Senin, 09 Januari 2012

Kisah Tentang "KEBIJAKSANAAN"

Pada zaman dahulu, ada seorang raja yang mempunyai anak tunggal. Anaknya itu pemberani, trampil dan cerdas. Untuk menyempurnakan pengetahuannya, sang raja mengirim puteranya kepada seorang pertapa bijaksana.

“Berikanlah pencerahan kepadaku tentang Jalan Hidupku,” ujar Sang Pangeran meminta.

“Kata-kataku akan memudar laksana jejak kakimu di atas pasir,” ujar pertapa,
“Akan saya berikan petunjuk kepadamu,
Di Jalan Hidupmu engkau akan menemukan 3 pintu. Bacalah kata-kata yang tertulis di setiap pintu dan ikutilah kata hatimu.” Sang Pertapa kemudian pergi dan menghilang.


Pangeran lalu melanjutkan perjalanannya. Tak lama kemudian ia menemukan sebuah pintu besar yang di atasnya tertulis kata:
“UBAHLAH DIRIMU.”

“Jika memang diriku sendiri lah sumber dari segala masalahku, disanalah aku harus mengubahnya,”  ia berkata kepada dirinya sendiri.

Ia pun memulai pertarungannya yang pertama. Ia mencoba mengubah karakternya sendiri, melawan ketidak sempurnaannya, menghilangkan kelemahannya, mengubah segala hal yg tidak ia sukai dari dirinya yang tidak sesuai dengan gambaran ideal.

Tahun demi tahun ia berusaha, sebagian ia berhasil, sebagian lagi gagal dan ada hambatan, lalu Pangeran bertemu kembali dengan Sang Pertapa.

“Apa yang engkau pelajari?”  tanya sang petapa

“Aku belajar bahwa ada hal-hal di dalam diriku yang bisa ditingkatkan dan ada yang tidak bisa saya ubah.” jawab pangeran

“Itu bagus,” usai berujar demikian sang Pertapa menghilang.

Tak lama kemudian, Sang Pangeran tiba di Pintu Kedua yang bertuliskan
 “UBAHLAH SESAMAMU.”

“Ini memang keinginanku,” pikirnya.
“Orang-orang di sekitarku adalah sumber kesenangan, kebahagiaan, namun mereka juga yang mendatangkan derita, kepahitan dan frustrasi.”

Kemudian ia mencoba mengubah semua orang yang tak disukainya. Ia mencoba mengubah karakter mereka dan menghilangkan kelemahan mereka.

Ini adalah pertarungannya yang kedua.
Tahun-tahun berlalu, kembali ia bertemu dengan Sang Pertapa.

“Apa yang engkau pelajari kali ini?” tanya sang petapa

“Saya belajar, bahwa mereka bukanlah sumber dari kegembiraan atau kedukaanku, keberhasilan atau kegagalanku. Mereka hanya memberikan kesempatan agar hal-hal tersebut dapat muncul. Sebenarnya di dalam dirikulah segala hal tersebut berakar.” jawab pangeran

“Engkau benar,” Kata Sang Pertapa,

“Apa yang mereka bangkitkan dari dirimu, sebenarnya adalah dalam rangka mengenalkan engkau kepada dirimu sendiri.
Berterima kasihlah kepada mereka yang telah membuatmu senang dan bahagia; berterima kasih pulalah kepada mereka yang menyebabkan derita dan frustrasi. Karena melalui mereka lah, kehidupan mengajarkanmu apa yang perlu engkau kuasai dan jalan apa yang harus kau tempuh.” ujar sang petapa

Setelah itu, kembali Sang Pertapa menghilang.

Pangeran berjalan lagi, sampai ke pintu ketiga; di sana ia melihat tulisan:
“UBAHLAH DUNIA.”

“Ini memang yang kuinginkan,” pikir sang Pangeran,
“Karena di dunia ini ada hal-hal yang aku sukai dan ada pula hal-hal yang tak kusukai. Aku akan mengubahnya agar sesuai keinginanku.”

Maka ia memulai pertarungannya yang ketiga, yaitu mengubah dunia. Ambisi, cita-cita dan kekuatannya membantunya dalam usaha menaklukkan dunia agar sesuai hasratnya. Ia mendapatkan banyak kesenangan dalam usahanya, namun hatinya tidak merasa damai. Walau sebagian berhasil diubahnya tetapi sebagian lainnya menentangnya.
Tahun demi tahun berlalu.
Suatu hari, ia bertemu kembali dengan sang pertapa.

“Kini, Apa yang engkau pelajari dari Jalanmu ?” tanya sang Pertapa.

“Aku belajar bagaimana membedakan apa yang dapat kulakukan dengan kekuatanku dan apa yang di luar kemampuanku; apa yang tergantung padaku dan apa yang tidak tergantung padaku,” jawab Pangeran.

“Bagus! Gunakan kekuatanmu sesuai kemampuanmu. Lupakan apa yang di luar kekuatanmu, apa yang engkau tak sanggup mengubahnya,” ujar sang Pertapa

“Ya,” kata Sang Pangeran,
“Tetapi aku mulai lelah bertarung melawan diriku sendiri, melawan setiap orang dan melawan dunia.
Tidakkah ada akhir dari semuai ini?
Kapan saya bisa tenang?
Saya ingin berhenti bertarung, ingin menyerah, ingin meninggalkan semua ini!”

“Itu adalah pelajaranmu berikutnya,” ujar Sang Pertapa.
"Tetapi sebelum itu, balikkan punggungmu dan lihatlah Jalan yang telah engkau tempuh.” Setelah berkata demikian, ia pun menghilang.


Ketika melihat ke belakang, Sang Pangeran memandang Pintu Ketiga dari kejauhan dan melihat adanya tulisan di bagian belakangnya yang berbunyi:

“TERIMALAH DIRIMU.”

Pangeran terkejut karena tidak melihat tulisan ini ketika melalui pintu tersebut.

“Ketika seorang mulai bertarung, maka ia mulai menjadi buta,” katanya kepada dirinya sendiri.

Ia juga melihat, bertebaran di atas tanah, semua yang ia campakkan: kekurangannya, bayangannya, ketakutannya. Ia mulai menyadari bagaimana mengenali mereka, menerimanya dan mencintainya apa adanya.

Ia belajar mencintai dirinya sendiri dan tidak lagi membandingkan dirinya dengan orang lain, tanpa mengadili, tanpa mencerca dirinya sendiri.

Ia bertemu kembali dengan Sang Pertapa, dan berkata, “Aku belajar, bahwa membenci dan menolak sebagian dari diriku sendiri sama saja dengan mengutuk untuk tidak pernah berdamai dengan diri sendiri. Aku belajar untuk menerima diriku seutuhnya, secara total dan tanpa syarat.”

“Bagus, itu adalah Pintu Pertama Kebijaksanaan,” ujar Pertapa.
“Sekarang engkau boleh kembali ke Pintu Kedua.”

Segera ia mencapai Pintu Kedua, dan membaca yang tertulis di sisi belakangnya:
“TERIMALAH SESAMAMU.”

Ia bisa melihat orang-orang di sekitarnya, mereka yang ia suka dan cintai, serta mereka yang ia benci. Mereka yang mendukungnya, juga mereka yang melawannya.

Tetapi yang mengherankannya, ia tidak lagi bisa melihat ketidaksempurnaan mereka, kekurangan mereka. Apa yang sebelumnya membuat ia malu dan berusaha mengubahnya.

Ia bertemu Sang Pertapa kembali,
“Aku belajar,” ujarnya,
“Bahwa berdamai dengan diriku, aku tak punya sesuatupun untuk dipersalahkan kepada orang lain; tak sesuatupun yg perlu ditakutkan dari merela. Aku belajar untuk menerima dan mencintai mereka, apa adanya.”

“Itu adalah Pintu Kedua Kebijaksanaan,” ujar sang Pertapa,
“Sekarang pergilah ke Pintu Pertama.”

Sang Pangeran menemukan tulisan di belakang Pintu Pertama:
“TERIMALAH DUNIA.”

“Sungguh aneh,” ujarnya pada dirinya sendiri,
“Mengapa saya tidak melihatnya sebelumnya.”   Ia melihat sekitarnya dan mengenali dunia yang sebelumnya berusaha ia taklukkan dan ubah.

Sekarang ia terpesona dengan betapa cerah dan indahnya dunia. Dengan segala kesempurnaannya.
Namun, ini adalah dunia yang sama.
Apakah memang dunia yang berubah atau cara pandangnya yang berubah?

Kembali ia bertemu dengan Sang Pertapa yang menyodorkan pertanyaan menyengat, “Apa yang engkau pelajari sekarang?”

“Aku belajar bahwa dunia sebenarnya adalah cermin dari jiwaku. Bahwa jiwaku tidak melihat dunia melainkan melihat dirinya sendiri di dalam dunia.
Ketika jiwaku senang, maka dunia pun menjadi tempat yang menyenangkan.
Ketika jiwaku muram, maka dunia pun kelihatannya muram.
Dunia sendiri, tidaklah menyenangkan atau muram.
Ia ADA, itu saja. 
Bukanlah dunia yang membuatku terganggu, melainkan ide yang aku lihat mengenainya.
Aku belajar untuk menerimanya tanpa menghakimi, menerima seutuhnya, tanpa syarat.”

“Itu Pintu Ketiga Kebijaksanaan,” ujar Sang Pertapa,
“Sekarang engkau berdamai dengan dirimu, sesamamu dan dunia.” Sang Pertapa kemudian menghilang untuk selamanya.

Sang Pangeran merasakan aliran yang menyejukkan dari kedamaian, ketentraman yang berlimpah merasuki dirinya. Ia merasa hening dan damai.

********** Semoga bermanfaat dan Dapat Diambil Hikmah-Nya ... *************