Suatu malam Ade mengajukan pertanyaan kepada suaminya, Akang, “Apa
yang membuat Akang memilih saya menjadi isteri Akang?
Bukankah saya
tidak lebih cantik dari teman-teman perempuan Akang yang lain?”
Akang
yang mendapat pertanyaan itu hanya menyunggingkan senyum tanpa menjawab
sepatah kata pun. Mungkin pertanyaan itu terlalu retoris karena
disampaikan hanya satu hari setelah pernikahan mereka. Akang pun tetap
sibuk menyemir sepatunya untuk kerja esok hari.
Merasa
tak puas hanya mendapatkan senyum manis sang suami, Ade pun mendekati
Akang dan mengulangi pertanyaannya. ”Jawab atuh kang, Ade butuh
jawabannya...?”
Tiba-tiba tangan Akang yang berlumuran
semir warna hitam mendarat mulus di kiri dan kanan pipi Ade yang putih.
Ade tak sempat berkelit dan hasilnya, wajah Ade pun menjadi cemong.
Sesaat kemudian Ade pun ngambek menekuk wajahnya, bibirnya maju beberapa
senti. Jawaban yang diharapkannya tak keluar sedikit pun dari suaminya,
justru tangan Akang yang berlumuran semir hitam yang mewakili jawaban
itu.
Melihat isterinya kecewa dan nyaris meneteskan air
mata, Akang langsung menarik tubuh mungil isterinya itu, mendekapnya
erat dan kemudian menghadapkan wajah isterinya tepat dihadapan wajahnya.
Hidung mereka hampir bersentuhan, hanya beberapa mili saja jaraknya. Ia
memberi isyarat hendak mengatakan sesuatu yang serius, bening air di
sudut mata Ade tertahan tak jadi tumpah. Bak kembang yang baru mekar,
wajah Ade berubah cerah menunggu tak sabar gerangan apa yang akan
disampaikan suaminya.
”Andai wajah Ade benar-benar hitam
sehitam semir ini, Akang akan tetap mencintai Ade,” kalimatnya terlalu
datar, belum membuat senyum Ade mengembang. Langit di wajahnya masih
sedikit mendung, belum sepenuhnya cerah.
Ade hanya menganggukkan
kepalanya agak ke atas seolah sedang bertanya ”lalu?”
Mengerti
isyarat ”lalu?’ isterinya, Akang pun mengeluarkan barisan kata-kata
yang nampaknya sudah lama tersimpan. ”Cinta Akang bukan cinta biasa”.
Ah, lagi-lagi Ade kecewa, ia memalingkan wajahnya sedikit ke kiri
pertanda protes.
Mungkin dalam hatinya Ade berkata, ”punya suami nggak
kreatif banget, jiplak Siti Nurhaliza”.
Tapi Akang pun
sebenarnya belum selesai. Kalimat ”cinta Akang bukan cinta biasa” itu
hanya kalimat pembuka rangkaian kalimat yang sudah tersimpan rapih di
kantongnya. Senyum yang lebih manis lagi disuguhkan ke wajah isterinya
dan, ”Akang mencintai Ade bukan karena kecantikan Ade, bukan karena satu
sisi pun di tubuh Ade.
Ingat, mungkin tiga puluh tahun lagi Ade tidak
secantik hari ini.
Kalau Akang hanya melihat kecantikan Ade, cinta Akang
akan berkurang seiring dengan berkurangnya kecantikan Ade”.
Wajah Ade tambah cerah. Tapi Akang seperti tak memberi kesempatan isterinya untuk berkata-kata.
”Jika
Ade bertanya, apa yang membuat Akang memilih Ade sebagai isteri Akang,
jawabnya Allah. Allah yang memilihkan Ade untuk Akang.
Jadi yang paling
tahu kenapa Ade yang dipilih Akang menjadi isteri, tentu saja Allah.
Sedangkan kecantikan, serta hal-hal fisik lainnya yang ada di diri Ade,
ibarat pakaian yang menghiasi tubuh pemakainya, tak ubahnya seperti
seekor burung merpati, apapun warna bulunya tak mengubah namanya tetap
merpati.
Hakikat merpati bukan pada warnanya, melainkan pada penurut dan
kesetiaan yang menjadi sifatnya”.
Ade pun tersipu. Kali ini ia yang benar-benar tak sanggup berkata.
”Sayang,
benci, marah, atau cinta itu semestinya diletakkan pada piringan Allah.
Alasnya hanyalah Allah, sebab Allah-lah yang menciptakan semua rasa
itu”.
Senyum Ade tipis manis menghiasi wajahnya. Binar matanya menunggu tak sabar barisan kata indah suaminya.
”Coba kita tiru cara Allah marah, sayang atau bahkan cinta kepada hamba-Nya...”
Ade tak sabar mendengarkan,
”Ingat
kisah Adam ketika diusir Allah dari surga?
Allah bukan marah kepada
Adam, tetapi marah lantaran sikap Adam yang melanggar aturan Allah.
Bahkan boleh jadi, Allah tidak membenci dan melaknat syaitan karena
zatnya, melainkan karena sikapnya yang sombong, membangkang dan tak mau
tunduk kepada Allah.
Coba pelajari sejarah Bilal bin Rabbah, wajahnya
tak tampan, kulitnya hitam legam, tetapi Allah mencintainya karena
keimanannya yang tak terbanding.
Pelajari juga alasan Allah menjadikan
Abu Lahab sebagai salah satu figur penghuni neraka, adalah karena
sikapnya yang menentang Rasulullah”.
Berguguran bening
air dari sudut-sudut mata isterinya. Sementara Akang belum memberikan
tanda-tanda akan menghentikan kalimatnya.
”Dan episode
cinta yang meniru cara Allah mencinta ini, dipentaskan dengan cantik
oleh Muhammad Rasulullah bersama para sahabatnya.
Ummat Muhammad
mencintai putra Abdullah itu bukan karena ia cucu Abdul Muthallib, salah
seorang yang paling disegani masyarakat Quraisy.
Juga bukan karena
Muhammad keponakan Abu Thallib yang cukup terpandang.
Adalah sifat mulia
Muhammad yang membuat orang-orang mendekat dan menjadi sahabatnya serta
mengikuti ajarannya”.
***********************************************************************
Akang pun
memeluk isterinya seraya berbisik, ”cintai Akang karena Allah de, cintai
Akang sepanjang Akang tetap dekat kepada Allah.
Cintai Akang dengan
cara menegur Akang setiap kali menyimpang dan berbuat salah.
Begitu pula
cara Akang mencintai Ade...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar