Motor yang saya tumpangi merambat pelan di tepi jalan Pasar Ciputat,
Tangerang, Banten. Waktu menunjukkan hampir pukul dua belas malam ketika
sorot lampu motor saya menembak seraut wajah mematung berdiri hanya
beberapa meter di depan. Matanya terpejam, padahal ia dalam keadaan
berdiri, sementara di pundaknya menyangkut sehelai tali yang tersambung
ke sebuah kotak seukuran kardus air mineral.
Yanto nama
pemuda itu, ia salah satu dari belasan penjual rokok ketengan di Pasar
Ciputat. Beberapa detik kemudian, tak sengaja jari tangan kiri ini
menekan klakson motor, dan... Yanto pun terkaget. Saya merasa bersalah
telah membangunkannya dari 'mimpi'. Boleh jadi, saat tertidur dalam
keadaan berdiri itu ia tengah bermimpi melayani serbuan pembeli rokok
hingga barang dagangannya malam itu habis terjual. Atau bahkan, ia
sedang menikmati indahnya menjadi juragan rokok di kampungnya. Tetapi
bunyi klakson saya barusan membuyarkan mimpi indahnya.
“Maaf
mas,…” Saya jadi kikuk sendirian merasa bersalah telah mengagetkannya.
Akhirnya saya menghampirinya untuk membeli beberapa butir permen.
“Rokoknya nggak mas?” tanya Yanto berharap.
Saya harus meminta maaf
untuk kedua kali lantaran memupuskan harapannya, lantaran saya tidak
merokok.
“Kalau permen untungnya kecil pak, lagi pula permen ya cuma
pelengkap saja. Siapa tahu ketemu pelanggan seperti bapak yang tidak
merokok,” jelasnya.
Saya tertarik dengan keterangannya
tentang ‘untung yang kecil’ dari jualan permen. Tapi bukan untung permen
yang saya tanya, melainkan untung dari jualan rokoknya. “Seribu, paling
besar seribu lima ratus untuk sebungkus rokok,” terangnya.
Padahal,
sering terlihat para pedagang rokok ketengan itu menjual rokoknya tidak
bungkusan, melainkan ketengan lantaran pembeli rokok mereka pun bukan
dari kalangan menengah ke atas. Pelanggannya biasanya membeli rokok satu
atau dua batang saja, dan tak jarang untuk meladeni pembeli dua batang
rokok itu harus sambil berlari mengejar angkot atau bis yang melaju.
Pernah
satu kali saya melihat seorang pedagang rokok terjatuh saat mengejar
angkutan umum, padahal ia hanya melayani seorang pelanggan yang hanya
membeli sebatang rokok.
Berapa sih untungnya?
Kalau sebungkus rokok isi
24 hanya seribu rupiah, berapa untung dari sebatang rokok?
Itu harus
dibayar mahal tatkala ia tersungkur di jalan raya, hingga semua rokok
dagangannya berantakan. Sebagian masih diselamatkan, tapi jauh lebih
banyak yang patah dan tak bisa terjual lagi.
Yanto,
seorang pedagang rokok ketengan di pinggir jalan kecewa karena saya
hanya membeli permen lantaran untung yang didapat dari menjual permen
itu kecil. Jika demikian asumsinya menjual rokok itu untungnya besar.
Tetapi nyatanya, ‘besar’ yang dimaksud hanyalah seribu atau seribu lima
ratus rupiah untuk sebungkus rokok?
“Berapa bungkus rokok terjual setiap malam?”
Yanto
sumringah, senyumnya tak menampakkan satu pun masalah dengan jumlah
rokok yang berhasil dijualnya setiap malam. “Alhamdulillah pak, sekitar
sepuluh sampai lima belas bungkus”, kembali ia menutup kalimatnya dengan
senyum.
Seketika hati ini berteriak keras, “Hey, dia
begitu bahagia!”, padahal hanya sekitar sepuluh ribu atau dua puluh ribu
yang dibawanya pulang untuk makan anak dan isterinya. Tetapi aura
kesyukuran atas rezeki yang didapatkan hari itu yang membuatnya tetap
tersenyum. Bandingkan dengan kita, kadang masih terkecut setiap kali
menerima transferan gaji di rekening dan berujar, “Gaji segini, mana
cukup?”
Yanto dan belasan pedagang rokok ketengan
lainnya, setia menemani malam hingga pagi menjelang, hanya untuk
mendapatkan sepuluh ribu rupiah. Namun wajah dan senyumnya menyiratkan
rasa syukur yang tak bertepi atas nikmat dan rezeki yang masih bisa
didapatnya.
Ternyata benar, kebahagiaan tak mengenal status. Sebab
kebahagiaan bukan terletak pada apa yang dimiliki seseorang, melainkan
tertanam jauh di dalam hati orang-orang yang senantiasa bersyukur atas
yang diperolehnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar