Karya: Almarhumah Miftahul Mujahidah Al-Banjari
Aku
tertegun ketika melihat sosok dengan wajah pucat dan disumpal dengan
kapas pada mulut, hidung, dan telinganya. Yang terbujur kaku dihadapanku.
Diselimuti dengan kain berlapis.
Dia begitu mirip denganku. Di sekelilingnya orang-orang terisak sambil membacakan surat Yaasin untuknya.
Seorang
perempuan yang mirip ibuku menangis tersedu-sedu ketika membuka kain
penutup mukanya. Lalu dua perempuan lain yang sebaya dengannya
menenangkan dia.
Dan di sekitar rumahnya ada orang-orang
yang menyesali kematiannya yang dianggap begitu cepat. Ada orang yang
tidak percaya kalau dia telah wafat.
Ada orang yang merasa kasihan pada dia dan keluarga yang ditinggalkannya.
Suasana disitu begitu riuh oleh isak para pelayat. Di teras rumahnya seorang bapak menahan tangis lirih air matanya.
Dia mencoba terlihat tegar meski sebenarnya hatinya begitu lemah untuk menerima kenyataan yang ada.
Disampingnya seorang temannya mencoba menemaninya, dan hal itu agak meringankan kesedihannya.
Dia
masih ingat, ketika dulu anaknya yang masih TK memenangkan lomba
menggambar tingkat provinsi dan tentang cita-cita anaknya yang ingin
menjadi presiden, dia begitu bangga.
Betapa anaknya itu
akan tumbuh menjadi sosok yang sangat luar biasa. Tak pernah dia berpikir
kalau semua itu akan pupus pada usia anaknya yang masih 18 tahun. Sungguh
tragis.
Tiba-tiba, sesuatu yang aneh bergerak dalam kepalaku. Ada
sesuatu. Ini seperti rumahku. Hey !! Aku ingat, Aku kenal orang-orang
ini. Perempuan yang menangis ketika membuka kain penutup
muka itu adalah ibuku, dan bapak itu, itu adalah bapakku. Dan jasad yang
terbaring itu, itu jasadku. Aku bingung. Benar-benar bingung. Aku sudah
mati?
Tidak! Ini pasti mimpi. Yah, ini pasti mimpi. Lalu
tiba-tiba aku merasa panas pada tubuhku. Sangat panas, lalu kemudian
perlahan-lahan mulai sejuk.
Seketika itu muncul sesosok
laki-laki bercahaya dan berwajah tampan yang mengenakan jubah putih
serta sorban yang juga berwarna putih di kepalanya. Dia menghampiri
diriku.
“siapa gerangan tuan?” tanyaku kebingungan.
“aku adalah amalmu yang akan menemanimu dalam kuburmu.” jawabnya, lalu ia tersenyum padaku.
Aku
masih bingung.Lalu di halaman rumahnya, terdapat sebuah pagar kain yang
berbentuk segi empat 3x3 meter, sepertinya itu adalah tempat bekas untuk
memandikan jasadku. Tanahnya masih basah. Didalamnya masih terdapat
sebuah altar yang beralaskan gedebong pisang. Aroma sabun masih menyengat
di dalamnya. Di situlah jasadku dimandikan, di wudhukan sampai bersih
dari segala najis dan kotoran. Semakin banyak orang yang berdatangan
mengucapkan belasungkawa.
Ada yang hanya melihat saja, ada
yang ikut sibuk mempersiapkan kain kafan dan lain-lain. Semua perabot di
ruang tamu dikeluarkan. Lalu tak berselang lama, enam orang pria dengan
tubuh kekar datang sambil memanggul sebuah keranda mayat. Orang-orang
yang menghalangi jalan segera minggir. Lalu keranda itu diletakkan
dipinggir jasadku.
Setelah semua selesai membaca surat
Yaasin untukku, jasadku dikafani dan diletakkan pada keranda itu, kemudian
orang-orang yang kukenal yang adalah tetanggaku, mengangkat keranda itu
dan membawanya ke masjid terdekat dengan rumahku untuk dishalati. Di
belakang para pengangkat keranda itu ada sepupuku, hafid, dia memegang
payung hitam yang gagangnya disambung dengan tongkat yang biasa
digunakan untuk kegiatan Pramuka. Setelah dishalati, seorang kyai yang
masih ada hubungan darah dengan bapakku mulai berdo'a dan berpidato
meminta keikhlasan dari orang-orang yang kukenal.
“…. barang kali
almarhum punya sangkutan mohon diikhlaskan. Bagi yang sangkutannya cukup
besar dan tidak ikhlas jika merelakannya silahkan ungkapkan saja
sekarang, agar almarhum merasa ringan di alam sana.”
Setelahnya,
keranda yang berisi jasadku itu diantar menuju pekuburan terdekat. Di
sana sudah disiapkan liang kubur untuk jasadku dengan ukuran sekitar
2x1,5 meter dan kedalaman sekitar 2 meter. Iring-iringan orang yang
mengantar kepergianku begitu banyak. Sampai ada yang tidak aku kenal
sama sekali.
Dan diantara orang-orang itu ada teman-temanku yang ikut mengantar jasadku.
Dan
hampir semua teman-teman perempuanku menangis, diantaranya adalah gadis
yang sangat aku cintai. Yah, dialah pujaan hatiku, Fatimah az-Zahra.
Namanya mirip dengan putri Rasulullah, dan dia begitu cantik.
Dialah satu-satunya gadis yang ada di dalam hatiku.
Meski
aku tidak pernah mengungkapkan cintaku padanya secara terang-terangan,
tapi dia tahu aku sangat mencintainya. Dan akupun tahu dia juga
mencintaiku. Dan sungguh sangat ironis melihat cinta kami terpisahkan
oleh maut. Sampai disana, jasadku dikeluarkan dari keranda, dan di dalam
liang kubur itu sudah bersiap-siap orang-orang yang akan menerima
jasadku untuk mereka letakkan di tempat peristirahatan terakhirku.
Dan
setelah do'a dan adzan dikumandangkan, secara perlahan tanah kuburan itu
diletakkan pada jasadku, sampai akirnya tenggelamlah jasadku di tanah
itu. Jasadku terkubur disitu. Kemudian pak kyai membacakan doa lagi
untukku. Dan orang-orang mulai beranjak pergi meninggalkan kuburku.
Satu per satu mereka pergi.
Mulai
dari orang-orang yang tidak aku kenal, para tetangga, teman-temanku, juga Fatimah az-Zahra, keluarga dekatku, dan disitu hanya tersisa ibu
dan bapakku.
Ibuku masih terisak-isak, sedangkan bapakku mencoba tegar
dan menenangkan ibuku. Ingin rasanya aku memanggil mereka berdua, tapi
itu sia-sia.
Akhirnya sepi, tempat itu menjadi sepi. Hanya
gundukan tanah yang masih basah yang dimana jasadku bersemayam
didalamnya. Kini aku sudah mati. Mungkin untuk beberapa hari aku masih
diingat dan masih banyak orang yang berkunjung ke rumahku, tapi itu tidak
akan lama. Pasti aku akan dilupakan. Aku tahu itu. Waktulah yang akan
menjawabnya. Selamat jalan untuk diriku yang telah wafat. Selamat tinggal
untuk kedua orang tuaku, keluarga besarku, teman-temanku,
guru-guruku, tetanggaku, dan selamat tinggal Fatimah az-Zahra gadis
impianku. Semoga kau temukan pendamping hidup yang setia seperti Ali bin
Abi Thalib. Aku mencintaimu, aku mencintai kalian semua. Innalillahi wa
inna illahi roji'un………….
Allah SWT telah berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Setiap
yang berjiwa pasti akan merasakan mati, dan Kami menguji kalian dengan
kejelekan dan kebaikan sebagai satu fitnah (ujian), dan hanya kepada
Kami lah kalian akan dikembalikan.” (Al-Anbiya`: 35)
فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ
“Maka
apabila telah tiba ajal mereka (waktu yang telah ditentukan), tidaklah
mereka dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula mereka
dapat mendahulukannya.” (An-Nahl: 61)
وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan kematian seseorang apabila telah datang ajal/waktunya.” (Al-Munafiqun: 11)
Wahai
betapa meruginya seseorang yang berjalan menuju alam keabadian tanpa
membawa bekal. Janganlah engkau, wahai jiwa, termasuk yang tak beruntung
tersebut. Perhatikanlah peringatan Rabbmu:
وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ
“Dan hendaklah setiap jiwa memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (Al-Hasyr: 18)
Al-Hafizh
Ibnu Katsir rahimahullahu menjelaskan ayat di atas dengan menyatakan,
“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan lihatlah amal shalih
apa yang telah kalian tabung untuk diri kalian sebagai bekal di hari
kebangkitan dan hari diperhadapkannya kalian kepada Rabb kalian.”
(Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 1388)
Janganlah engkau menjadi orang yang menyesal kala kematian telah datang karena tiada berbekal, lalu engkau berharap penangguhan.
وَأَنْفِقُوا
مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ
فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلاَ أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ
وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ
“Dan infakkanlah sebagian dari
apa yang telah Kami berikan kepada kalian sebelum datang kematian
kepada salah seorang di antara kalian, lalu ia berkata, ‘Wahai Rabbku,
mengapa Engkau tidak menangguhkan kematianku sampai waktu yang dekat
hingga aku mendapat kesempatan untuk bersedekah dan aku termasuk
orang-orang yang shalih?’.” (Al-Munafiqun: 10)
Karenanya, berbekallah! Persiapkan amal shalih dan jauhi kedurhakaan kepada-Nya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar