Dadang, 33 tahun, seorang buruh pabrik di Bandung, Jawa Barat.
Sebagai buruh pabrik hanya hanya lulusan SLTA, gaji yang diterimanya pun
pas-pasan. “Hanya bertahan di sepekan pertama setelah gajian,”
terangnya tentang seberapa cukup gaji yang diterimanya untuk menopang
hidup.
Hari-hari selanjutnya setelah pekan pertama itu, ia jalani dengan
penuh keprihatinan. Beruntung ia masih memiliki sepeda untuk ke tempat
kerjanya, sementara isterinya mencari penghasilan tambahan dengan
mencuci pakaian tetangganya.
Namun, keterbatasan dan
kekurangan tak pernah menyurutkan niatnya untuk bisa berqurban. “Malu
saya jika setiap tahun hanya menjadi penerima daging qurban. Saya kira
jauh lebih nikmat jika kita sendiri yang berqurban,” semangatnya tak
pernah padam jika bicara tentang dua impiannya, berqurban dan pergi ke
tanah suci.
Tetapi menurutnya, tahap pertama dan yang paling mungkin ia
lakukan adalah berqurban.
Ternyata, berqurban bagi
seorang Dadang bukanlah hal mudah. Tahun 1991, ketika baru lulus SLTA
dan mendapatkan pekerjaan, ia langsung bertekad, “Saya ingin berhaji
suatu saat, semoga cita-cita yang terkabul,” sembari menambahkan, target
pertama sebelum berhaji adalah membeli seekor kambing untuk
diqurbankan.
Saat itu ia belum menikah dan masih tinggal bersama orang
tuanya. Sebagai anak pertama dari empat bersaudara, ia merasa
berkewajiban untuk membantu meringankan beban orangtuanya dengan memberi
sebagian penghasilannya untuk biaya sekolah adik-adiknya. “Gaji saya
waktu itu cuma dua ratusan ribu, sebagian untuk biaya sekolah adik,
sebagian lainnya disimpan untuk pegangan”.
Lima ribu
rupiah, nilai yang bisa ditabungnya setiap bulan untuk meraih impiannya
berqurban. “Tidak peduli perlu waktu berapa tahun untuk bisa terkumpul
uang seharga seekor kambing, yang penting tekad saya harus seratus
persen,” tegasnya bersemangat.
Tentang tekadnya ini, ia tak pernah
berkompromi untuk urusan dan kebutuhan apa pun, yang pasti lima ribu
rupiah harus ditabung setiap bulannya.
Tekad seratus
persen memang semestinya tak boleh terkalahkan oleh apa pun. Empat tahun
bekerja mengumpulkan uang antara lima sampai sepuluh ribu setiap
bulannya, Dadang mengantongi cukup uang untuk membeli seekor kambing
untuk berqurban. Bahkan keinginannya untuk melanjutkan sekolah di tahun
1995 ia redam demi seekor hewan qurban. Pekan ketiga di bulan Ramadhan
1416 H, berbinar mata Dadang menerima Tunjangan Hari Raya (THR). Bukan
karena ia bisa membeli baju baru, tetapi karena ia merasa punya tambahan
untuk membeli seekor kambing untuk qurban di hari raya Idul Adha.
Tetapi
di tahun itu juga, saat wajahnya berseri menjelang terwujudnya impian
untuk berqurban, Dadang harus ikhlas merelakan uang untuk membeli seekor
kambing dipakai untuk biaya masuk sekolah adiknya. “Saya ikhlas. Pasti
Allah yang mengatur semua ini, dan saya percaya masih ada kesempatan
saya di tahun-tahun depan,” sebuah pemelajaran berharga tentang makna
berqurban sesungguhnya.
Dadang tak putus asa. Ia kembali
merajut hari, menghitung penghasilannya sebagai buruh pabrik serta
menyisihkan sebagian kecil untuk ditabung. “Untuk hewan qurban impian
saya,” jelasnya.
Setelah sekitar tiga tahun menabung, cobaan atas
tekadnya itu kembali datang, kali ini cobaannya berupa keinginan Dadang
untuk menikah. “Usia saya sudah pantas untuk menikah, lagi pula sudah
ada calonnya. Saya tidak ingin berlama-lama punya hubungan tanpa status,
takut dosa,”
lagi-lagi uang tabungannya terpakai untuk menikah. Saat
itu, Dadang sedikit berkilah, “Toh sama-sama ibadah”.
Hari-hari
setelah menikah dibayangkan Dadang akan semakin mudah baginya untuk
menabung demi hewan qurban impiannya. Sebab, pikir Dadang, kini ia tak
sendirian menabung. Ia bisa mengajak isterinya yang juga bekerja untuk
ikut menabung agar di tahun depan bisa membeli hewan qurban.
Konon,
kenyataan hidup tak pernah seindah mimpi. Begitu pula yang dialami
Dadang selama bertahun-tahun mengarungi bahtera rumah tangga bersama
isterinya, Yenni. Terlebih setelah melahirkan putra pertama mereka satu
tahun setelah menikah, Yenni tak lagi bekerja. Dadang pun harus
sendirian membanting tulang menafkahi keluarga, belum lagi permintaan
orang tuanya untuk ikut membantu biaya pendidikan adik bungsunya. Tetapi
dalam keadaan seperti itu, Dadang selalu teringat niatnya beberapa
tahun lalu untuk bisa berqurban. “Semoga tak hanya tinggal impian, saya
masih bertekad mewujudkannya,” kalimat ini menutup lamunannya.
Meski
sedikit, ia paksakan diri untuk terus menabung. Kadang, tabungan yang
terkumpul terganggu oleh kebutuhan dapur atau susu si kecil.
Kebutuhannya bertambah besar, dengan bertambahnya anggota keluarga di
rumah Dadang. Dengan dua anak, si sulung butuh biaya sekolah, sedangkan
si kecil perlu susu dan makanan bergizi, nampaknya Dadang harus mengubur
dalam-dalam mimpinya untuk berqurban, apalagi pergi haji ke tanah
suci.
Dadang, lelaki berbadan kurus itu tetap menggenggam
tekad berqurbannya dalam genggamannya. Ia tak pernah melepaskan dan
membiarkan mimpinya terbang tak berwujud. Setelah empat belas tahun
menunggu, tahun 1426 H, impiannya untuk berqurban terwujud sudah. Sebuah
perjuangan maha berat selama bertahun-tahun yang dilewatinya terasa
begitu ringan setelah ia melunasi mimpinya menyembelih hewan qurbannya
dengan tangannya sendiri.
Cermin kepuasan tersirat di
wajahnya. Empat belas tahun, waktu yang takkan pernah dilupakan
sepanjang hidupnya untuk sebuah mimpi. “Target saya berikutnya adalah
berhaji, entah berapa lama waktu saya untuk mewujudkannya. Saya tak
peduli,” ujarnya sambil tersenyum.
*****************************************************************************
Bagaimana dengan kita saat ini ?
Seberapa beratkah perjuangan dan pengorbanan kita untuk melakukan sesuatu kebaikan ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar