Suatu siang di Malioboro…..
Seorang
lelaki paruh baya, badannya kurus, kulitnya coklat kehitaman. Rambutnya
tipis dan memutih, matanya cekung, tampak garis-garis di kening dan keriput
di kulitnya, menandakan ia sarat dengan beban kehidupan. Duduk
termenung di atas becak tua, tempat ia menggantungkan penghidupan
keseharian di Malioboro, tengah Kota Jogjakarta. Kayuhan kaki yang
rapuh, pada becak yang telah tigapuluh tahun menemani perjalanan
hidupnya itulah yang akan memberikan sedikit harapan bagi keluarga.
Duduk menunggu dari pagi, berharap segera ada penumpang. Hingga
menjelang siang, tak satupun penumpang datang. Seperti biasanya, iapun
tetap tenang dan dengan sabar menunggu penumpang.
Dari kejauhan
ia memandang sebuah mobil sedan berwarna hitam mengkilap. Tampak sangat
mewah dalam pandangannya. Pastilah mobil itu milik seorang yang kaya
raya, dengan segala kemewahan hidupnya. Ia membayangkan betapa enak
menjadi orang kaya. Rumahnya luas dan indah, mobilnya mewah, isterinya
cantik dan terawat, anak-anaknya berpakaian serba bagus. Ia melamunkan
kondisi rumahnya sendiri yang reot, tak ada perabotan di dalamnya,
isterinya kurus kering didera beban kehidupan, anak-anak berpakaian
seadanya.
Matanya berkaca-kaca… Andai saja ia bisa membahagiakan keluarganya seperti pemilik mobil mewah itu…..
Pikirannya melayang-layang jauh ke langit, membawa dirinya pergi ke
alam mimpi. Mengantuk, perlahan-lahan iapun tertidur pulas di atas
becaknya.
Sang Pejabat yang Galau
Alkisah, di dalam
mobil mewah berwarna hitam mengkilap itu, duduklah seorang lelaki
berpakaian rapi. Mengenakan jas dan dasi, menandakan ia seorang pejabat.
Ia duduk di bangku belakang sendirian. Di bangku depan, ada seorang
sopir yang berpakaian rapi dan berperilaku sopan. Mobil tengah berjalan
pelan di kepadatan lalu lintas Malioboro, tengah kota Jogjakarta.
Berhari-hari sang pejabat memikirkan sebuah proyek yang menjadi
tanggung jawabnya. Ada terlalu banyak masalah dalam pelaksanaan proyek
itu. Dana yang tidak sesuai anggaran, pelaksana proyek yang mengerjakan
asal-asalan, belum lagi banyaknya setoran yang harus diberikan ke
berbagai pihak. Salah-salah ia terancam penjara dan kehilangan
jabatannya. Beberapa malam terakhir ia tidak bisa tidur nyenyak. Lelah,
penat, dan tidak tenang pikiran dan hatinya.
Dari dalam mobil
sang pejabat melihat deretan becak-becak di pinggir trotoar Malioboro.
Matanya menatap seorang lelaki tengah baya, berkulit coklat kehitaman,
berpakaian seadanya. Lelaki itu tampak tertidur pulas di atas becaknya,
seperti tidak memiliki beban apa-apa.
Ia membayangkan, betapa
damai hati tukang becak itu. Walaupun hidup di kampung dengan kondisi
sederhana, namun bisa menikmati hidupnya. Mungkin isteri dan
anak-anaknya hidup sangat sederhana, namun toh mereka bisa merasa
bahagia dengan apa yang ada. Dibandingkan dengan kondisi dirinya yang
memiliki berbagai fasilitas kemewahan, namun semua justru menimbulkan
beban pikiran dan tekanan perasaan. Ia merasa tidak bisa menikmati
kebebasan dan kebahagiaan.
Mata sang pejabat berkaca kaca….
Andai saja ia bisa merasakan ketenangan dan kedamaian perasaan seperti
yang dialami tukang becak itu…. Betapa nyenyak tidurnya. Tubuh tukang
becak yang kurus itu tampak tertekuk di atas jok becak, dan lihatlah
betapa pulas tidurnya…. Betapa bahagia jika bisa tidur nyenyak seperti
itu….
Sawang Sinawang : Ilusi Kebahagiaan
Begitulah
kehidupan berjalan. Seseorang akan selalu melihat kondisi orang lainnya.
Membandingkan, mengandaikan, membayangkan, mengkhayalkan….. “Andai saja
aku bisa seperti dia, betapa bahagianya….” Orang Jawa menyebut, hidup
itu “sawang sinawang”, saling melihat kepada yang lain.
Itulah
sebabnya orang tidak bahagia. Karena ia mengharapkan sesuatu yang tidak
nyata. Ia mengkhayalkan sesuatu yang bukan dirinya. Ia membayangkan
posisi yang bukan haknya. Ia terus dikejar keinginan yang tidak pernah
kesampaian. Ia mengejar kebahagiaan seperti yang ia lihat pada orang
lain. Ia mencari kebahagiaan sebagaimana ia saksikan pada banyak
kalangan manusia.
Itulah sebabnya orang tidak bahagia. Karena
ia mencari dari orang lain. Ia tidak masuk ke dalam dirinya sendiri, dan
menemukan kebahagiaan di dalam dirinya sendiri. Harusnya ia selalu
menikmati semua yang ada. Merasakan kasih sayang Tuhan dalam setiap
kejadian yang menimpanya. Menghayati kehidupan dari semua pemberian
Tuhan yang didapatkan setiap hari. Sedikit atau banyak, itu tinggal cara
kita menghitungnya.
Becak atau mobil mewah, itu hanya
benda-benda, sama dengan benda lainnya. Orang bosan setiap hari naik
mobil mewah, ia akan merasa bahagia suatu ketika naik becak di
Jogjakarta. Orang bosan setiap hari naik becak, ia akan merasa bahagia
naik mobil suatu ketika. Karena mobil mewah dan becak hanyalah
benda-benda. Bukan di situ letak bahagia.
Jabatan, posisi,
kedudukan itu hanyalah atribut kehidupan, sama dengan atribut lainnya.
Orang mengira posisi di atas dirinya itu yang membahagiakan. Padahal
posisi yang diinginkan itu hanyalah atribut kehidupan. Asesoris
kehidupan, sama dengan asesoris yang lainnya. Bukan di situ letak
bahagia.
Bahagia itu letaknya di dalam jiwa. Bukan pada
benda-benda. Bukan pada atribut dan asesoris kehidupan. Maka carilah
kebahagiaan dengan menyelam ke dalam jiwa kita sendiri. Bukan dengan
mengkhayalkan hak orang lain yang tidak kita miliki. Jika anda terus
mencari-cari kebahagiaan kepada benda-benda, selamanya anda tidak akan
pernah bisa merasakan bahagia. Jika anda terus menerus mencari
kebahagiaan kepada atribut-atribut, selamanya anda tidak akan pernah
bisa merasakan bahagia.
Bahagia itu letaknya di dalam jiwa.
Benda-benda, atribut-atribut, asesoris-asesoris, itu hanya hiasan saja.
Sama dengan hiasan lainnya.
Temukan kebahagiaan di dalam jiwa anda. Selamat pagi, selamat berlibur bersama keluarga, selamat menemukan kebahagiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar