Selasa, 24 Januari 2012

Sifat dan Sebagian Ahlak Rasulullah SAW


 Bentuk Tubuh Rasulullah

Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib R.a yang pernah hidup bersama Rasulullah Saw, berkata:
”Saya bertanya kepada paman saya, Hind bin Abi Halah yang selalu berbicara tentang
Rasulullah yang mulia untuk menceritakan kepada saya berkenaan dengan Rasulullah , agar kecintaan saya bertambah.

Ia berkata,
“Nabi Allah sangat berwibawa dan sangat dihormati.
Wajahnya bersinar seperti purnama.
Ia lebih tinggi dari orang-orang pendek dan lebih pendek dari orang-orang jangkung.
Kepalanya agak besar dengan rambut yang ikal.
Bila rambutnya itu bisa disisir, ia pasti menyisir rambutnya.
Kalau rambutnya tumbuh panjang, ia tak akan membiarkannya melewati daun telinga.
Kulit wajahnya putih dengan dahi yang lebar.
Kedua alisnya panjang dan lebat, tapi tidak bertemu.

Di antara kedua alisnya, ada pembuluh darah melintang yang tampak jelas ketika beliau marah.
Ada seberkas cahaya yang menyapu tubuhnya dari bawah ke atas, seakan-akan mengangkat tubuhnya.
Jika orang berjumpa dengannya dan tidak melihat cahaya itu, orang mungkin menduga ia mengangkat kepalanya karena sombong.
Janggutnya pendek dan tebal; pipinya halus dan lebar.
Mulutnya lebar dengan gigi-gigi yang jarang dan bersih.
Di atas dadanya ada bulu yang sangat halus;
Lehernya seperti batang perak murni yang indah.
Tubuhnya serasi (semua anggota tubuhnya sangat serasi dengan ukuran anggota tubuh yang lain).
Perut dan dadanya sejajar.
Bahunya lebar, sendi-sendi anggota badannya gempal.
Dadanya bidang.
Bagian tubuhnya yang tidak tertutup pakaian bersinar terang.
Segaris bulu yang tipis memanjang dari dada ke pusarnya.
Di luar itu, dada dan perutnya tidak berbulu sama sekali.
Lengan, bahu dan pundaknya berbulu.
Lengannya panjang dan telapak tangannya lebar.
Tangan dan kakinya tebal dan kekar.
Jari-jemarinya panjang.
Pertengahan telapak kakinya melengkung, tidak menyentuh tanah, air tidak membasahinya.
Ketika berjalan ia mengangkat kakinya dari tanah dengan dada yang dibusungkan.
Langkah-langkahnya lembut.
Ia berjalan cepat seakan-akan menuruni bukit. Bila berhadapan dengan seseorang,
Ia hadapkan seluruh tubuhnya, bukan hanya kepalanya. Matanya selalu merunduk. Pandangannya ke arah bumi lebih lama daripada pandangannya ke langit. Sesekali ia memandang dengan pandangan sekilas.
Ia selalu menjadi orang pertama yang mengucapkan salam kepada orang yang ditemuinya di jalan.'"


Cara Bicara Rasulullah

Kemudian Imam Hasan berkata, "Ceritakan kepadaku cara bicaranya."
Hind bin Abi Halah berkata,
"Ia selalu tampak sendu, selalu merenung dalam, dan tidak pernah tenang.
Ia banyak diamnya.
Ia tidak pernah berbicara yang tidak perlu.
Ia memulai dan menutup pembicaraannya dengan sangat fasih. Pembicaraannya singkat dan padat, tanpa kelebihan kata-kata dan tidak kekurangan perincian yan diperlukan. Ia berbicara lembut, tidak pernah kasar atau menyakitkan.
Ia selalu menganggap besar anugerah Tuhan betapa pun kecilnya.
Ia tidak pernah mengeluhkannya.
Ia juga tidak pernah mengecam atau memuji berlebih-lebihan apapun yang ia makan

Dunia dan apapun yang ada padanya tidak pernah membuatnya marah. Tetapi, jika hak seseorang dirampas, ia akan sangat murka sehingga tidak seorang pun mengenalnya lagi dan tidak ada satu pun yang dapat menghalanginya sampai ia mengembalikan hak itu kepada yang punya.
Ketika menunjuk sesuatu, ia menunjuk dengan seluruh tangannya.
Ketika terpesona, ia membalikkan tangannya ke bawah.
Ketika berbicara,terkadang ia bersedekap atau merapatkan telapak tangan kanannya pada punggung ibu jari kirinya.
Ketika marah, ia palingkan wajahnya.
Ketika tersinggung, ia merunduk.
Ketika ia tertawa, gigi-giginya tampak seperti untaian butir-butir hujan es.

Imam Hasan berkata, “Saya menyembunyikan berita ini dari Imam Husain sampai suatu saat saya menceritakan kepadanya. Ternyata ia sudah tahu sebelumnya. Kemudian saya bertanya kepadanya tentang berita ini. Ternyata ia telah bertanya kepada ayahnya (Imam Ali) tentang
Rasulullah Saw, di dalam dan di luar rumah, cara duduknya dan penampilannya, dan ia menceritakan semuanya.”


Akhlak Rasulullah Ketika Masuk Rumah

Imam Husain berkata, “Aku bertanya kepada ayahku tentang perilaku Rasulullah Saw ketika ia memasuki rumahnya.

Ayahku berkata, “Rasulullah masuk rumah kapan saja ia inginkan. Bila berada dirumah, Rasulullah membagi waktunya menjadi tiga bagian; sebagian untuk Allah  Swt, sebagian untuk keluarganya, sebagian lagi untuk dirinya. Kemudian ia membagi waktunya sendiri antara dirinya dan orang lain; satu bagian khusus untuk sahabatnya dan bagian lainnya untuk umum. Rasulullah tidak menyisakan waktunya untuk kepentingan dirinya.

Termasuk kebiasaannya pada bagian yang Rasulullah lakukan untuk orang lain ialah mendahulukan atau menghormati orang-orang yang mulia dan Rasulullah menggolongkan manusia berdasarkan keutamaannya dalam agama.

Di antara sahabatnya, ada yang mengajukan satu keperluan, dua keperluan, atau banyak keperluan lain. Rasulullah menyibukkan dirinya dengan keperluan mereka. Jadi, Rasulullah menyibukkan dirinya untuk melayani mereka dan menyibukkan mereka dengan sesuatu yang baik bagi mereka.

Rasulullah sering menanyakan keadaan sahabatnya dan memberi tahu mereka apa yang patut mereka lakukan. mereka yang hadir sekarang ini harus memberitahukan kepada yang tidak hadir. Beritahukan kepadaku orang yang tidak sanggup menyampaikan keperluannya kepadaku.

Orang yang menyampaikan kepada pihak yang berwenang keluhan seseorang yang tidak sanggup menyampaikannya, akan Allah Swt kokohkan kakinya pada Hari Perhitungan. Selain hal-hal demikan, tidak ada yang disebut-sebut dihadapannya dan tidak akan diterimanya.

Mereka datang menemui beliau untuk menuntut ilmu dan kearifan. Mereka tidak bubar sebelum mereka menerimanya. Mereka meninggalkan majelis Rasulullah Saw sebagai pembimbing untuk orang di belakangnya.


Akhlak Rasulullah Di Luar Rumah

“Aku bertanya kepadanya tentang tingkah laku Rasulullah Saw yang mulia di luar rumahnya.

Ia menjawab, “Rasulullah Saw itu pendiam sampai ia merasa perlu untuk bicara.
Ia sangat ramah kepada setiap orang.
Ia tidak pernah mengucilkan seorang pun dalam pergaulannya.
Ia menghormati orang yang terhormat pada setiap kaum dan memerintahkan mereka untuk menjaganya kaumnya.
Ia selalu berhati-hati agar berperilaku yang tidak sopan atau menunjukkkan wajah yang tidak ramah kepada mereka.
Ia suka menanyakan keadaan sahabat-sahabatnya dan keadaan orang-orang di sekitar mereka, misalnya keluarganya atau tetangganya.
Ia menunjukkan yang baik itu baik dan memperkuatnya.
Ia menunjukkan yang jelek itu jelek dan melemahkannya.
Ia selalu memilih yang tengah-tengah dalam segala urusannya.’

“Ia tidak pernah lupa memperhatikan orang lain karena ia takut mereka alpa atau berpaling dari jalan kebenaran.
Ia tidak pernah ragu-ragu dalam kebenaran dan tidak pernah melanggar batas-batasnya.
Orang-orang yang paling dekat dengannya adalah orang-orang yang paling baik.
Orang yang paling baik, dalam pandangannya, adalah orang-orang yang paling tulus menyayangi kaum muslimin seluruhnya.
Orang yang paling tinggi kedudukannya di sisinya adalah orang yang paling banyak memperhatikan dan membantu orang lain.’”


Cara Rasulullah Duduk

Imam Husain berkata, “Kemudian aku bertanya kepadanya tentang cara Rasulullah  Saw duduk.

Ia menjawab, ‘Rasulullah Saw tidak pernah duduk atau berdiri tanpa mengingat Allah Swt. Ia tidak pernah memesan tempat hanya untuk dirinya dan melarang orang lain duduk disitu. Ketika datang di tempat pertemuan,
Ia duduk dimana saja tempat tersedia.
Ia juga menganjurkan orang lain untuk berbuat yang sama.
Ia memberikan tempat duduk dengan cara yang sama sehingga tidak ada orang yang merasa bahwa orang lain lebih mulia ketimbang dia. Ketika seseorang duduk di hadapannya,
Ia akan tetap duduk dengan sabar sampai orang itu berdiri atau meninggalkannya. Jika orang meminta sesuatu kepadanya,
Ia akan memberikan tepat apa yang orang itu minta. Jika tidak sanggup memenuhinya,
Ia akan mengucapkan kata-kata yang membahagiakan orang itu. Semua orang senang pada akhlaknya sehingga ia seperti ayah bagi mereka dan semua ia perlakukan dengan sama.

Majelisnya adalah majelis kesabaran, kehormatan, kejujuran dan kepercayaan. Tidak ada suara keras di dalamnya dan tidak ada tuduhan-tuduhan yang buruk. Tidak ada kesalahan orang yang diulangi lagi di luar majelis. Mereka yang berkumpul dalam pertemuan memperlakukan sesamanya dengan baik dan mereka satu sama lain terikat dalam kesalehan. Mereka rendah hati, sangat menghormati yang tua dan penyayang kepada yang muda, dermawan kepada yang fakir, dan ramah kepada pendatang dari luar.


Cara Rasulullah Bergaul Dengan Sahabatnya

“Aku bertanya kepadanya bagaimana Rasulullah Saw bergaul dengan sahabat-sahabatnya.

Ia menjawab, ‘Rasulullah Saw ceria, selalu lembut hati, dan ramah.
Ia tidak kasar dan tidak berhati keras.
Ia tidak suka membentak-bentak.
Ia tidak pernah berkata kotor, tidak suka mencari-cari kesalahan orang, juga tidak suka memuji-muji berlebihan.
Ia mengabaikan apa yang tidak disukainya dalam perilaku orang begitu rupa sehingga orang tidak tersinggung dan tidak putus asa.
Ia menjaga dirinya untuk tidak melakukan tiga hal: bertengkar, banyak omong, dan berbicara yang tidak ada manfaatnya.
Ia juga menghindari tiga hal dalam hubungannya dengan orang lain: mengecam orang, mempermalukan orang, dan mengungkit-ungkit kesalahan orang.
Ia tidak pernah berkata kecuali kalau ia berharap memperoleh anugerah Tuhan. Bila ia berbicara, pendengarnya menundukkan kepalanya, seakan-akan burung bertengger di atas kepalanya. Baru kalau ia diam, pendengarnya berbicara. Mereka tidak pernah berdebat di hadapannya. Jika salah seorang di antara mereka berbicara, yang lain mendengarkannya sampai ia selesai. Mereka bergiliran untuk berbicara di hadapannya.
Ia tertawa jika sahabatnya tertawa; ia juga terkagum-kagum jika sahabatnya terpesona.
Ia sangat penyabar kalau ada orang baru bertanya atau berkata yang tidak sopan, walaupun sahabat-sahabatnya keberatan. Ia biasanya berkata, “Jika kamu melihat orang yang memerlukan pertolongan, bantulah ia.”
Ia tidak menerima pujian kecuali dari orang yang tulus.
Ia tidak pernah menyela pembicaraan orang kecuali kalau orang itu melampaui batas.
Ia menghentikan pembicaraannya atau berdiri meninggalkannya.’


Diamnya Rasulullah

“Kemudian aku bertanya padanya tentang diamnya Rasulullah Saw.

Ia berkata, ‘Diamnya Rasulullah Saw karena empat hal: karena kesabaran, kehati-hatian, pertimbangan, dan perenungan. Berkaitan dengan pertimbangan, ia lakukan untuk melihat dan mendengarkan orang secara sama. Berkaitan dengan perenungan, ia lakukan untuk memilah yang tersisa (bermanfaat) dan yang binasa (yang tidak bermanfaat).
Ia gabungkan kesabaran dengan lapang-dada. Tidak ada yang membuatnya marah sampai kehilangan kendali diri.
Ia berhati-hati dalam empat hal: dalam melakukan perbuatan baik sehingga orang dapat menirunya; dalam meninggalkan keburukan sehingga orang berhenti melakukannya; dalam mengambil keputusan yang memperbaiki ummatnya; dan dalam melakukan sesuatu yang mendatangkan kebaikan dunia dan akhirat.”

(Ma’ani Al Akhbar 83; ‘Uyun Al Akhbar Al Ridha 1:246; Ibnu Katsir, Al Shirah Nabawiyah 2:601; lihat Thabathabai, Sunan Al Nabi Saw 102-105).

Ketika Nabi Tersenyum

Saat menikahkan putri bungsunya, Sayyidah Fatimah Az Zahrah R.ha, dengan sahabat Ali bin Abi Thalib R.a, Baginda Nabi Muhammad Saw tersenyum lebar. Itu merupakan peristiwa yang penuh kebahagiaan.

Hal serupa juga diperlihatkan Rasulullah
Saw pada peristiwa Fathu Makkah, pembebasan Makkah, karena hari itu merupakan hari kemenangan besar bagi kaum muslimin.

“Hari itu adalah hari yang penuh dengan senyum panjang yang terukir dari bibir Rasulullah Saw serta bibir seluruh kaum muslimin”
tulis Ibnu Hisyam dalam kitab As Sirah Nabawiyyah.

Rasulullah
Saw adalah pribadi yang lembut dan penuh senyum. Namun, beliau tidak memberi senyum kepada sembarang orang. Demikian istimewanya senyum Rasulullah sampai-sampai Abu Bakar R.a dan Umar bin khattab R.a, dua sahabat utama beliau, sering terperangah dan memperhatikan arti senyum tersebut.

Misalnya mereka heran melihat
Rasulullah tertawa saat berada di Muzdalifah di suatu akhir malam. “Sesungguhnya Tuan tidak biasa tertawa pada saat seperti ini,”

kata Umar. “Apa yang menyebabkan Tuan tertawa..?”
Pada saat seperti itu, akhir malam, Rasulullah Saw biasanya berdoa dengan khusyu’.

Menyadari senyuman
Rasulullah tidak sembarangan, bahkan mengandung makna tertentu, Umar R.a berharap, “Semoga Allah menjadikan Tuan tertawa sepanjang umur”.

Atas pertanyaan diatas,
Rasulullah Saw menjawab, “Ketika iblis mengetahui bahwa Allah mengabulkan do’aku dan mengampuni ummatku, dia memungut pasir dan melemparkannya kekepalanya, sambil berseru, “celaka aku, binasa aku..!” Melihat hal itu aku tertawa.” (H.R Ibnu Majah)

Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali menulis, apabila
Rasulullah Saw dipanggil, beliau selalu menjawab, “Labbaik”. Ini menunjukkan betapa beliau sangat rendah hati.
Begitu pula, Rasulullah Saw belum pernah menolak seseorang dengan ucapan “Tidak” bila diminta sesuatu.
Bahkan ketika tak punya apa-apa, beliau tidak pernah menolak permintaan seseorang. “Aku tidak mempunyai apa-apa,” kata Rasulullah Saw,
“Tapi, belilah atas namaku.
Dan bila yang bersangkutan datang menagih, aku akan membayarnya.”

Banyak hal yang bisa membuat
Rasulullah Saw tertawa tanpa diketahui sebab musababnya. Hal itu biasanya berhubungan dengan turunnya wahyu Allah Swt. Misalnya, ketika beliau sedang duduk-duduk dan melihat seseorang sedang makan. Pada suapan terakhir orang itu mengucapkan. “Bismillahi Fi Awalihi Wa Akhirihi.” Saat itu Rasulullah tertawa. Tentu saja orang itu terheran-heran.

Keheranan itu dijawab
Rasulullah dengan bersabda, “Tadi aku lihat syetan ikut makan bersama dia. Tapi begitu dia membaca Basmalah, setan itu memuntahkan makanan yang sudah ditelannya.” Rupanya orang itu tidak mengucapkan Basmalah ketika mulai makan.

Suatu hari Umar R.a tertegun melihat senyuman
Rasulullah Saw. Belum sempat dia bertanya, Rasulullah Saw sudah mendahului bertanya, “Ya Umar, tahukah engkau mengapa aku tersenyum..?”

“Allah SWT dan Rasul-Nya tentu yang lebih tahu,” jawab Umar R.a.

“Sesungguhnya Allah memandang kepadamu dengan kasih sayang dan penuh rahmat pada malam hari Arafat, dan menjadikan kamu sebagai kunci Islam,” sabda Rasulullah.


Kesaksian Anggota Tubuh

Rasulullah Saw bahkan sering membalas sindiran orang dengan senyuman. Misalnya ketika seorang Badui yang ikut mendengarkan Taushiyah beliau tiba-tiba nyeletuk, “Ya Rasul, orang itu pasti orang Quraisy atau Anshar, karena mereka gemar bercocok tanam, sedang kami tidak.”

Saat itu Rasulullah Saw tengah menceritakan dialog antara seorang penghuni syurga dan Allah Swt yang mohon agar diizinkan bercocok tanam di syurga. Allah Swt mengingatkan bahwa semua yang diinginkannya sudah tersedia di syurga.

Karena sejak di dunia punya hobi bercocok tanam, ia pun lalu mengambil beberapa biji-bijian, kemudian ia tanam. Tak lama kemudian biji itu tumbuh menjadi pohon hingga setinggi gunung, berbuah, lalu dipanenkan.

Lalu Allah Swt berfirman. “Itu tidak akan membuatmu kenyang, ambillah yang lain.”


Ketika itulah si Badui menyeletuk, “Pasti itu orang Quraisy atau Anshar. Mereka gemar bercocok tanam, kami tidak.”

Mendengar itu
Rasulullah Saw tersenyum, sama sekali tidak marah. Padahal, beliau orang Quraisy juga.
Suatu saat justru Rasulullah
Saw yang bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian mengapa aku tertawa..?.”

“Allah dan Rasul-Nya lebih tahu,” jawab para sahabat.

Maka Rasulullah Saw pun menceritakan dialog antara seorang hamba dan Allah Swt.

Orang itu berkata, “Aku tidak mengizinkan saksi terhadap diriku kecuali aku sendiri.”

Lalu Allah Swt menjawab, “Baiklah, cukup kamu sendiri yang menjadi saksi terhadap dirimu, dan malaikat mencatat sebagai saksi.”

Kemudian mulut orang itu dibungkam supaya diam, sementara kepada anggota tubuhnya diperintahkan untuk bicara. Anggota tubuh itu pun menyampaikan kesaksian masing-masing. Lalu orang itu dipersilahkan mempertimbangkan kesaksian anggota-anggota tubuhnya.

Tapi orang itu malah membentak, “Pergi kamu, celakalah kamu..!”
Dulu aku selalu berusaha, berjuang, dan menjaga kamu baik-baik,” katanya.

Rasulullah pun tertawa melihat orang yang telah berbuat dosa itu mengira anggota tubuhnya akan membela dan menyelamatkannya. Dia mengira, anggota tubuh itu dapat menyelamatkannya dari api neraka. Tapi ternyata anggota tubuh itu menjadi saksi yang merugikan, karena memberikan kesaksian yang sebenarnya
(H.R Anas bin Malik).


Hal itu mengingatkan kita pada ayat 65 surah Yasin, yang maknanya, “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, dan berkatalah kepada Kami tangan mereka, dan memberi kesaksian kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.”


Akhlak Rasulullah Diundang Makan Seorang Budak

Dan Rasulullah Saw tidak pernah mau mengecewakan orang lain, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari bahwa seorang wanita ( Barirah R.a) seorang budak wanita miskin dari Afrika, ia mengundang Rasulullah Saw karena diberi makanan oleh salah seorang sahabat makanan yang sangat enak, maka ia tidak berani memakannya karena sudah lama ingin mengundang Rasulullah Saw tapi malu tidak punya apa-apa.

Maka ketika datang makanan enak sebelum ia ingin mencicipinya, seumur hidup dia belum mencicipinya dia teringat kepada
Rasulullah Saw, aku ingin Rasulullah Saw datang mumpung ada makanan yang enak padahal seumur hidup dia belum mencicipi makanan itu.

Barirah yang susah ini pun datang mengundang Rasulullah Saw ke rumahnya, maka Rasulullah Saw datang bersama para sahabat untuk menyenangkan Barirah R.a seorang budak wanita yang miskin, Rasulullah Saw tidak ingin mengecewakan orang lain maka datang Rasulullah bersama para sahabat, para sahabat melihat makanan yang sangat enak dan mahal tidak mungkin Barirah membelinya sendiri,

maka berkata para sahabat : “Yaa Rasulullah barangkali ini adalah makanan zakat, sedangkan engkau tidak boleh memakan zakat dan shadaqah , kalau bukan makanan zakat ya makanan shadaqah, tentunya kau tidak boleh memakannya”…

Berubahlah hati Barirah dalam kekecewaan, hancur hatinya dengan ucapan itu walau ucapan itu benar Rasulullah Saw tidak boleh memakan shadaqah dan zakat, namun ia tidak teringat akan hal itu karena memang ia di sedekahi makanan ini, hancur perasaan Barirah R.a dan bingung juga risau dan takut serta kecewa dan bingung karena sudah mengundang Rasul Saw untuk makan makanan yang diharamkan pada Rasulullah Saw.

Namun bagaimana manusia yang paling indah budi pekertinya dan bijaksana,
maka Rasulullah Saw berkata : “ Makanan ini betul shadaqah untuk Barirah dan sudah menjadi milik Barirah, Barirah menghadiahkan kepadaku maka aku boleh memakannya “, dan Rasul Saw pun memakannya.

Demikianlah jiwa yang paling indah tidak ingin mengecewakan para Fuqara’, itu makanan sedekah betul untuk Barirah tapi sudah menjadi milik Barirah dan Barirah tidak menyedekahkannya padaku (Rasulullah Saw) tapi menghadiahkannya kepadaku demikian indahnya Sayyidina Muhammad Saw,  


Firman Allah SWT :
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ

“Dan sungguh engkau ( Muhammad SAW ) berada pada akhlak yang agung”.


Rasulullah Kekasih Allah Swt

Suatu saat beberapa sahabat menunggu Rasulullah Saw di masjid Madinah. Mereka berdiskusi soal agama. Sampai pada suatu tema, mereka berbicara tentang topik kelebihan para rasul dan nabi.

Ibnu Abbas R.a menuturkan, sebagaimana dicatat Ad-Darami dan At-Tirmidzi dalam kumpulan hadist mereka, ada seorang sahabat berkata, “Sungguh menakjubkan! Allah Swt telah menjadikan Ibrahim A.s sebagai kawan dekat-Nya.”

Yang lain menyahut, “Lebih hebat lagi Allah Swt telah bercakap-cakap secara langsung dengan Musa A.s ..!”

Sebagian lagi mengutarakan, “Isa A.s sebagai kalimat Allah Swt dan Ruh-Nya.”

Ada lagi yang mengatakan. “Allah Swt telah memilih Adam A.s.”

Pernyataan-pernyataan para sahabat itu telah menimbulkan perbedaan pendapat. Dan mereka belum menemukan kata akhir, siapakah yang lebih dari yang lain.
Sementara dalam ayat disebutkan, “Dan sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian nabi itu atas sebagian yang lain.” – QS Al-Isra’ (17):55.


Tanpa disadari para sahabat, ternyata yang dinanti, Rasulullah
Saw, sudah berdiri dibelakang mereka. Dan beliau pun sudah mendengar apa yang mereka bicarakan.
Dengan wajah mengepresikan tanya, para sahabat menunggu
Rasulullah bersabda.
Bukan Kesombongan “Aku telah mendengar apa yang kalian percakapkan dan memaklumi keheranan kalian terhadap keberadaan Ibrahim A.s sebagai kawan dekat Allah Swt, memang begitulah adanya.
Terhadap keberadaan Musa A.s sebagai orang yang diajak bercakap-cakap langsung, memang begitulah adanya.
Terhadap keberadaan Isa A.s sebagai kalimat dan Ruh-Nya, juga memang begitulah adanya.
Sedang aku adalah kekasih Allah (Habib Allah), dan ini bukan kesombongan.”


Beberapa sahabat yang mendengar keterangan, sedikit plong hatinya. Berarti mereka sudah menemukan jawaban atas apa yang mereka perdebatkan.

Nabi
Saw melanjutkan, “Aku menjadi pembawa bendera kemulian pada hari kebangkitan, Aku adalah pembela pertama dan orang pertama yang dikabulkan syafa’atnya, dan ini bukan sebuah kesombongan.
Aku adalah orang pertama yang mengetuk pintu surga, dan Allah Swt akan membuka pertama kalinya untukku dan mempersilahkan aku memasukinya dengan orang-orang miskin diantara kalian.
Aku adalah orang yang paling dimuliakan di zaman awal dan di zaman akhir, dan sungguh ini bukan sebuah kesombongan.”


Istilah "Habib Allah" inilah yang sering disebut-sebut dalam syair dan Qashidah maulid. Mayoritas ulama berpendapat, kekasih Allah Swt lebih tinggi daripada kawan dekat Allah (Khalilullah). Salah satunya pendapat Imam Abu Bakar bin Furak, berdasarkan sebuah pendapat ahli kalam,
“Khalil mencapai Allah Swt melalui sebuah perantaraan sebagai yang diisyaratkan dalam firman-Nya, “Demikianlah langit dan perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda kekuasaan Kami di langit dan di bumi.” – QS Al-An’am (6):75.


Sementara bagaimana “ Seorang yang cinta” mencapai Allah Swt, diisyaratkan dalam firman-Nya, “…Dia sangat dekat dua ujung busur mata panah atau lebih dekat lagi.”- QS An-Najm (53):9.


Khalil berkata, “Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang yang datang kemudian.” – QS As-Syu’ara (26):84.


Sedang kepada orang yang dicintai dikatakan, “Dan Kami tinggikan bagimu sebutan namamu.” – QS Alam Nasyrah (Al Insyirah):4.


Nabi Muhammad
Saw di anugerahi sejumlah kemuliaan tersebut tanpa beliau memintanya.

Masih banyak lagi perbandingan yang menguatkan bahwa istilah Habib lebih tinggi dari Khalil. Dalam kehidupan sehari-hari, umumnya, kita pun lebih mengutamakan kekasih kita daripada kawan kita.

Sejumlah keterangan yang telah disampaikan, menurut Qadhi Iyadh bin Musa Al Yahsubi, dalam bukunya yang berjudul “Keagungan kekasih Allah, Muhammad
Saw” menunjukkan ketinggian derajat Nabi Muhammad Saw.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar