"Suatu hari aku ingin mengajarkan kepada Habibi putra semata wayangku
yang baru duduk dikelas 3 SD untuk mengatur uang jajannya. Habibi
kuberi uang Rp 35.000 perminggu. Biasanya uang tersebut kuberikan setiap
hari sebelum berangkat sekolah.
Pada jum'at pagi aku dan
Habibi hendak jalan-jalan ke alun-alun untuk menikmati liburan, karena
anakku sekolah di SD Islam liburnya hari jum'at dan akhirnya aku juga
menyesuaikan libur kerja hari jum'at. Sebelum berangkat, tak lupa aku
memberikan uang jajan mingguan Habibi dengan tiga lembar uang Rp 10.000
satu lembar Rp 5000. Dan uang tersebut disimpan rapi dalam saku
celananya.
Ditengah keasikanku dan Habibi menikmati keramaian
alun2 , tiba-tiba kami dikejutkan dengan kedatangan seorang kakek
pengemis yang telah tua renta sambil memelas dan matanya juga buta.
Tak
tega melihat sang kakek tua memelas, Habibi dengan sigap langsung
mengeluarkan 3 lembar uang 10.000,- dan 1 lembar uang 5.000,- dari saku
celana dan diberikan seluruhnya.
Kontan saja kakek
pengemis ini terlihat sangat senang seraya mengucapkan rasa syukur dan
terima kasih yang tak terkira kepada Habibi dan aku .
Setelah si kakek tua berlalu, kemudian aku bertanya;
“Sayang,
kenapa kamu berikan semua uangmu untuk kakek itu?
Bukankah satu lembar
saja sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya hingga nanti malam?”
“Mama...kalau
kakek tua itu ikhlas menerima yang sedikit maka aku ikhlas untuk
memberikan yang lebih besar!” Jawab Habibi dengan wajah tersenyum..
“Tek!!!” Hatiku langsung tersentak kaget mendengar jawaban tersebut.
“Nah, terus uang jajanmu untuk seminggu ke depan bagaimana?” Tanyaku mencoba menguji.
“Kan
aku masih punya mama dan ayah..!
Tidak seperti kakek tua itu yang mungkin
hanya hidup sebatangkara di dunia ini.” Balas anaknya.
“Kenapa kamu begitu yakin kalo mama dan ayah akan mengganti uang jajanmu?
Mama nggak janji loh?” Kembali aku mengujinya.
“Kalo
mama merasa bahwa aku adalah amanah dari Allah yang dititipkan kepada
mama dan ayah, maka aku sangat yakin mama dan ayah tak akan membiarkan
aku kelaparan seperti kakek tua itu..” Jawab Habibi sambil berlari memainkan bolanya.
Seakan aku tak percaya
dengan jawaban dari Habibi hingga aku kehabisan kata-kata. Aku tak
menyangka jawaban seperti itu keluar dari seorang bocah kelas 3 SD. Aku
seperti sedang berhadapan dengan seorang yang lebih tua dari aku dan aku
tak bernilai apa-apa ketika berada dihadapannya.
Lalu ku kejar Habibi dan kupeluk erat sambil ku ciumi...
“Sayang…mama
dan ayah janji akan selalu menjaga dan merawatmu hingga Allah tetapkan
batas umur ini. Mama sangat sayang padamu..” Sambil kedua mataku
berkaca-kaca seolah tak kuat menahan tangis ini...
Sambil memandang dan menciumi pipiku,
“Mama
tak perlu berkata seperti itu. Sejak dulu aku sudah tahu bahwa mama dan
ayah sangat mencintai dan menyayangiku. Kelak jika aku sudah dewasa aku
akan selalu menjaga mama dan ayah, dan aku tidak akan membiarkan mama
dan ayah hidup dijalan seperti kakek tua itu…”
Dan
air mataku tak terbendung lagi tangis ini mendengar jawaban tulus dari
Habibi. Semakin ku dekap erat tubuh Habibi . Seperti kebiasaanku aku
tidak suka melihat Habibi menangis...biasanya kusuruh dia menangis
sambil tersenyum...kali ini Habibi yang memintaku begitu. Ya Allah...Ya
Rabb...semoga aku bisa menjaga amanahmu ini.
Sekelumit kisahku ini semoga mengajarkan kita tentang Keikhlasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar