Wajar
jika posisi ibu begitu tinggi dan mulia. Hingga taat padanya berada
pada urutan ketiga setelah Allah dan Rasul-Nya. Itu lantaran kasih
sayang dan pengorbanan sang ibu kadang jauh di luar nalar manusia. Walau
harus dibayar dengan selembar nyawanya. Yah, kasih sayang itulah yang
kemudian mengubah kita menjadi seorang manusia berguna. Olehnya, tidak
heran jika Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam memberi kemuliaan bagi
ibu itu tiga kali lipat ketimbang bapak.
Seorang bertanya kepada Nabi,
kepada siapa aku harus berbakti?,
beliau menjawab, “ibumu, ibumu, ibumu,
kemudian bapakmu… “.
Kisah-kisah heroik tentang kasih sayang
seorang ibu begitu banyak berserakan dalam lipatan sejarah. Keluh lisan
para pujangga mendendangkan syair-syair kasih ibu. Pernah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi seorang ibu miskin beserta dua
orang putrinya. Masing-masing oleh Nabi diberi sebiji kurma. Layaknya
anak-anak lainnya, kurma itu langsung dilahap oleh keduanya. Setelah
itu, tatapan mereka tertuju pada satu arah. Kurma yang berada di tangan
sang ibu. Menyaksikan tatapan kedua putrinya itu, ia tersenyum.
Membelahnya menjadi dua bagian, lalu memberikan pada kedua putrinya.
Padahal ia sangat lapar dan butuh. Sampai-sampai Rasulullah terharu.
Lalu menyuruh memberikan kurma yang lain padanya…Masih banyak lagi.
Termasuk kisah nyata ini. Kisah seorang ibu bermata satu. Semoga menjadi
inspirasi bagi kita. Agar terus bersyukur atas nikmat keberadaan orang
tua di sisi kita. Sebab ia akan disadari tatkala keduanya telah tiada..
***
Ibuku seorang wanita bermata satu. Entahlah, kadang dalam hati aku
berontak dan protes. Mengapa Tuhan memberiku seorang ibu bermata satu.
Tidak seperti teman-temanku. Ibu mereka begitu anggun dengan mata
jelita. Lama kelamaan, aku begitu benci padanya. Karenanya hidupku
dihimpit rasa malu dan cibiran teman-teman. Apalagi, ibuku hanya seorang
tukang masak di sekolah tempat aku belajar. Memang sejak dulu aku tidak
mengenal ayahku. Aku pun tidak tahu sebab musababnya. Ia dipanggil Sang
Khalik saat aku masih kecil sekali. Jadi untuk menghidupiku, ibu harus
bekerja sebagai tukang masak. Hmm, tukang masak yang sangat membuatku
minder dan malu terhadap teman-teman. Ada satu peristiwa yang tidak
dapat aku lupakan. Dan itu pula yang menyulut api kebencianku padanya.
Suatu hari, saat aku masih duduk di madradah ibtidaiyyah, teman-teman
sekelas mengejek diriku, hingga aku menangis. Tak kuasa menyaksikan
anaknya menjadi bulan-bulanan ejekan, ibuku bergegas datang
menghampiriku. Memelukku dan mengusir anak-anak yang mengerubutiku.
Perbuatan ibuku itu justru membuatku semakin malu. Mengapa ia melakukan
hal itu di hadapan teman-temanku? Mengapa ia harus muncul dan
menjadikanku bahan tertawaan mereka?
Akan tetapi, aku
berpura-pura tidak mengenalnya. Lalu menatap tajam ke arahnya dengan
penuh kebencian! Namun ibuku hanya diam dan tidak menjawab. Yang aku
khawatirkan pun terjadi. Keesokkan harinya salah seorang murid berseru
lantang, “Ooh, itukah ibumu yang hanya memiliki satu mata!??”. Seruan
itu pun disambut gelak tawa dan ejekan teman-temanku. Sungguh memalukan.
Dendam kesumat terhadap ibu yang menjadi sebab aku diolok-olok semakin
membara.Mulai saat itu aku sangat ingin mengubur ibuku hidup-hidup. Atau
mengusirnya jauh dari kehidupanku.
Pernah suatu hari aku
datang menghadapnya. Menatap tajam seraya membentak: “Engkau telah
menjadikan aku bahan tertawaan. Mengapa engkau tidak segera mati
saja??!! Akan tetapi, sekali lagi ia hanya diam dan tidak menjawab.
Nampak pancaran kasih sayang dari keteduhan pandangannya. Saat itu aku
tidak lagi berpikir sehat tentang apa yang aku katakan padanya. Aku
tidak ragu akan keberanianku itu. Dan aku pun tidak mau tahu bagaimana
perasaannya saat itu. Bahkan, ingin sekali aku pergi sejauh-jauhnya agar
tidak melihat wajah ibuku.Tahun bergulir bersama kebencian hatiku
terhadap ibu. Tak terasa aku telah menyelesaikan tingkat aliyah, dan
mendapat beasiswa kuliah di Singapura. Begitu girang hatiku menyambut
hal itu. Aku bisa menjauh dari ibu yang membuatku selalu merasa malu dan
minder. Karena ibuku hanya seorang wanita miskin bermata satu. Tidak
ada yang dapat dibanggakan darinya. Segera aku pun bertolak menuju
Singapura dibawah tatapan berat ibuku. Memulai hari-hari kuliah di sana.
Tak ada lagi ejekan dan hinaan orang-orang terhadapku…
Setelah
tamat kuliah dan bekerja, aku menikah dengan seorang wanita Singapura
dan membeli rumah di sana. Dari hasil perkawinan kami, lahirlah
anak-anak yang lucu. Sungguh kehidupanku kini begitu tenang dan bahagia.
Suatu hari, tiba-tiba wanita bermata satu itu datang ke rumahku.
Alasannya, ia begitu rindu terhadapku dan juga kepada cucu-cucunya.
Sebab, jujur, sejak menginjak Singapura aku tidak pernah lagi pulang
menjenguknya. Komunikasi kami hanya sebatas surat menyurat. Itu saja.
Aku sengaja berdiri di depan pintu.
Anak-anakku mulai tertawa dan
mengejek wanita itu. “Mengapa engkau begitu berani datang dan membuat
anak-anakku ketakutan??! Keluar dan pergi saat ini juga… “. Bentakku.
Tenang ia menjawab: “Maaf, kayaknya saya salah alamat”. Lalu ia
berpaling setelah sempat tersenyum padaku dan anak-anakku.
Beberapa hari berselang, datang undangan dari sekolah, untuk acara temu
alumni madarsah aliyah tempatku belajar dahulu. Itu artinya, aku akan
bertemu ibu juga. Aku pun harus berbohong pada istriku. Bahwa
kepergianku ini untuk urusan pekerjaan. Bukan untuk menghadiri temu
alumni tersebut. Setelah acara pertemuan selesai, aku bergegas menuju
rumah ibuku, sekedar melihat dan mengetahui keadaannya. Rumah itu masih
seperti dulu. Tidak ada perubahan. Cuma di sana sini nampak kayu-kayu
usang dimakan rayap. Aku mendorong pintu dan masuk. Namun rumah tua itu
kosong. Senyap. Tak ada siapa pun di dalamnya. Seluruh barang-barang
milikku waktu kecil masih tertata rapi. Bahkan mainan hasil rautan
tangan ibuku pun masih ada dipojok sana. Tapi aneh. Mengapa rumah ini
sunyi? Dimanakah ibu? Setelah berkeliling sejenak, tiba-tiba seorang
masuk. Ia adalah tetangga sebelah rumah. Lama ia menatapku. Setelah
yakin apa yang dilihat, ia pun berujar, “Ibumu telah meninggal kemarin
sore…”. Anehnya, tak ada setetes air mata pun yang menitik..!!
***
Tanah kuburan itu masih merah. Angin bertiup lembut mengelus lembut
wajahku. Aku berdiri sejenak, hanya untuk “berpamitan” pulang. Walau
sebenarnya ada secuil sedih kehilangan wanita itu. Sebuah tangan
menyentuh pundakku dari belakang. Ternyata ia adalah tetangga sebelah
rumah yang tadi mengabarkan kepergiaan ibuku. “Ibumu tidak meninggalkan
apa-apa nak. Ia hanya berpesan, jika engkau datang agar diberikan surat
ini padamu”. Ujar laki-laki paruh baya itu seraya menyodorkan sebuah
surat lusuh.
Aku membuka dan membaca isinya: “Anakku tercinta,
sungguh hati ini begitu berat menanggung rindu padamu. Pikiranku begitu
kacau memikirkan keadaanmu. Ibu minta maaf atas kunjungan ibu dahulu ke
Singapura yang membuat anak-anakmu takut. Yang ibu lakukan itu hanya
lantaran begitu rindu padamu. Sungguh, ibu begitu bahagia mendengar
bahwa engkau akan datang menghadiri reuni sekolah itu. Akan tetapi ibu
minta maaf, ibu tidak bisa lagi bangkit dari tempat tidur untuk
melihatmu wahai anakku. Oh ya, ibu juga ingin minta maaf
sedalam-dalamnya jika selama ini ibu membuatmu malu dan minder. Sungguh,
berjuta-juta maaf ibu haturkan padamu. Tahukah engkau wahai anakku…
waktu engkau masih kecil dulu, terjadi kecelakaan yang merenggut nyawa
ayahmu dan merampas salah satu matamu?? Sebagai seorang ibu, aku tidak
tega melihatmu besar hanya dengan satu mata. Karenanya, … ibu berikan
engkau salah satu mata ibu. Sungguh ibu sangat bahagia dan bangga, sebab
engkau tumbuh dewasa dengan mata normal dan dapat menyaksikan dunia ini
dengan kedua matamu… Cintaku selalu untukmu…ibumu..!.
Secarik
kertas yang telah basah dengan air mataku itu terasa berat. Berat
sekali. Lututku goyah dan lemas. Aku jatuh berlutut di hadapan pusara
yang masih merah itu. Seumur hidupku, baru kali ini aku menangis dan
merasa kehilangan ibu. Dadaku sesak menanggung beban penyesalan yang
sangat. Namun semua sudah terlambat. Penyesalanku ibarat buih yang
hancur berkeping terbentur karang yang kokoh…