang tumbuh karena iman, amal sholeh, dan akhlaq yang mulia, akan senantiasa bersemi. Tidak akan lekang karena sinar matahari, dan tidak pula luntur karena hujan, dan tidak akan putus walaupun ajal telah menjemput.
الأَخِلاَّء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلاَّ الْمُتَّقِينَ. الزخرف 67
“Orang-orang yang (semasa di dunia) saling mencintai pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (Qs. Az Zukhruf: 67)
Saudaraku! Cintailah kekasihmu karena iman, amal sholeh serta akhlaqnya, agar cintamu abadi. Tidakkah anda mendambakan cinta yang senantiasa menghiasi dirimu walaupun anda telah masuk ke dalam alam kubur dan kelak dibangkitkan di hari kiamat? Tidakkah anda mengharapkan agar kekasihmu senantiasa setia dan mencintaimu walaupun engkau telah tua renta dan bahkan telah menghuni liang lahat?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ. متفق عليه
“Tiga hal, bila ketiganya ada pada diri seseorang, niscaya ia merasakan betapa manisnya iman: Bila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dibanding selain dari keduanya, ia mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah, dan ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan dirinya, bagaikan kebenciannya bila hendak diceburkan ke dalam kobaran api.” (Muttafaqun ‘alaih)
Saudaraku! hanya cinta yang bersemi karena iman dan akhlaq yang mulialah yang suci dan sejati. Cinta ini akan abadi, tak lekang diterpa angin atau sinar matahari, dan tidak pula luntur karena guyuran air hujan.
Yahya bin Mu’az berkata: “Cinta karena Allah tidak akan bertambah hanya karena orang yang engkau cintai berbuat baik kepadamu, dan tidak akan berkurang karena ia berlaku kasar kepadamu.” Yang demikian itu karena cinta anda tumbuh bersemi karena adanya iman, amal sholeh dan akhlaq mulia, sehingga bila iman orang yang anda cintai tidak bertambah, maka cinta andapun tidak akan bertambah. Dan sebaliknya, bila iman orang yang anda cintai berkurang, maka cinta andapun turut berkurang. Anda cinta kepadanya bukan karena materi, pangkat kedudukan atau wajah yang rupawan, akan tetapi karena ia beriman dan berakhlaq mulia. Inilah cinta suci yang abadi saudaraku.
Saudaraku! setelah anda membaca tulisan sederhana ini, perkenankan saya bertanya: Benarkah cinta anda suci? Benarkah cinta anda adalah cinta sejati? Buktikan saudaraku…
Wallahu a’alam bisshowab, mohon maaf bila ada kata-kata yang kurang berkenan atau menyinggung perasaan.
***

Istriku Bukan Bidadari, Tapi Aku Pun Bukan Malaikat

Alhamdulillah, salawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan sahabatnya.
Anda telah berkeluarga? Bagaimana pengalaman Anda selama mengarungi bahtera rumah tangga? Semulus dan seindah yang Anda bayangkan dahulu?
Mungkin saja Anda menjawab, “Tidak.”
Akan tetapi, izinkan saya berbeda dengan Anda, “Ya,” bahkan lebih indah daripada yang saya bayangkan sebelumnya.
Saudaraku, kehidupan rumah tangga memang penuh dengan dinamika, lika-liku, dan pasang surut. Kadang Anda senang, dan kadang Anda bersedih. Tidak jarang, Anda tersenyum di hadapan pasangan Anda, dan kadang kala Anda cemberut dan bermasam muka.
Bukankah demikian, Saudaraku?
Berbagai tantangan dan tanggung jawab dalam rumah tangga senantiasa menghiasi hari-hari Anda. Semakin lama umur pernikahan Anda, maka semakin berat dan bertambah banyak perjuangan yang harus Anda tunaikan.
Tanggung jawab terhadap putra-putri, pekerjaan, karib kerabat, masyarakat, dan lain sebagainya.
Di antara tanggung jawab yang tidak akan pernah lepas dari kehidupan Anda ialah tanggung jawab terhadap pasangan hidup Anda.
Sebelum menikah, sah-sah saja Anda sebagai calon suami membayangkan bahwa pasangan hidup Anda cantik rupawan, bangsawan, kaya raya, patuh, pandai mengurus rumah, penyayang, tanggap, sabar, dan berbagai gambaran indah.
Bukankah demikian, Saudaraku?
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Biasanya, seorang wanita dinikahi karena empat pertimbangan: harta kekayaannya, kedudukannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka, hendaknya engkau lebih memilih wanita yang beragama, niscaya engkau beruntung.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Al-Qurthubi menjelaskan makna hadits ini dengan berkata, “Empat pertimbangan inilah yang biasanya mendorong seorang lelaki untuk menikahi seorang wanita. Dengan demikian, hadits ini sebatas kabar tentang fakta yang terjadi di masyarakat, dan bukan perintah untuk menjadikannya sebagai pertimbangan. Secara tekstual pun, hadits ini menunjukkan bahwa dibolehkan menikahi seorang wanita dengan keempat pertimbangan itu. Akan tetapi, hendaknya pertimbangan agama lebih didahulukan.”
Keterangan al-Qurthubi ini semakna dengan hadits yang diriwayatkan oleh shahabat Abdullah bin Amr al-’Ash radhiyallahu ‘anhu, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَزَوَّجُوا النِّسَاءَ لِحُسْنِهِنَّ فَعَسَى حُسْنُهُنَّ أَنْ يُرْدِيَهُنَّ وَلاَ تَزَوَّجُوهُنَّ لِأَمْوَالِهِنَّ فَعَسَى أَمْوَالُهُنَّ أَنْ تُطْغِيَهُنَّ وَلَكِنْ تَزَوَّجُوهُنَّ عَلَى الدِّينِ وَلَأَمَةٌ خَرْمَاءُ سَوْدَاءُ ذَاتُ دِينٍ أَفْضَلُ
‘Janganlah engkau menikahi wanita hanya karena kecantikan parasnya, karena bisa saja parasnya yang cantik menjadikannya sengsara. Jangan pula engkau menikahinya karena harta kekayaannya, karena bisa saja harta kekayaan yang ia miliki menjadikan lupa daratan. Akan tetapi, hendaklah engkau menikahinya karena pertimbangan agamanya. Sungguh, seorang budak wanita berhidung pesek dan berkulit hitam, tetapi ia patuh beragama, lebih utama dibanding mereka semua.’” (Hr. Ibnu Majah; oleh al-Albani dinyatakan sebagai hadits yang lemah)
Akan tetapi, sekarang, setelah Anda menikah, terwujudkah seluruh impian dan gambaran yang dahulu terlukis dalam lamunan Anda?
Bila benar-benar seluruh impian Anda terwujud pada pasangan hidup Anda, maka saya turut mengucapkan selamat berbahagia di dunia dan akhirat. Bila tidak, maka tidak perlu berkecil hati atau kecewa.
Saudaraku, besarkan hati Anda, karena nasib serupa tidak hanya menimpa Anda seorang, tetapi juga menimpa kebanyakan umat manusia.
عَنْ أَبِى مُوسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَمُلَ مِنَ الرِّجَالِ كَثِيرٌ، وَلَمْ يَكْمُلْ مِنَ النِّسَاءِ إِلاَّ آسِيَةُ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ، وَمَرْيَمُ بِنْتُ عِمْرَانَ، وَإِنَّ فَضْلَ عَائِشَةَ عَلَى النِّسَاءِ كَفَضْلِ الثَّرِيدِ عَلَى سَائِرِ الطَّعَامِ
Abu Musa radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, ‘Banyak lelaki yang berhasil menggapai kesempurnaan, sedangkan tidaklah ada dari wanita yang berhasil menggapainya kecuali Asiyah istri Fir’aun dan Maryam binti Imran. Sesungguhnya, kelebihan Aisyah dibanding wanita lainnya bagaikan kelebihan bubur daging [1] dibanding makanan lainnya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Saudaraku, berbahagia dan berbanggalah dengan pasangan hidup Anda, karena pasangan hidup Anda adalah wanita terbaik untuk Anda!
Anda tidak percaya? Silakan Anda membuktikannya. Bacalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini, lalu terapkanlah pada istri Anda.
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Tidak pantas bagi lelaki yang beriman untuk meremehkan wanita yang beriman. Bila ia tidak menyukai satu perangai darinya, pasti ia puas dengan perangainya yang lain.” (Hr. Muslim)
Saudaraku, Anda kecewa karena istri Anda kurang pandai memasak? Tidak perlu khawatir, karena ternyata istri Anda adalah penyayang.
Anda kurang puas dengan istri Anda yang kurang pandai mengurus rumah dan kurang sabar? Tidak usah berkecil hati, karena ia begitu cantik rupawan.
Anda berkecil hati karena istri Anda kurang cantik? Segera besarkan hati Anda, karena ternyata istri Anda subur sehingga Anda mendapatkan karunia keturunan yang shalih dan shalihah. Coba Anda bayangkan, betapa besar penderitaan Anda bila Anda menikahi wanita cantik akan tetapi mandul.
Demikianlah seterusnya.
Tidak etis dan tidak manusiawi bila Anda hanya pandai mengorek kekurangan istri, namun Anda tidak mahir dalam menemukan kelebihan-kelebihannya. Buktikan Saudaraku, bahwa Anda benar-benar seorang suami yang berjiwa besar, sehingga Anda peka dan lihai dalam membaca kelebihan pasangan Anda.
Dahulu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu peka dan mahir dalam membaca segala hal, termasuk suasana hati istrinya. Aisyah mengisahkan,
قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: إِنِّي لَأَعْلَمُ إِذَا كُنْتِ عَنِّي رَاضِيَةً، وَإِذَا كُنْتِ عَلَيَّ غَضْبَى . قَالَتْ: فَقُلْتُ مِنْ أَيْنَ تَعْرِفُ ذَلِكَ، فَقَالَ: أَمَّا إِذَا كُنْتِ عَنِّي رَاضِيَةً فَإِنَّكِ تَقُولِيْنَ لاَ وَرَبِّ مُحَمَّدٍ، وَإِذَا كُنْتِ غَضْبَى قُلْتِ لاَ وَرَبِّ إِبْرَاهِيمَ. قَالَتْ: قُلْتُ أَجَلْ وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا أَهْجُرُ إِلاَّ اسْمَكَ
“Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Sungguh, aku mengetahui bila engkau ridha kepadaku, demikian pula bila engkau sedang marah kepadaku.’ Spontan, Aisyah bertanya, ‘Darimana engkau dapat mengetahui hal itu?’ Rasulullah menjawab, ‘Bila engkau sedang ridha kepadaku, maka ketika engkau bersumpah, engkau berkata, ‘Tidak, demi Tuhan Muhammad. Adapun bila engkau sedang dirundung amarah, maka ketika engkau bersumpah, engkau berkata, ‘Tidak, demi Tuhan Ibrahim.’’ Mendengar penjelasan ini, Aisyah menimpalinya dan berkata, ‘Benar, sungguh demi Allah, wahai Rasulullah, ketika aku marah, tiada yang aku tinggalkan, kecuali namamu saja.’” (Muttafaqun ‘alaihi)
Demikianlah teladan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau begitu peka dengan suasana hati istrinya, sehingga beliau bisa membaca isi hati istrinya dari ucapan sumpahnya. Walaupun Aisyah berusaha untuk menyembunyikan isi hatinya, tetap bermanis muka, senantiasa berada di sanding Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berbicara seperti biasa, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat menebak suasana hatinya dari perubahan cara bersumpahnya. Luar biasa, perhatian, kejelian, dan kepekaan yang tidak ada bandingnya.
Tidak mengherankan, bila beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
(خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
“Orang terbaik di antara kalian ialah orang yang terbaik dalam memperlakukan istrinya, dan aku adalah orang terbaik di antara kalian dalam memperlakukan istriku.” (Hr. At-Tirmidzi)
Bagaimana dengan Anda, Saudaraku? Dengan apa Anda dapat mengenali dan meraba suasana hati pasangan Anda?
Saudaraku, tidak ada salahnya bila sejenak Anda kembali memutar lamunan dan gambaran tentang istri ideal dan idaman yang pernah singgah dalam benak Anda. Selanjutnya, bandingkan gambaran istri idaman Anda dengan gambaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kaum wanita berikut ini,
الْمَرْأَةُ كَالضِّلَعِ ، إِنْ أَقَمْتَهَا كَسَرْتَهَا، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيهَا عِوَجٌ
“Wanita itu bagaikan tulang rusuk. Bila engkau ingin meluruskannya, niscaya engkau menjadikannya patah, dan bila engkau bersenang-senang dengannya, niscaya engkau dapat bersenang-senang dengannya, sedangkan ia adalah bengkok.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Pada riwayat lain, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَسْتَقِيمُ لَكَ الْمَرْأَةُ عَلَى خَلِيقَةٍ وَاحِدَةٍ وَإِنَّمَا هِيَ كَالضِّلَعُ إِنْ تُقِمْهَا تَكْسِرْهَا وَإِنْ تَتْرُكْهَا تَسْتَمْتِعْ بِهَا وَفِيهَا عِوَجٌ
“Tidak mungkin istrimu kuasa bertahan dalam satu keadaan. Sesungguhnya, wanita itu bak tulang rusuk. Bila engkau ingin meluruskannya, niscaya engkau menjadikannya patah. Adapun bila engkau biarkan begitu saja, maka engkau dapat bersenang-senang dengannya, (tetapi hendaklah engkau ingat) ia adalah bengkok.” (Hr. Ahmad)
Nah, sekarang, silakan Anda mengorek memori Anda tentang wanita pendamping hidup Anda. Temukan berbagai kelebihan padanya, dan selanjutnya tersenyumlah, karena ternyata istri Anda memiliki banyak kelebihan.
Lalu, bila pada suatu hari Anda merasa tergoda oleh kecantikan wanita lain, maka ketahuilah bahwa sesuatu yang dimiliki oleh wanita itu ternyata juga telah dimiliki oleh istri Anda. Maka, bergegaslah untuk membuktikan hal ini pada istri Anda. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَى أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَأَعْجَبَتْهُ فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ مَعَهَا مِثْلَ الَّذِي مَعَهَا
“Bila engkau melihat seorang wanita, lalu ia memikat hatimu, maka segeralah datangi istrimu! Sesungguhnya, istrimu memiliki seluruh hal yang dimiliki oleh wanita yang engkau lihat itu.” (Hr. At-Tirmidzi)
Demikianlah caranya agar Anda dapat senantiasa puas dan bangga dengan pasangan hidup Anda. Anda selalu dapat merasa bahwa ladang Anda tampak hijau, sehijau ladang tetangga, dan bahkan lebih hijau.
Selamat berbahagia dengan pasangan hidup yang telah Allah karuniakan kepada Anda. Semoga Allah memberkahi bahtera rumah tangga Anda.
Sebaliknya, sebagai calon istri, Anda juga berhak untuk mendambakan pasangan hidup yang tampan, gagah, kaya raya, pandai, berkedudukan tinggi, penuh perhatian, setia, penyantun, dermawan, dan lain sebagainya.
Betapa indahnya gambaran rumah tangga Anda, dan betapa istimewanya pasangan hidup Anda, andai gambaran Anda ini dapat terwujud. Bukankah demikian, Saudariku?
Saudariku, setelah Anda menikah, benarkah seluruh kriteria suami ideal yang pernah menghiasi lamunan Anda ini terwujud pada pasangan hidup Anda?
Bila benar terwujud, maka saya ucapkan selamat berbahagia di dunia dan akhirat, dan bila tidak, maka tidak perlu berkecil hati.
Besarkan hatimu, wahai Saudariku! Percayalah, bahwa pada pasangan hidup Anda ternyata terdapat banyak kelebihan.
Bila selama ini, Saudari ciut hati karena suami Anda miskin harta, maka tidak perlu khawatir, karena ia penuh dengan perhatian dan tanggung jawab.
Bila selama ini, Saudari kecewa karena suami Anda ternyata kurang tampan, maka percayalah bahwa ia setia dan bertanggung jawab.
Andai selama ini, Saudari kurang puas karena suami Anda kurang perhatian dengan urusan dalam rumah, tetapi ia begitu membanggakan dalam urusan luar rumah.
Juga, andai selama ini, sikap suami Anda terhadap Anda kurang simpatik, maka tidak perlu hanyut dalam duka dan kekecawaan, karena ia masih punya jasa baik yang tidak ternilai dengan harta. Ternyata, selama ini, suami Anda telah menjaga kehormatan Anda, menjadi penyebab Anda merasakan kebahagiaan menimang putra-putri Anda.
Saudariku, Anda tidak perlu hanyut dalam kekecewaan karena suatu hal yang ada pada diri suami Anda. Betapa banyak kelebihan-kelebihan yang ada padanya. Berbahagia dan nikmatilah kedamaian hidup rumah tangga bersamanya.
Berlarut-larut dalam kekecewaan terhadap suatu perangai suami Anda dapat menghancurkan segala keindahan dalam rumah tangga Anda. Bukan hanya hancur di dunia, bahkan berkelanjutan hingga di akhirat kelak.
Saudariku, simaklah peringatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini. Agar anda dapat menjadikan bahtera rumah tangga Anda seindah dambaan Anda.
أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ، قِيلَ: أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ، وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا، قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
“Aku diberi kesempatan untuk menengok ke dalam neraka, dan ternyata kebanyakan penghuninya ialah para wanita, akibat ulah mereka yang selalu kufur/ingkar.” Spontan, para shahabat bertanya, “Apakah yang engkau maksud adalah mereka kufur/ingkar kepada Allah?” Beliau menjawab, “Mereka terbiasa ingkar terhadap perilaku baik, dan ingkar terhadap jasa baik. Andai engkau berbuat baik kepada mereka seumur hidupmu, lalu ia mendapatkan suatu hal padamu, niscaya mereka begitu mudah berkata, ‘Aku tidak pernah mendapatkan kebaikan sedikit pun darimu.’” (Muttafaqun ‘alaihi)
Anda mendambakan kebahagian dalam rumah tangga?
Temukanlah bahwa kebahagian hidup dan berumah tangga terletak pada genggaman tangan suami Anda. Pandai-pandailah membawa diri, sehingga suami Anda rela membentangkan kedua telapak tangannya, dan memberikan kebahagian berumah tangga kepada Anda.
Percayalah Saudariku, suami Anda adalah pasangan terbaik untuk Anda.
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا اُدْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Bila seorang istri telah mendirikan shalat lima waktu, berpuasa bulan Ramadan, menjaga kesucian dirinya, dan taat kepada suaminya, niscaya kelak akan dikatakan kepadanya, ‘Silakan engkau masuk ke surga dari pintu mana pun yang engkau suka.’”(Hr. Ahmad dan lainnya)
Tidakkah Anda mendambakan termasuk orang-orang mukminah yang mendapatkan kebebasan masuk surga dari pintu yang mana pun?
Kunci Keberhasilan Rumah Tangga
Saudaraku, mungkin selama ini Anda bersama pasangan hidup Anda, terus berusaha mencari pola rumah tangga yang dapat mendatangkan kebahagiaan untuk Anda berdua.
Anda berhasil menemukannya?
Bila Anda berhasil, maka saya ucapkan selamat berbahagia. Adapun bila belum, maka segera temukan kunci keberhasilan rumah tangga Anda pada firman Allah berikut,
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi, para suami mempunyai kelebihan satu tingkat daripada istrinya.” (Qs. al-Baqarah: 228)
Hak pasangan Anda setimpal dengan kewajiban yang ia tunaikan kepada Anda. Semakin banyak Anda menuntut hak Anda, maka semakin banyak pula kewajiban yang harus Anda tunaikan untuknya.
Shahabat Abdullah bin ‘Abbas memberikan contoh nyata dari aplikasi ayat ini dalam rumah tangganya. Pada suatu hari, beliau berkata, “Sesungguhnya, aku senang untuk berdandan demi istriku, sebagaimana aku pun senang bila istriku berdandan demiku, karena Allah Ta’ala telah berfirman,
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
‘Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.’
Aku pun tidak ingin menuntut seluruh hakku atas istriku, karena Allah juga telah berfirman,
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
‘Akan tetapi, para suami mempunyai kelebihan satu tingkat daripada istrinya.’” (Hr. Ibnu Abi Syaibah dan ath-Thabari)
Bagaimana dengan dirimu, wahai saudara dan saudariku? Kapankah Anda berdandan? Ketika sedang berada di rumah atau ketika hendak keluar rumah? Selama ini, sejatinya, untuk siapa Anda berdandan? Benarkah Anda berdandan untuk pasangan Anda, ataukah Anda berdandan dan tampil menawan untuk orang lain?
Saudaraku, bahu-membahu, saling melengkapi kekurangan, dan saling pengertian adalah salah satu prinsip dasar dalam membangun rumah tangga. Tidak layak bagi Anda untuk berperan sebagai penonton setia ketika pasangan Anda sedang mengerjakan pekerjaannya. Usahakan sebisa Anda untuk turut menyelesaikan pekerjaannya. Demikianlah, dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan dalam rumah tangga beliau.
Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan,
كَانَ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ، فَإِذَا سَمِعَ الأَذَانَ خَرَجَ
“Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan sebagian pekerjaan istrinya, dan bila beliau mendengar suara azan dikumandangkan, maka beliau bergegas menuju ke mesjid.” (Hr. Bukhari)
Constance Gager, ketua studi sekaligus asisten profesor di Montclair State University, Montclair, New Jersey, mengadakan penelitian tentang hubungan perilaku suami-istri dengan keromantisan dalam bercinta. Ia mengelompokkan para suami yang menjadi objek penelitiannya ke dalam dua kelompok.
Kelompok pertama adalah suami-suami yang tidak peduli dan jarang membantu pekerjaan istri. Kelompok kedua adalah suami-suami yang sering turut serta dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga istri.
Hasilnya luar biasa! Suami di kelompok kedua, yaitu yang sering membantu pekerjaan istrinya, terbukti lebih romantis dan lebih sering memadu cinta dengan pasangannya. Hubungan yang harmonis dan indah, begitu kental dalam rumah tangga mereka.
Sejatinya, penemuan ini bukanlah hal baru, karena secara logika, suami yang dengan rendah hati membantu pekerjaan istrinya pastilah lebih dicintai oleh istrinya. Tentunya, ini memiliki hubungan erat dengan keromantisan suami-istri dalam bercinta.
Sebaliknya, istri yang peduli dengan pekerjaan suami, pun akan mengalami hal yang sama.
Nah, bagaimana dengan diri Anda, wahai Saudaraku?
Selamat membuktikan resep manjur ini! Semoga berbahagia, dan hubungan Anda berdua semakin romantis dan harmonis.
Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat bagi Anda. Mohon maaf bila ada kata-kata yang kurang berkenan. Wallahu a’lam bish-shawab.

Menuai Pahala dalam Hidup Bertetangga

Tetangga merupakan orang yang sangat dekat dalam keseharian kita. Jika kita keluar rumah, maka tetangga-lah yang kita temui pertama kali. Saat kita membutuhkan bantuan, tetangga-lah yang pertama kali kita datangi pintu rumahnya. Sangat tidak mungkin bagi kita untuk hidup tanpa tetangga. Sungguh tetangga sangatlah penting artinya dalam kehidupan kita hingga Allah memerintahkan untuk senantiasa berbuat baik kepada tetangga.
“Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukanNya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya kalian…” (Qs. An-Nisa’: 36)
Bahkan tetangga begitu mulianya dalam ajaran Islam hingga Malaikat Jibril senantiasa berpesan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk selalu menjaga hak tetangga.
“Senantiasa Jibril berpesan kepadaku tentang (hidup) bertetangga, sampai aku menyangka bahwa dia tetangga akan mewarisi tetangganya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Ketahuilah saudariku, berbuat baik terhadap tetangga adalah bukti keimananmu kepada Allah. Dan tidak akan sempurna keimananmu sebelum engkau mencintai tetanggamu sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri. Engkau menginginkan kebaikan bagi mereka sebagaimana engkau menginginkan kebaikan pada dirimu sendiri, merasa bahagia ketika mereka bahagia dan merasa sedih ketika mereka merasa sedih.
“Tidaklah salah seorang di antara kalian beriman sehingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari-Muslim)
Oleh karenanya saudariku, berlembut hatilah terhadap tetanggamu dan ringankan tanganmu untuk membantu tetanggamu serta bersikaplah peka terhadap hal-hal yang mengganggu atau menyakiti mereka.
Berbuat Baik pada Tetangga sesuai Kemampuan
Maka hendaknya engkau, saudariku, tidak melupakan diri untuk berbuat baik pada tetanggamu meskipun anya sedikit. Bukankah engkau yakin dengan janji Allah
“Dan barangsiapa berbuat kebaikan seberat dzarah pun, niscaya dia akan melihat (balasannya).” (Qs. Az-Zalzalah: 8)
Janganlah merasa malu dengan sedikitnya pemberianmu. Dan jangan pula karena berbangga-bangga menghalangimu untuk memberi dalam jumlah sedikit. Engkau beralasan pemberian yang sedikit tidak layak bagi tetanggamu, lalu engkau menahan pemberianmu karena menunggu jumlah yang banyak, sampai akhirnya engkau tidak mampu mencapai jumlah yang banyak itu dan hilanglah kesempatan untuk berbuat baik kepada tetanggamu. Wal iyya’udzubillahi min dzalik. Ingatlah pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadamu
“Wahai sekalian wanita muslimah, tidak diperbolehkan seorang tetangga menganggap remeh pemberian yang dia berikan kepada tetangganya. meskipun hanya sedikit.” (HR. Bukhari-Muslim)
Dan sebaliknya, seorang tetangga tidak boleh menghina kebaikan yang diberikan oleh tetangganya meskipun kebaikan itu hanya sedikit. Justru ia harus mensyukurinya sehingga tumbuhlah kedamaian dan kerukunan dalam kehidupan bertetangga.
Dan di antara bentuk berbuat baik terhadap tetangga adalah memberikan hadiah kepada tetangga misalnya engkau mengirimkan sebagian masakanmu ketika masakanmu tercium oleh tetanggamu dan mereka menginginkannya sementara mereka tidak mampu untuk membuat masakan seperti itu. Perhatikanlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Apabila engkau memasak sayur berdaging, maka perbanyaklah kuahnya, kemudian perhatikanlah anggota keluarga tetanggamu, lalu berilah mereka dengan cara yang baik.” (HR. Muslim)
Terlebih lagi jika tetangga sangat membutuhkan bantuanmu, seorang muslimah hendaknya mengulurkan tangannya terutama jika dia berada dalam kemudahan rezeki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah beriman kepadaku seorang yang kenyang sedangkan tetangga di sampingnya menderita kelaparan, sementara dia mengetahui.” (HR. Ath-Thabrani dan Al-Bazzar)
Bentuk lain dari berbuat baik terhadap tetangga adalah hendaknya seorang muslimah tidak pelit untuk memberikan nasihat dan saran kepada tetangga, bahkan mengajak mereka untuk berbuat kebaikan dan mencegah keburukan dengan bijaksana dan baik tanpa maksud menjatuhkan atau menjelek-jelekan mereka. Selain itu seorang muslimah hendaknya juga memelihara hak-hak mereka di saat mereka tidak ada di rumah yaitu menjaga harta dan kehormatan mereka dari tangan-tangan usil.
Mendahulukan Tetangga Terdekat
Sesungguhnya tetangga yang masih kerabat memiliki hak yang lebih besar daripada tetangga yang bukan kerabat.
“Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukanNya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya kalian…” (Qs.An-Nisa’: 36)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di menjelaskan bahwa yang dimaksud tetangga dekat adalah tetangga yang masih memiliki hubungan nasab (keluarga), sedangkantetangga jauh adalah tetangga yang tidak memiliki hubungan nasab. Maka tetangga dekat memiliki dua hak yaitu hak sebagai keluarga dan hak sebagai tetangga sementara tetangga jauh hanya memiliki satu hak yaitu hak sebagai tetangga. Maka selayaknya seorang muslimah mengutamakan tetangga dekat terlebih dahulu.
Dr. Muhammad Ali Al-Hasyimi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tetangga dekat adalah tetangga yang masih memiliki hubungan nasab atau ikatan agama. Sedangkan tetangga jauh adalah yang tidak ada hubungan darah atau ikatan agama. Oleh karena itu tetangga muslim lebih pantas didahulukan daripada tetangga yang kafir karena adanya ikatan agama.
Demikian juga tetangga yang paling dekat letak rumahnya memiliki hak yang lebih besar daripada tetangga yang jauh letak rumahnya.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kau memiliki dua tetangga, kepada tetangga mana aku harus memberikan hadiah?” Beliau menjawab,“Kepada yang paling dekat pintu rumahnya.” (HR. Bukhari)
Mendahulukan tetangga terdekat akan lebih memelihara perasaan tetangga. Hal ini karena biasanya tetangga dekat memiliki hubungan dan muamalah yang lebih kental. Namun bukan berarti seorang muslimah memalingkan pandangannya dari tetangga yang jauh karena semua rumah yang berada di sekitar tempat tinggalnya adalah tetangganya dan memiliki hak sebagai tetangga.
Meruginya Tetangga yang Jahat
Wahai saudariku muslimah, janganlah engkau menyakiti atau menganggangu tetanggamu. Hendaknya engkau peka terhadap sikap yang engkau perlihatkan dan suara yang engkau perdengarkan kepada tetanggamu.
Janganlah bangunan yang engkau bangun membuat mereka terhalang dari sinar matahari atau udara. Janganlah sampai bangunan tersebut melampaui batas tanahnya, sehingga bisa merusak atau mengubah hak miliknya karena hal tersebut akan menyakiti hatinya.
Jangan pula engkau mengganggu tetanggamu dengan mengotori halaman mereka atau menutup jalan bagi mereka. Dan hendaknya seorang muslimah tidak mencari-cari kesalahan dan kekeliruan serta tidak pula bahagia bila mereka keliru. Bahkan ia seharusnya tidak memandang kealpaan mereka dan merahasiakan kekurangan mereka.
Wahai saudariku, janganlah engkau membuat kegaduhan yang mengganggu mereka. Jangnlah mengeraskan suara radio, TV atau suara yang sejenis sehingga mengganggu kegiatan mereka atau mengganggu istirahat mereka ketika sakit. Bahkan sekalipun yang diperdengarkan adalah bacaan Al-Quran, selama hal tersebut mengganggu tetangga maka berarti dia telah berbuat zhalim.
Sungguh tetangga yang jahat akan dijauhkan dari nikmatnya iman. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman!” Nabi ditanya, “Siapa, wahai Rasulullah?” Nabi menjawab,”Yaitu orang yang tetangganya tidak merasa tentram karena perbuatannya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Tak hanya hilangnya nikmat iman, amalannya akan musnah karena kejahatannya dan ia pun dijauhkan dari surga.
Pernah ditanyakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada seorang yang senantiasa bangun malam dan berpuasa, berbuat dan bersedekah, tetapi dia senantiasa menyakiti tetangganya melalui ucapan.”
Rasulullah pun menjawab, “Tiada kebaikan baginya, dan dia termasuk penghuni neraka.”
Kemudian para sahabat berkata, “Ada wanita lain yang selalu mengerjakan shalat wajib, bersedekah dengan susu yang dikeringkan dan dia tidak pernah menyakiti satu orang pun dari tetangganya.”
Maka Rasulullah menajwab, “Dia itu termasuk penghuni surga.” (HR. Bukhari)
Dan hendaklah seorang muslimah bersabar jika mendapati perlakuan tidak baik dari tetangga serta memaafkan dan tidak membalasnya. Dan janganlah mengedepankan emosi jika salah satu putranya bertengkar dengan putra tetangganya kemudian bersikap tidak acuh terhadap tetangganya, namun ia seharusnya mendamaikan dan berlapang dada. Bergembiralah menjadi tetangga yang penyantun dan kasih, bergembiralah dengan kesabaranmu karena engkau akan mendapatkan pahala dan keridhaan Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga kelompok manusia yang dicintai Allah… — disebutkan diantaranya– Sesorang yang mempunyai tetangga, ia selalu disakiti (diganggu) oleh tetangganya, namun ia sabar atas gangguannya itu hingga keduanya dipisah oleh kematian.” (HR. Ahmad)
Perbuatan Buruk ke Tetangga Mendapat Ganjaran Dosa Berlipat Ganda
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah, ketika beliau bertanya kepada para sahabat, “Apa yang kamu katakan tentang (hukum) zina?” Mereka menjawab, “Haram.”
Lalu beliau bersabda, “Seseorang berzina dengan sepululh wanita lebih ringan dibanding jika ia berzina dengan istri tetangganya.”
Lalu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apa yang kamu katakan tentang (hukum) mencuri?” Mereka menjawab, “Haram.”
Lalu, beliau bersabda, “Seseorang mencuri dari sepuluh rumah lebih ringan (dosanya) dibanding jika ia mencuri dari rumah tetangganya.” (HR. Ahmad)
Agar tidak disalahpahami, hadits ini bukanlah berarti zina dan mencuri kepada selain tetangga tidak berdosa. Bahkan ia juga berdosa, sebagaimana dalam hadits di atas, para sahabat menjawab bahwa zina dan mencuri merupakan perbuatan yang haram dilakukan. Namun, perbuatan itu semakin keras ancaman dosanya ketika dilakukan terhadap tetangga.
Tak Ternilai Harganya di Dunia dan Mendapatkan Surga di Akhirat
Tetangga yang baik memberikan kesejukan pandangan, ketenangan dan keamanan.
“Di antara kebahagiaan seorang muslim di dunia adalah tetangga yang baik, rumah yang luas dan kendaraan yang menyenangkan.” (HR. Ahmad dan Al-Hakim)
Dikisahkan bahwa tetangga Sa’id bin Al-’Ash ditawar rumahnya dengan harga 100.000 dirham. Kemudian tetangga itu berucap kepada penawar, “Itu harga rumah, lalu berapa engkau akan membeli hidup bertetangga dengan Sa’id?” Ketika mengetahui peristiwa itu, Sa’id mengirim harga yang sama dan menyuruh tetap menempati rumahnya tersebut. Sungguh memiliki tetangga yang baik merupakan nikmat yang tidak ternilai harganya di dunia dan tidak dapat digantikan oleh apa pun.
Tak hanya di dunia, tetangga yang baik akan mendapatkan surga di akhirat, yang di dalamnya terdapat segala nikmat yang diinginkan oleh jiwa.
Pernah ditanyakan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada seorang yang senantiasa bangun malam dan berpuasa, berbuat dan bersedekah, tetapi dia senantiasa menyakiti tetangganya melalui ucapan.” Rasulullah pun menjawab, “Tiada kebaikan baginya, dan dia termasuk penghuni neraka.” Kemudian para sahabat berkata, “Ada wanita lain yang selalu mengerjakan shalat wajib, berseedekah dengan susu yang dikeringkan dan dia tidak pernah menyakiti satu orang pun dari tetangganya.” Maka Rasulullah menajwab, “Dia itu termasuk penghuni surga.” (HR. Bukhari)
Maka berlombalah saudariku untuk menjadi tetangga yang baik agar engkau mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat.

Apa Makna Wanita Diciptakan dari Tulang Rusuk yang Paling Bengkok?

Pertanyaan:
Disebutkan dalam sebuah hadits, “Berbuat baiklah kepada wanita, karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, sedangkan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas,” dst. Mohon penjelasan makna hadits dan makna ‘tulang rusuk yang paling bengkok adalah tulang rusuk yang paling atas’?
Jawaban:
Ini adalah hadits shahih yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim di masing masing kitab Shahih mereka, dari Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam. Dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa nabi shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda,

“Berbuat baiklah kepada wanita, karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas.Maka sikapilah para wanita dengan baik.” 
(HR al-Bukhari Kitab an-Nikah no 5186)
Ini adalah perintah untuk para suami, para ayah, saudara saudara laki laki dan lainnya untuk menghendaki kebaikan untuk kaum wanita, berbuat baik terhadap mereka , tidak mendzalimi mereka dan senantiasa memberikan ha-hak mereka serta mengarahkan mereka kepada kebaikan. Ini yang diwajibkan atas semua orang berdasarkan sabda Nabishalallahu ‘alayhi wasallam, “Berbuat baiklah kepada wanita.”
Hal ini jangan sampai terhalangi oleh perilaku mereka yang adakalanya bersikap buruk terhadap suaminya dan kerabatnya, baik berupa perkataan maupun perbuatan karena para wanita itu diciptakan dari tulang rusuk, sebagaimana dikatakan oleh Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam bahwa tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas.
Sebagaimana diketahui, bahwa yang paling atas itu adalah yang setelah pangkal rusuk, itulah tulang rusuk yang paling bengkok, itu jelas. Maknanya, pasti dalam kenyataannya ada kebengkokkan dan kekurangan. Karena itulah disebutkan dalam hadits lain dalam ash-Shahihain.

“Aku tidak melihat orang orang yang kurang akal dan kurang agama yang lebih bias menghilangkan akal laki laki yang teguh daripada salah seorang diantara kalian (para wanita).” 
(HR. Al Bukhari no 304 dan Muslim no. 80)
Hadits Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam yang disebutkan dalam ash shahihain dari hadits Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu. Makna “kurang akal” dalam sabda Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam adalah bahwa persaksian dua wanita sebanding dengan persaksian seorang laki laki. Sedangkan makna “kurang agama” dalam sabda beliau adalah bahwa wanita itu kadang selama beberapa hari dan beberapa malam tidak shalat, yaitu ketika sedang haidh dan nifas. Kekurangan ini merupakan ketetapan Allah pada kaum wanita sehingga wanita tidak berdosa dalam hal ini.
Maka hendaknya wanita mengakui hal ini sesuai dengan petunjuk nabi shalallahu ‘alayhi wasallam walaupun ia berilmu dan bertaqwa, karena nabi shalallahu ‘alayhi wasallam tidak berbicara berdasarkan hawa nafsu, tapi berdasar wahyu yang Allah berikan kepadanya, lalu beliau sampaikan kepada ummatnya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” 
(Qs. An-Najm:4)

Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam Mengajarimu Arti Ghibah Sesungguhnya

Dari Abu Hurairahradhiallahu ‘anhubahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallambersabda,
اتدرون ما الغيبه؟ قالوا: الله ورسوله أعلم .قال:الْغِيبَة ذِكْرك أَخَاك بِمَا يَكْرَه قِيلَ : أَفَرَأَيْت إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُول ؟ قَالَ : إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُول فَقَدْ اِغْتَبْته ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَقَدْ بَهَتّه
“Tahukah kalian apa itu ghibah?”
Mereka (para sahabat) menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”
Kemudian beliau shallahu’alaihi wasallam bersabda, “Engkau menyebut-nyebut saudaramu tentang sesuatu yang ia benci.”
Kemudian ada yang bertanya, “Bagaimana menurutmu jika sesuatu yang aku sebutkan tersebut nyata-nyata apa pada saudaraku?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Jika memang apa yang engkau ceritakan tersebut ada pada dirinya itulah yang namanya ghibah, namun jika tidak berarti engkau telah berdusta atas namanya.” (HR Muslim 2589 Bab: Al-Bir Wash Shilah Wal Adab)
Pelajaran Penting
Syaikh Abdullah al Bassam rahimahullah dalam kitab beliau Taudhihul Ahkam Min Bulughil Maram(IV/599, Kairo) menjelaskan poin-poin penting yang bisa diambil dari hadits diatas:
Definisi Ghibah
Nabi shallallhu’alaihi wasallam menjelaskan makna ghibah dengan menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang ia benci, baik tentang fisiknya maupun sifat-sifatnya. Maka setiap kalimat yang engkau ucapkan sementara saudaramu membenci jika tahu engkau mengatakan demikian maka itulah ghibah. Baik dia orang tua maupun anak muda, akan tetapi kadar dosa yang ditanggung tiap orang berbeda-beda sesuai dengan apa yang dia ucapkan meskipun pada kenyataannya sifat tersebut ada pada dirinya.
Adapun jika sesuatu yagn engkau sebutkan ternyata tidak ada pada diri saudaramu berarti engkau telah melakukan dua kejelekan sekaligus: ghibah dan buhtan (dusta).
Nawawiy rahimahullah mengatakan, “Ghibah berarti seseorang menyebut-nyebut sesuatu yang dibenci saudaranya baik tentang tubuhnya, agamanya, duniannya, jiwanya, akhlaknya,hartanya, anak-anaknya,istri-istrinya, pembantunya, gerakannya, mimik bicarnya atau kemuraman wajahnya dan yang lainnya yang bersifat mngejek baik dengan ucapan maupun isyarat.”
Beliau rahimahullah melanjutkan, “Termasuk ghibah adalah ucapan sindiran terhadap perkataan para penulis (kitab) contohnya kalimat: ‘Barangsiapa yang mengaku berilmu’ atau ucapan ’sebagian orang yang mengaku telah melakukan kebaikan’. Contoh yang lain adalah perkataa berikut yang mereka lontarkan sebagai sindiran, “Semoga Allah mengampuni kami”, “Semoga Allah menerima taubat kami”, “Kita memohon kepada Allah keselamatan”.
Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Sabda Nabi shalallahu’alaihi wasallam ذِكْرك أَخَاك (engkau meneybut-nyebut saudaramu) ini merupakan dalil bahwa larangan ghibah hanya berlaku bagi sesama saudara (muslim) tidak ada ghibah yang haram untuk orang yahudi, nashrani dan semua agama yang menyimpang, demikian juga orang yang dikeluarkan dari islam (murtad) karena bid’ah yang ia perbuat.”
Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Para ulama telah sepakat bahwasanya ghibah termasuk dosa besar. Mereka berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالكُمْ وَأَعْرَاضكُمْ حَرَام عَلَيْكُم
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian adalah haram atas (sesama) kalian”.( HR Muslim 3179, Syarh Nawai ‘ala Muslim)
Adakah Ghibah yang Diperbolehkan?
Nawawi rahimahullah setelah menjelaskan makna ghibah beliau berkata, “Akan tetapi ghibah itu diperbolehkan oleh syar’iat pada enam perkara:
  1. Kedzoliman, diperbolehkan bagi orang yang terdzolimi menngadukan kedzoliman kepada penguasa atau hakim yang berkuasa yang memiliki kekuatan untuk mengadili perbuatan tersebut. Sehingga diperbolehkan mengatakan,”Si Fulan telah mendzalimi diriku”atau “Dia telah berbuat demikian kepadaku.”
  2. Meminta bantun untuk menghilangkan kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat kepada kebenaran. Maka seseorang diperbolehkan mengatakan, “Fulan telah berbuat demikian maka cegahlah dia!”
  3. Meminta fatwa kepada mufti (pemberi fatwa,pen) dengan mengatakan:”Si Fulan telah mendzolimi diriku atau bapakku telah mendzalimi diriku atau saudaraku atau suamiku, apa yang pantas ia peroleh? Dan apa yang harus saya perbuat agar terbebas darinya dan mampu mencegah perbuatan buruknya kepadaku?”
    Atau ungkapan semisalnya. Hal ini diperbolehkan karena ada kebutuhan. Dan yang lebih baik hendaknya pertanyaan tersebut diungkapkan dengan ungkapan global, contohnya:
    “Seseorang telah berbuat demikian kepadaku” atau “Seorang suami telah berbuat dzalim kepaada istrinya” atau “Seorang anak telah berbuat demikian” dan sebagainya.
    Meskipun demkian menyebut nama person tertentu diperbolehkan, sebagaimana hadits Hindun ketika beliau mengadukan (suaminya)kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang sangat pelit.”
  4. Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan, contohnya memperingatkan kaum muslimin dari perowi-perowi cacat supaya tidak diambil hadits ataupun persaksian darinya, memperingatkan dari para penulis buku (yang penuh syubhat). Menyebutkan kejelekan mereka diperbolehkan secara ijma’ bahkan terkadang hukumnya menjadi wajib demi menjaga kemurnian syari’at.
  5. Ghibah terhadap orang yang melakukan kefasikan atau bid’ah secara terang-terangnan seperti menggunjing orang yang suka minum minuman keras, melakukan perdagangan manusia, menarik pajak dan perbuatan maksiat lainnya. Diperbolehkan menyebutkannya dalam rangka menghindarkan masyarakat dari kejelekannya.
  6. Menyebut identitas seseorang yaitu ketika seseorang telah kondang dengan gelar tersebut. Seperti si buta, si pincang, si buta lagi pendek, si buta sebelah, si buntung maka diperbolehkan menyebutkan nama-nama tersebut sebagai identitas diri seseorang. Hukumnya haram jika digunakan untuk mencela dan menyebut kekurangan orang lain. Namun lebih baik jika tetap menggunakan kata yang baik sebagai panggilan, Allahu A’lam. (Syarhun Nawawi ‘ala Muslim, Hal.400).
Washalallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi washahbihi wattabi’in

Itsar (Mendahulukan Kepentingan Orang Lain daripada Kepentingan Pribadi)

Ingatkah waktu mendapat pelajaran PMP atau PPKN saat dibangku SD atau SMP? Di dalamnya dipelajari tentang mendahulukan kepentingan orang lain diatas kepentingan pribadi atau golongan, namun ternyata pelajaran tersebut sudah dijelaskan lebih dahulu dalam dienul islam. Betapa sempurna dinul islam, semua perkara telah dijelaskan didalamnya dari hal yang sepele hingga yang agung.
Dengan mendahulukan kepentingan orang lain kita diajari agar tidak egois, dan menjadi orang yang pemurah. Seperti halnya, Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendidik istri-istrinya untuk mendahulukan orang lain, memberikan makanan kepada orang lain meskipun terkadang makanan tersebut tidak ada selainnya. Begitupula saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta para sahabat untuk bershadaqah.
“Dari Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Suatu hari Rasulullah memerintahkan kepada kami untuk bershadaqah, dan saat itu saya memiliki harta. Saya pun bergumam, ‘Hari ini saya akan mengalahkan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, saya akan sedekahkan separuh hartaku.’
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu wahai Umar?’  Umar radhiyallahu ‘anhu menjawab, ‘Separuhnya lagi.’
Ternyata datanglah Abu Bakar membawa semua hartanya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, ‘Lalu apa yang engkau sisakan untuk keluargamu.’ Maka Abu Bakar menjawab, ‘Saya tinggalkan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya.’” (HR Abu Dawud dan At Tirmidzi dengan sanad hasan. Lihat Tahqiq Misykah: 6021)
Subhanallah sangat indah perilaku untuk mendahulukan orang lain. Seharusnya kita meniru untuk senantiasa dapat mencontoh suri teladan tersebut.
Akan tetapi bagaimana jika itsar dilakukan dalam ibadah? Mungkin ada disekitar kita sering terjadi, misalnya saja terjadi ketika akan menunaikan shalat berjama ‘ah di masjid. Si X telah datang lebih awal dan mendapat shaf pertama, akan tetapi waktu berselang ada si Y yang datang juga dan tidak menjumpai shaf pertama. Kemudian si X mempersilakan si Y untuk menempati posisinya, hanya karena si Y adalah atasannya. Nah ini salah satu contoh itsar dalam ibadah. Benarkah hal tersebut?  Bagaimana kita menyikapinya?
Ternyata telah ada kaidah yang shorih (jelas) mengenai hal tersebut yaitu ‘mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah dibenci, namun dalam masalah lainnya disukai.’
Dalam kaidah diatas kita temui kata ‘al-iitsaaru‘, apa itu al-iitsaaru atau yang sering kita sebut itsar?
Itsar
Adalah sikap mendahulukan kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri.
Ada Dua Macam Itsar:
Itsar dalam Perkara Duniawi
Misalnya: Ketika kita meminjamkan motor kepada orang lain yang harus segera dibawa ke rumah sakit namun ketika itu pula kita juga membutuhkan. Nah inilah contoh sederhana itsar dalam kehidupan sehari-hari dan tentunya masih banyak lagi.
Itsar dalam perkara duniawi seperti contoh diatas sangat dianjurkan bagi umat Islam. Allah sangat menyenangi perkara tersebut.
“Dan orang-orang yang telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (muhajirin), dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran darinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Qs. Al-Hasyr: 9)
Itsar dalam Perkara Ibadah
Mendahulukan orang lain dalam perkara ibadah adalah sesuatu yang dibenci, karena masing-masing orang diperintahkan untuk mengagungkan Allah Ta’ala.
Jadi kita tidak boleh untuk mendahulukan orang lain atas diri kita dalam perkara ibadah. Bahkan orang tersebut adalah pimpinan, mertua atau orang-orang yang kita sayangi sekalipun.
Semoga kita dapat mengambil hikmah dalam kaidah tersebut. Wallahu a’lam.

Kegembiraan Orang yang Berpuasa

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
قَالَ رَسُوْلُ الله صلي الله عليه وسلم كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
“Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan yaitu kegembiraa ketika dia berbuka dan kegembiraan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.”“[1]
Betapa istimewanya hadits ini. Di dalamnya diterangkan amalan secara umum dan puasa secara khusus. Diuraikan pula tentang keutamaan, keistimewaan, pahala (sekarang atau kemudian hari), hikmah dan tujuan puasa. Inilah salah satu contoh betapa luas karunia dan kebaikan Allah ‘Azza wa Jalla kepada hamba-hamba-Nya yang beriman.
Allah ‘Azza wa Jalla membalas satu kesalahan dan penyimpangan dengan balasan yang sesuai dengan kesalahan itu. Sedangkan ampunan Allah ‘Azza wa Jalla lebih banyak dari padanya. Adapun kebaikan, paling sedikit, satu kebaikan dibalas sepuluh kali lipat dan akan semakin bertambah sesuai dengan sebab-sebabnya.
Hadits ini juga menerangkan hikmah pengkhususan, bahwa orang yang berpuasa ketika meninggalkan semua yang disukai oleh hawa nafsunya yang memang diciptakan dengan tabiat (watak, kebiasaan) sangat menyukainya, bahkan cenderung mendahulukannya dari apapun juga, apalagi jika hal itu merupakan kebutuhan pokok namun dia justru mengedepankan kecintaannya kepada Rabb-nya diatas kesenangan tersebut. Oleh sebab itulah Allah ‘Azza wa Jalla mengkhususkan amalan ini untuk diri-Nya dan Dia sendiri yang memberi pahala orang-orang yang berpuasa.
Ditegaskan pula bahwa puasa yang sempurna adalah ketika seseorang meninggalkan dua perkara yaitu,
Pertama, Meninggalkan semua perkara yang yang membatalkan puasa seperti makan, minum, bersetubuh dan semua yang semisalnya (dalam kategori membatalkan puasa secara dzahir).
Kedua, Meninggalkan semua yang menyebabkan berkurangnya pahala amalan itu seperti melakukan rafats (perbuatan keji), berteriak-teriak (bertengkar) dan mengerjakan atau mengucapkan kata-kata yang diharamkan, menjauhi semua bentuk kemasiatan, pertengkaran dan berbantah-bantahan yang menimbulkan permusuhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ
“Puasa itu adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa, maka janganlah mengucapkan ucapan kotor, dan jangan pula bertindak bodoh. Jika ada seseorang yang mencelanya atau mengganggunya, hendaklah mengucapkan: sesungguhnya aku sedang berpuasa.“[2]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata فَلَا يَرْفُثْ (maka janganglah berkata kotor), yakni janganlah berbicara dengan kata-kata yang buruk; وَلَا يَصْخَبْ (jangan ribut bertengkar), yaitu dengan kata-kata yang menimbulkan fitnah dan pertengkaran. Sebagaimana diterangkan dalam hadits lain, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta bahkan mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.”[3]
Maka, barangsiapa yang merealisasikan kedua hal itu, yakni meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasa dan hal-hal yang dilarang, sempurnalah pahalanya sebagai orang yang berpuasa. Sedangkan yang tidak melaksanakan hal ini, maka janganlah mencela siapapun kecuali dirinya sendiri.
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing orang yang berpuasa jika ada seseorang yang mengajaknya bertengkar atau mencacinya, hendaknya dia mengatakan kepada orang tersebut :إِنِّي صَائِمٌ (saya sedang berpuasa).
Adapun manfaatnya ialah seakan-akan dia ingin mengatakan, “Ketahuilah, bukannya saya tidak mampu menghadapi perbuatanmu, akan tetapi saya sedang berpuasa. Saya menghormati dan menjaga kesempurnaan puasa saya. Inilah yang diperintahkan Allah’Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Ketahuilah, bahwa puasa mengajakku untuk tidak mengimbangi perbuatanmu, tetapi menganjurkan aku agar bersabar. Maka, apa yang aku lakukan jauh lebih baik daripada apa yang kamu kerjakan terhadapku.”
Sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ (untuk orang yang berpuasa ada dua kegembiraan; kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Rabb-nya). Keduanya adalah pahala yang diberikan Allah ‘Azza wa Jalla yang disegerakan atau ditunda di akhirat.
Kegembiraan pertama, kegembiraannya ketika berbuka, yaitu kegembiraan dengan nikmat yang telah Allah ‘Azza wa Jalla berikan kepadanya dengan menyempurnakan puasanya. Ibadah ini termasuk amal shalih yang paling utama, namun betapa banyak orang yang terhalang dari puasa. Selain itu, ia juga bergembira dengan apa yang kembali dihalalkan Allah untuknya, berupa makanan, minuman dan persetubuhan (jima’),mengingat hal-hal tersebut sebelumnya diharamkan baginya pada saat sedang berpuasa.
Kegembiraan kedua, Kegembiraannya ketika berjumpa dengan Rabb-nya dengan keridhaan dan kemurahanNya. Ia gembira dengan membawa pahala puasanya. Ketika dia mendapatkan pahalanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’âla yang telah disediakan untuknya, ketika dikatakan kepadanya, “Mana orang-orang yang berpuasa, hendaklah dia masuk surga dari pintu Ar-Royyan, yang hanya dimasuki oleh orang-orang yang berpuasa.”
إِنَّ فِى الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ ، فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ
“Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yang bernama Ar-Royyaan. Pada hari kiamat orang-orang yang berpuasa akan masuk surga melalui pintu tersebut dan tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut kecuali mereka. Dikatakan kepada mereka,’Di mana orang-orang yang berpuasa?’ Maka orang-orang yang berpuasa pun berdiri dan tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut kecuali mereka. Jika mereka sudah masuk, pintu tersebut ditutup dan tidak ada lagi seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut.”[4]
Juga dalam ayat yang mulia ini dijelaskan mengenai balasan bagi orang yang berpuasa. Allah Ta’ala berfirman,
كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ
“(Kepada mereka dikatakan): ‘Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.’” (QS. Al Haqqah [69]: 24)
Mujahid dan selainnya mengatakan, “Ayat ini turun pada orang yang berpuasa”. Barangsiapa yang meninggalkan makan, minum, dan syahwatnya karena Allah, maka Allah akan memberi ganti dengan yang makanan dan minuman yang lebih baik.”[5]
Saudariku, apakah kita tidak ingin memasuki pintu surga Ar-Royyaan? Betapa besarnya ganjaran Allah terhadap orang-orang yang berpuasa. Dan betapa pula, hati setiap orang yang berpuasa luruh dalam kegembiraan dan kebahagiaan dengan amalan yang diistimewakan Allah ‘Azza wa Jalla untuk diriNya dan dijanjikan balasannya murni dari karunia dan kebaikanNya. Sesungguhnya, Allah ‘Azza wa Jalla Maha Memiliki karunia yang besar.
Kemudian sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ (sungguh, bau mulut orang yang berpuasa jauh lebih harum di sisi Allah Azza wa Jalla daripada bau misik (minyak wangi)). Meskipun tidak disukai orang, janganlah bersedih duhai orang yang berpuasa, sesungguhnya dia lebih harum disisi Allah ‘Azza wa Jalla daripada bau minyak kesturi (misik). Inilah hasil ibadah dan taqarrub-nya kepada Allah’Azza wa Jalla.
Kegembiraan ketiga, kita juga dapat bergembira karena puasa mampu memberikan syafaat kepada pelakunya pada hari kiamat. Diriwayatkan dari ‘Abdullan bin ‘Amrradhiallaahu ‘anhuma, bahwasanya Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
اَلصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. يَقُوْلُ الصِّيَامُ: أَيْ رَبِّ، مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِيْ فِيْهِ. وَيَقُوْلُ الْقُرْآنُ: مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِيْ فِيْهِ
“Puasa dan al-Qur’an akan memberi syafa’at kepada seorang hamba pada Hari Kiamat. Puasa berkata, ‘Wahai Rabbku, aku telah menghalanginya dari makan dan syahwatnya di siang hari, maka izinkan aku memberi syafa’at kepadanya.’ Al-Qur`an berkata, ‘Aku telah menghalanginya dari tidur di malam hari, maka izinkan aku memberi syafa’at kepadanya”.[6]
Kegembiraan keempat, kebahagiaan terhadap puasa sebagai kaffarat (pelebur) dosa-dosa. Dosa menyebabkan kecemasan dan ketakutan karena akibatnya yang buruk, manakala disediakan peleburnya, berarti kecemasan tersebut akan teratasi, pelakunya pun tenang dan berbahagia, sama halnya dengan peminum racun yang membahayakan, ketika penawarnya ditemukan, dia akan senang sekali. Nabi shallallahu ‘alahi wasallambersabda,
فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَوَلَدِهِ وَجَارِهِ تُكَفِّرُهَا الصَّلَاةُ وَالصَّوْمُ وَالصَّدَقَةُ
“Fitnah (kelalaian) seseorang pada keluarga, harta, anak, dan tetangganya dapat dilebur dengan shalat, puasa dan sedekah.”[7]
Melihat kebaikan-kebaikan puasa di atas, penulis teringat Firman Allah Ta’ala ,
وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 184).
Akhirul kalam…
والله الموفّق إلى أقوم الطريق
وصلى الله وسلم على نبينا وعلى آله وأصحابه ومن اتّبعهم بإحسان الى يوم الدين